Gambar Ilustrasi |
Marhaen, Jakarta- Swasembada
pangan
umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan
ruang lingkup wilayah nasional, sasaran utamanya adalah komoditas
pangan dari produk pertanian seperti beras, jagung, kedelai, kacang
tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar strategi yang diterapkan
dalam swasembada pangan adalah subtitusi impor dengan target yang
diharapakan adalah peningkatan produksi pangan dengan sasaran petani.
Sedangkan hasil target ketersediaan pangan oleh produk domestik
(tidak impor).
Tapi
pada ranah praktisnya, sungguh
memprihatinkan, betapa besarnya jumlah impor produk pertanian yang
dilakukan pemerintah Indonesia saat ini. Kementerian
Perdagangan RI memberikan alokasi impor produk
holtikultura sebanyak 260.064 ton untuk semester II bulan Juli
hingga Desember 2013. Terutama terhadap 13 jenis produk
holtikultura berupa produk buah dan sayuran.
Seperti data yang
dirilis Badan Pusat Statistik, Untuk impor beras saja, selama
Januari-Juni 2013, tercatat sebesar 239 ribu ton atau US$ 124,4 juta.
Sementara itu, jagung impor masuk ke Indonesia selama Januari-Juni
2013 tercatat 1,3 juta ton atau US$ 393 juta. Demikian pula dengan
impor kedelai, periode Januari-Juni 2013 adalah 826 ribu ton atau
509,5 juta. Impor Tepung terigu juga dilakukan. Tercatat impor masuk
sejak Januari-Juni 2013 mencapai 82.501 ton atau US$ 36,9 juta. Dan
bahkan garam pun termasuk komoditas yang diimpor. Selama Januari-Juni
2013 impor tercatat 923 ribu ton atau senilai US$ 43,1 juta.
Sangat ironis
sebenarnya negara agraris yang dikenal “gemah
ripah loh jenawai”,
tapi justru mengimpor beras, cabe, pepaya, bawang, kedelai, sapi dan
lain-lainnya. Sungguh kondisi diluar perkiraan logika sehat kita,
termasuk bagi yang awam sekalipun.
Berbanding terbalik
dengan persepsi pemerintah yang terus ngotot mengimpor
produk holtikultura, sungguh sama sekali merupakan kebijakan
yang tidak masuk akal. Apa lagi, dengan alasan sentimen (belah
betung) penguasa semata, lalu menekan harga produk
holtikultura petani lokal, agar harga produk holtikultura dalam
negeri menjadi turun. Tidak lain, tidak bukan, demi melindungi secara
diskriminatif buruh dan abdi negara yang bergaji minim, lantas
pemerintah tega mengorbankan nasib, cita-cita dan bahkan
segala-galanya kehidupan petani yang 50 juta jiwa dari 230 juta
dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Sepertinya tidak
pernah terpikir oleh pemerintah, bahwa mengimpor produk pertanian,
sayur, buah-buahan, ikan dan daging sapi, sesungguhnya suatu hal
menyakitkan bagi petani di Indonesia. Sebab apa pun alasannya, impor
akan meruntuhkan motivasi petani dalam menghasilkan produk-produk
pertanian. Kasihan petani-petani kita, mereka sulit untuk
sejahtera. Kebijakan impor produk pertanian
sungguh menyengsarakan petani Indonesia.
Ada apa ini?
Bukankah sama saja pemerintah membunuh petani-petani yang notaben mayoritas anak bangsa? Sekarang BBM sudah naik, pastilah ongkos
produksi pertanian naik pula. Tetapi mengapa harga sayur, buah, beras
dan sapi diintervensi juga oleh pemerintah? Kapan petani menikmati
jerih payah yang mereka tanam? Lama-lama petani-petani kita pun
menjadi bosan dan malas bertani. Soalnya apa pun yang ditanam, tidak
pernah memberikan untung, justru buntung.
Ironis, ketika
kebijakan BBM dinaikkan, justru harga produk
haltikultura petani lokal dipaksa turun. Lalu apa manfaat yang
didapatkan oleh petani. Sudahlah ongkos produksi pertanian meningkat
dengan sangat tajam. Harga produk petani justru dijatuhkan pula,
dengan rentetan kebijakan dan berbagai bentuk intervensi
negara yang tidak adil dan diskriminatif.
Petani bagaikan
sudah jatuh dihimpit tangga, kena paku pula. Sungguh
malang nasib petani, bagaikan ayam mati di lumbung padi.
Luar biasa kebijakan negara memiskinkan rakyatnya.
Ironisnya pula, Indonesia saat ini masih tercatat sebagai negara yang
memiliki mahasiswa pertanian dan sarjana pertanian
terbanyak di dunia.
