Febrian nugraha ,Mahasiswa Fisip


Marhaen ,Jakarta - Pengesahan RUU pilkada tidak langsung menjadi UU Pilkada tidak langsung yang dilakukan oleh anggota DPR dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 25 september 2014 menimbulkan reaksi kontra dari masyarakat.

Mereka menilai pengesahan UUD Pilkada sama dengan perampasan hak konstitusional masyarakat, karena masyarakat tidak bisa memutuskan sendiri siapa yang akan menjadi pemimpin mereka ke depan. itu sama saja kemunduran demokrasi yg sudah kita bangun dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kita sebagai masyarakat tidak boleh hanya tinggal diam saja saat hak kita dicabut semena-semena oleh kepentingan- kepentingan elit-elit yang sepertinya ingin mengembalikan masa-masa orde baru kembali tumbuh di Indonesia. kita sudah memilih wakil-wakil kita untuk mewakili kita di gedung DPR sana. sebagai perwakilan kita apabila ada keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi kita, kita harus berani melawan orang yang katanya menjadi perwakilan kita di gedung terhormat di senayan sana. 

Pilkada langsung adalah sebuah kemunduran demokrasi di negara kita. Bagaimana tidak, sebelumnya kita bisa memilih pemimpin kita secara langsung. Namun dengan disahkan nya UU pilkada kita harus menyerahkan calon pemimpin kita kepada orang yang katanya menjadi perwakilan kita di DPRD , padahal belum tentu mereka benar-benar mengetahui pemimpin seperti apa yang akan kita pilih. mereka hanya memilih pemimpin yang bisa mereka stir untuk kepentingan kelompok mereka.  yang pasti dengan Pilkada melalui DPRD kemungkinan untuk korupsi semakin tinggi. calon kepala daerah lebih murah biaya kampanye nya. karena tidak usah membayar ratusan ribu orang masyarakat untuk memilihnya tapi cukup membayar ratusan anggota DPRD untuk memuluskan menjadi pemimpin daerah. Dan yang harus dicermati mungkim saja tujuan selanjutnya adalah pemilihan President oleh MPR.

 SATU KATA LAWAN