Oleh: Maria Ulfah
BICARA tentang generasi biasanya identik dengan anak-anak kita, remaja-remaja kita. Lalu, apa yang terbesit di pikiran kita mengenai mereka saat ini. Bisa jadi keceriaan? Kepolosan? Prestasi? Berani mencoba apa aja? Atau kelabilan? Kekerasan anak? Narkoba? Tawuran? Pergaulan bebas? Ketakutan orang tua? Mari kita banding-bandingkan, mana yang lebih banyak realitanya saat ini. Yang baik-baik atau yang buruk-buruk yang menimpa anak-anak kita saat ini?
Coba perhatikan beberapa berita tentang anak-anak kita, misalnya saja baru-baru ini kita dihebohkan dengan pemberitaan tentang seorang mahasiwa berprestasi peraih medali emas PON yang di DO karena kelakuan bejatnya memperkosa gasdis 16 tahun. Atau Satu lagi, yang sangat mengiris hati adalah berita tentang seorang pelajar siswi kelas 10 SMK Negeri di Jember memampang foto vulgarnya dengan berpose selfie menunjukkan alat vital sambil berseragam sekolah. Nah lo, setiap hari kita menyaksikan berita yang tidak meng’enak’an, tidak sedikit tentang anak-anak kita hari ini yang kehilangan identitasnya sebagai generasi emas penerus bangsa.
Para orang tua pun dihantui rasa ketakutan,tapi merekapun tak tahu apa yang harus diperbuat. Mungkin banyak yang hanya melegowokan diri dengan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berbasis agama kuat dan ternama sehingga bisa membuat anak-anaknya bermoral baik, tapi tentunya hanya segelintir orang yang mampu. Sementara yang akrab dengan anak-anak kita adalah tontonan saat ini, baik berupa tontonan langsung di rumah, di sekolah, lingkungan sekitar atau dari televisi atau media internet. Sayangnya, tontonan itu terlalu banyak yang merusak sampai tak terbendung lagi mana yang baik, mana yang buruk, mana yang haram mana yang halal.
Menelisik lagi ke dalam, semua itu ada pada bagaimana pendidikan yang di dapat anak-anak kita, apakah salah mereka saja? Tentunya bukan tanggung jawab orang tuanya saja tapi semua turut andil, baik itu gurunya, lingkungannya bahkan negara sangatlah besar perannya guna memenuhi pendidikan yang baik bagi anak-anak kita. Bagaimana sekarang di sistem yang sekuleris ini anak-anak tidak lagi mengidolakan orang-orang hebat karena keilmuan atau kesholehan atau karena hafalan al-qur’annya.
Bagi mereka idola adalah apa yang terpampang di televisi, yang terbanyak ditonton di youtube, tren yang paling banyak digandrungi. Atau bisa jadi orang tua sudah menjadi contoh yang baik, guru-guru dan sekolah sudah sangat menjaga akhlak dan pergaulan anak-anaknya, tapi negara sedikitpun tidak membatasi atau memfilteri tayangan-tayangan perusak. Tentu akan sangat sulit, anak-anak kita punya teman, anak-anak kita pun bebas memilih apa yang mau ditontonnya.
Tak ayal, kekerasan anak, perkelahian, pornoaksi/pornografi itu lah yang menjadi sarapan,makan siang atau makan malam bagi anak. Selain itu dalam perundang-undangan pun, negara mengartikan anak-anak itu sampai usia 18 tahun, sungguh sudah kelewat baligh. Sehingga terjadilah kemakluman-kemakluman atas perbuatan “kekanak-kanakan” mereka. Bisa dikatakan gejolak masa remaja yang terjadi pada hari ini muncul karena adanya kesenjangan yang serius antara kedewasaan biologis dan kedewasaan psikologis pada diri anak.
Sejenak mengambil nafas untuk kebobrokan ini, lalu coba kita pertanyakan lagi mengapa mereka bisa seperti itu? Mari kita tanya mereka juga, apakah mereka tahu atau pernah diberi tahu kalau menonton video porno itu haram, atau pacaran itu haram atau memploncoi adik tingkat atau berkata kasar atau sekedar membiarkan teman tidak sholat itu dosa. Mungkin mereka hanya berpikir kalau itu adalah katagori perbuatan yang buruk seperti yang diajarkan di pelajaran PKN atau agama sekalipun sehingga tidak merasa ada pertanggungjawaban kepada sang Khaliq-nya.
Letak kesalahannya ketika merasa antara perbuatan dengan pahala/dosa itu tidak ada hubungannya,kalau perbuatan itu bukan “ibadah”. Seperti inilah pendidikan kita saat ini, yang menerapkan kehidupan berdemokrasi yang memiliki asas kebebasan dalam berperilaku. Sehingga tidak ada standar tegas dan jelas dalam berperilaku, mudah sekali melakukan hal-hal yang lebih didorong oleh hawa nafsu. Kesuksesan diukur dari keberhasilan meraih prestasi belajar, titel yang tinggi, kaya dan keluarga yang baik-baik. Anak-anak kitapun kehilangan acuan dan tujuan hidup, kesalahan memilih idola dan teladan dalam kehidupan.Mereka dididik untuk menjadi generasi matrealistik berdasarkan suka tidak suka, bermanfaat tak bermanfaat bukan berdasar halal atau haram, ibadah atau maksiat.
Dalam Islam mengajarkan bahwa pendidikan anak itu bukan dari ia PAUD saja, tapi semenjak ia dalam kandungan bahkan bagaimana orang tuanya mencita-citakan nya sejak ia direncanakan, yaitu cita-cita tertinggi untuk menjadi insan bertakwa. Memahami identitas dirinya adalah seorang hamba yang diciptakan Allah untuk beribadah berdasarkan tuntunan syariatnya. Apakah kapasitasnya sekarang sebagai bayi,balita,anak-anak,remaja ataupun seorang yang dewasa dari segi usia.
Sehingga ketika ia baligh, ia sudah siap dan mapan menerima cobaan, mengasah kemampuan, dewasa dalam bersikap. Seperti halnya istri Rasulullah SAW Aisyah RA yang sudah memiliki pemahaman yang mendalam tentang pernikahan dan bagaimana menjadi isteri padahal usianya masih sangat belia, atau bagaimana Muhammad Al-Fatih diusianya yang belum genap 20 tahun menjadi panglima penaklukan negeri Spanyol (Konstantinopel). Sehingga bagi laki-laki,ketika ia baligh maka ia sudah paham kalau ia tak boleh lagi bertopang hidup dengan kedua orang tuanya saja, dan bagi wanita ia akan mempersiapkan baik-baik dirinya untuk menjadi seorang isteri/ibu dengan menjaga kehormatan dan kesuciannya.
Kenapa kita manusia malah memberi batasan yang melampaui aturan Allah, seperti membatasi sampai usia 18 tahun masih anak-anak, padahal Allah telah jelas memberi batasan seseorang kapan ia baligh (bertanggung jawab atas dosa-dosanya) karena hanya Allah yang paling mengerti ciptaanNya yang lemah dan serba terbatas ini. Sungguh kita telah melampaui batas dan mengabaikan aturan-aturan Allah sehingga wajarlah kita kehilangan mata arah tujuan dan ketentraman hidup karena tak mau diatur oleh syariat-Nya secara kaffah. Dan anak-anak kita pun adalah korban atas kerusakan penerapan demokrasi sekularis ini. Segera beristigfar dan ikut dalam barisan perjuangan menegakkan khilafah dan menerapkan syariah. 
Sumber : Islampos.com