Sungguh sangat
mencemaskan, kalau pemerintah lebih senang membeli mahal
(menebar rupiah) ke China, Thailand, Vietnam dan Australia, dari pada
membeli produk petani sendiri. Sebab umumnya negara agraris adalah
produsen pangan yang berorientasi ekspor, bukannya impor. Apa lagi
terhadap produk pertanian yang secara komparatif cocok ditanam
Indonesia.
PETANI
SELAYAKNYA DIUNTUNGKAN
Sebagai negara
agraris, sudah sepantasnya pemerintah Indonesia terus
mendorong seluruh rakyat agar menggunakan hasil pertanian lokal
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kebijakan pemerintah
seharusnya fokus untuk meningkatkan kualitas petani,
memperbaiki infrastruktur pertanian dan mempermudah skema
pembiayaan sektor pertanian. Selain tentunya
perlu adanya regulasi keberpihakan terhadap petani
yang mendapat dukungan bersama dari sektor industri dan
diiringi kebijakan politik yang kuat dari pihak eksekutif dan
legislatif.
Negara lain, seperti
Jepang dan China, justru mewajibkan negara membeli produk
petani sendiri dengan harga yang menguntungkan petaninya.
Barulah kemudian memberi ruang eksportirnya
mendistribisikan atau mengekspor ke negara lain dengan
harga pasar yang menguntungkan. Di Indonesia justru
sebaliknya, uang negara triliunan rupiah dibelanjakan ke
Thailand, Vietnam, Australia dan China. Bulog lalu
mendistribusikan ke pasar dengan harga murah dan subsidi. Tidak
lain, bertujuan untuk menjatuhkan harga produk petani sendiri.
Padahal kalau
memakai logika sehat, maka dari pada memberi untung petani
negara lain, kenapa tidak memberi untung petani sendiri.
Supaya mereka juga bergairah untuk bertani.
Bagi negara agraris
seperti Indonesia, seharusnya haram hukumnya mengimpor produk
holtikultura dari negara lain. Sepanjang produk tersebut bisa
ditanam dan diproduksi dinegeri sendiri bukankah lebih baik menolong
petani sendiri, ketimbang petani-petani negara lain.
Harapan kita ke
depan, hendaknya pertanian menjadi andalan utama bangsa dan negara
serta menjadi bagian dari blu
print
tetap pemerintah untuk selama-lamanya. Buanglah mimpi
menjadi negara industri pabrikan, kecuali meregulasi ulang
kebijakan sektor pertanian dan memodernisasi
industri pertanian. Karena pertanian adalah sudah merupakan
karunia besar dan takdir Tuhan untuk kemakmuran negara ini.
Jangan sampai bangsa
ini berulang kali terpuruk dan jatuh ke lubang yang sama. Selama ini
petani dan buruh, hanya dimanfaatkan oleh kepentingan kapitalisme
global, karena pasarnya yang empuk, murah didikte dan terkenal
dengan upah buruh yang murah. Akibatnya sangat fatal, dengan
upah dan gaji yang kecil, maka implikasinya adalah ketidakmampuan
buruh, pegawai negeri, termasuk buruh tani untuk
membeli pangan dengan harga yang memadai.
Mudah-mudahan dengan
ikhtiar seluruh rakyat Indonesia, dengan menjalankan
prinsip gotong-royong dan political
will
pemerintah. Negara RI akan kembali meraih swasembada beras dan mampu
mengoptimalkan produk haltikultura yang berdaya-saing di
tingkat regional dan global. Sehingga memberikan keuntungan dan
kemanfaatan bagi seluruh rakyat.
Sebab dengan produk
pertanian yang berkualitas dan harga yang baik, keuntungan
bisa dicapai oleh petani. Konkretnya, regulasi dan kebijakan
pertanian hendaknya bisa memberikan nilai tambah dan memberikan
keuntungan yang nyata bagi para rakyat Indonesia.
Hanya dengan demikianlah kesejahteraan petani pada satu sisi akan
semakin meningkat serta mewujudkan swasembada pangan pada sisi yang
lain.
Pada
sisi
lain
ada beberapa hal pula yang dapat diupayakan dalam rangka menekan
tingginya angka impor pangan dalam negeri.
Pertama,
mendorong
kemauan politik pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan
sumberdaya yang cukup di sector tanaman yang dikelompokkan dalam
pangan.
Kedua,
terciptanya mekanisme pasar yang merangsang petani meningkatkan
produksi pangan. Pada wilayah ini, pemerintah harus memberikan harga
yang layak terhadap hasil produksi petani, sehingga ini akan turut
memotivasi petani dalam meningkatkan hasil produksinya.
Ketiga,
adanya perbaikan yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat
terhadap berbagai jenis pangan untuk perbaikan gizi.
0 Comments