( Foto : Buku Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori/Devi )
Pada awal buku Laut Bercerita, kita akan disuguhi oleh kalimat :
"Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali"
Laut Bercerita, menceritakan tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.
Dalam buku ini, dari dasar laut yang
paling dalam, Laut bercerita kepada semua orang bagaimana mereka bisa sampai
seperti ini dan apa yang dilakukan mereka saat dahulu. Sosok Biru Laut Wibisono
dan teman-temannya adalah aktivis mahasiswa yang memiliki ketertarikan untuk meruntuhkan
ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Seperti, melakukan
pergerakan, diskusi buku-buku terlarang pada masa itu, dan mengkritisi
pemerintahan orde baru. Namun, bukan hal yang mudah melakukan semua itu di
zaman orde baru yang terkenal dengan keotoriterannya.
Mendiskusikan pergerakan dan buku-buku
secara sembunyi-sembunyi adalah cara yang paling aman agar tidak terciduk oleh
aparat atau dibubarkan secara paksa. Berbagai ancaman, mata-mata pemerintah
yang menyamar sebagai aktivis mahasiswa, hingga menjadi buronan pemerintah
selama beberapa tahun tidak menggentarkannya.
Saat dimana beberapa teman-temannya
mengawal buruh untuk aksi unjuk rasa dan melibatkan ribuan buruh. Disaat itu
pula, teman-teman Laut ditangkap oleh aparat. Setelah dua tahun kemudian,
mereka dinyatakan buron oleh pemerintah. Dalam menjalani masa buronan, mereka
tinggal di tempat persembunyian dan menggunakan nama samaran, agar tidak
diketahui oleh warga sekitar. Namun tetap saja, Laut mengalami penangkapan paksa
pada malam itu. Laut tidak hanya
ditangkap saja, tetapi di siksa dan di interogasi selama beberapa bulan sebelum
dibuang ke laut. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Laut tergambarkan secara
jelas dalam novel ini. Tidak hanya Laut, selang beberapa hari, temannya pun
juga ditangkap dan mengalami hal yang sama seperti Laut.
Asmara Jati, adik kandung Laut bercerita
bagaimana dia bergabung dan ikut membangun Komisi Orang Hilang untuk menuntut
para pemimpin melakukan investigasi terhadap anak-anak mereka yang hilang
seperti Laut. Mencari informasi, mengumpulkan data mereka yang belum kembali,
dan membuat laporan detail-detail terakhir para saksi yang bertemu terakhir
kali dengan Laut dan teman-temannya. Semua itu dilakukan oleh Asmara atas
kesadaran bahwa dia tak bisa tidak bergerak ketika banyak kejadian penghilangan
secara paksa.
Selain
itu, Novel ini menceritakan pula keluarga yang menanti anaknya pulang ke rumah
dan makan bersama, kerabat, dan kekasih yang merasakan kehilangan orang
tersayang tanpa jejak. Luka dan trauma yang dialami oleh keluarga, hingga
meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia mengenai para mahasiswa yang
mengalami penghilangan secara paksa, serta menunggu tanpa kepastian kabarnya adalah
upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun, jika pun Laut sudah tidak ada,
keluarganya ingin sekali mendapat kejelasan dimana makam Laut. Tidak ada orang yang sanggup
merelakan dengan mudah orang tersayang mereka dengan cara seperti itu. Walaupun
beberapa dari teman Laut ada yang dibebaskan, tetapi menimbulkan trauma yang
menyayat hati. Butuh waktu lama untuk merelakannya bahwa orang-orang sekitar
Laut menerima kenyataan bahwa Laut tak akan kembali.
Leila
S. Chudori menegaskan bahwa novel ini hanyalah fiksi. Namun, penulis menulis
berdasarkan fakta yang ada, buku Laut Bercerita ini terinspirasi dari mereka
yang pernah diculik dan keluarga dari korban penghilangan paksa. Penulis
membutuhkan waktu beberapa tahun untuk melakukan riset mendalam, bahkan ia
mendatangi beberapa lokasi yang menjadi tempat peristiwa
dalam buku ini. Faktanya, peristiwa seperti tanam jagung Balangguan-Situbondo
itu ada dan nyata.
Buku
ini memiliki alur campuran. Menurut
saya, buku ini sangat bagus dan memiliki nilai sejarah karena menjelaskan
kejadian pada zaman orde baru yang belum tentu semua orang mengetahui, bahwa
mereka yang dihilangkan dan tak akan kembali seakan-akan begitu nyata.
Buku
ini memiliki kekurangan, walaupun semua tau bahwa setiap buku memiliki
kekurangannya. Menurut saya, untuk buku ini terdapat kata yang salah ketik.
Seperti pada halaman 96, kata berkeping-keping menjadi berkeping-keing, pada halaman 174, kata matamu menjadi mataku,
dan pada halaman 365, kata waktu menjadi waku.
Terlepas
dari kekurangan yang ada, buku ini saya rekomendasikan untuk orang-orang di
luar sana yang memiliki ketertarikan terhadap hak asasi manusia, pergerakan,
dan para penyuka cerita yang memiliki latar belakang sejarah. Membaca buku ini
sama saja menyadarkan kita untuk tidak melupakan kejadian pada zaman orde baru,
dimana media dan pengkritik negeri ini tidak merasa bebas dalam mengkritik
pemerintah saat itu.
Penulis : Devi Oktaviana
Editor : Ayu Gurning
0 Comments