( Foto : Buku Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori/Devi )


Judul Buku : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Oktober 2017
ISBN 978-602-424-694-5
Sampul          : Aditya Putra
Tebal : 379 Halaman
Harga Buku   : Rp. 105.000,-


Pada awal buku Laut Bercerita, kita akan disuguhi oleh kalimat :

"Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali"

 Laut Bercerita, menceritakan tentang kisah keluarga yang kehilangan, sekumpulan sahabat yang merasakan kekosongan di dada, sekelompok orang yang gemar menyiksa dan lancar berkhianat, sejumlah keluarga yang mencari kejelasan makam anaknya, dan tentang cinta yang tak akan luntur.

Dalam buku ini, dari dasar laut yang paling dalam, Laut bercerita kepada semua orang bagaimana mereka bisa sampai seperti ini dan apa yang dilakukan mereka saat dahulu. Sosok Biru Laut Wibisono dan teman-temannya adalah aktivis mahasiswa yang memiliki ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Seperti, melakukan pergerakan, diskusi buku-buku terlarang pada masa itu, dan mengkritisi pemerintahan orde baru. Namun, bukan hal yang mudah melakukan semua itu di zaman orde baru yang terkenal dengan keotoriterannya.

Mendiskusikan pergerakan dan buku-buku secara sembunyi-sembunyi adalah cara yang paling aman agar tidak terciduk oleh aparat atau dibubarkan secara paksa. Berbagai ancaman, mata-mata pemerintah yang menyamar sebagai aktivis mahasiswa, hingga menjadi buronan pemerintah selama beberapa tahun tidak menggentarkannya.

Saat dimana beberapa teman-temannya mengawal buruh untuk aksi unjuk rasa dan melibatkan ribuan buruh. Disaat itu pula, teman-teman Laut ditangkap oleh aparat. Setelah dua tahun kemudian, mereka dinyatakan buron oleh pemerintah. Dalam menjalani masa buronan, mereka tinggal di tempat persembunyian dan menggunakan nama samaran, agar tidak diketahui oleh warga sekitar. Namun tetap saja, Laut mengalami penangkapan paksa pada malam itu.  Laut tidak hanya ditangkap saja, tetapi di siksa dan di interogasi selama beberapa bulan sebelum dibuang ke laut. Penyiksaan yang dilakukan terhadap Laut tergambarkan secara jelas dalam novel ini. Tidak hanya Laut, selang beberapa hari, temannya pun juga ditangkap dan mengalami hal yang sama seperti Laut.

Asmara Jati, adik kandung Laut bercerita bagaimana dia bergabung dan ikut membangun Komisi Orang Hilang untuk menuntut para pemimpin melakukan investigasi terhadap anak-anak mereka yang hilang seperti Laut. Mencari informasi, mengumpulkan data mereka yang belum kembali, dan membuat laporan detail-detail terakhir para saksi yang bertemu terakhir kali dengan Laut dan teman-temannya. Semua itu dilakukan oleh Asmara atas kesadaran bahwa dia tak bisa tidak bergerak ketika banyak kejadian penghilangan secara paksa.

Selain itu, Novel ini menceritakan pula keluarga yang menanti anaknya pulang ke rumah dan makan bersama, kerabat, dan kekasih yang merasakan kehilangan orang tersayang tanpa jejak. Luka dan trauma yang dialami oleh keluarga, hingga meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia mengenai para mahasiswa yang mengalami penghilangan secara paksa, serta menunggu tanpa kepastian kabarnya adalah upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun, jika pun Laut sudah tidak ada, keluarganya ingin sekali mendapat kejelasan dimana  makam Laut. Tidak ada orang yang sanggup merelakan dengan mudah orang tersayang mereka dengan cara seperti itu. Walaupun beberapa dari teman Laut ada yang dibebaskan, tetapi menimbulkan trauma yang menyayat hati. Butuh waktu lama untuk merelakannya bahwa orang-orang sekitar Laut menerima kenyataan bahwa Laut tak akan kembali.

Leila S. Chudori menegaskan bahwa novel ini hanyalah fiksi. Namun, penulis menulis berdasarkan fakta yang ada, buku Laut Bercerita ini terinspirasi dari mereka yang pernah diculik dan keluarga dari korban penghilangan paksa. Penulis membutuhkan waktu beberapa tahun untuk melakukan riset mendalam, bahkan ia mendatangi beberapa lokasi yang menjadi tempat peristiwa dalam buku ini. Faktanya, peristiwa seperti tanam jagung Balangguan-Situbondo itu ada dan nyata.

Buku ini memiliki alur campuran.  Menurut saya, buku ini sangat bagus dan memiliki nilai sejarah karena menjelaskan kejadian pada zaman orde baru yang belum tentu semua orang mengetahui, bahwa mereka yang dihilangkan dan tak akan kembali seakan-akan begitu nyata.

Buku ini memiliki kekurangan, walaupun semua tau bahwa setiap buku memiliki kekurangannya. Menurut saya, untuk buku ini terdapat kata yang salah ketik. Seperti pada halaman 96, kata berkeping-keping menjadi berkeping-keing,  pada halaman 174, kata matamu menjadi mataku, dan pada halaman 365, kata waktu menjadi waku.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini saya rekomendasikan untuk orang-orang di luar sana yang memiliki ketertarikan terhadap hak asasi manusia, pergerakan, dan para penyuka cerita yang memiliki latar belakang sejarah. Membaca buku ini sama saja menyadarkan kita untuk tidak melupakan kejadian pada zaman orde baru, dimana media dan pengkritik negeri ini tidak merasa bebas dalam mengkritik pemerintah saat itu.


Penulis : Devi Oktaviana

Editor  : Ayu Gurning