Asep Irama 



Marhaen, Jakarta - Jean Baudrillard (1929-2007), pakar teoretisi kebudayaan dari Perancis memiliki istilah menarik: silent majority atau ‘masyarakat diam’. Istilah yang dibuat kisaran tahun 1981 ini menjadi titik-balik atas kenyataan sosial-budaya masyarakat yang memiliki postulat gaya hidup pop dan kebudayan dangkal. Masyarakat, kata Baudrillard, tidak lagi bisa mengembangkan naluri kreatif dan pikiran kritis akibat dibelenggu oleh fantasi, simulasi, dan tuntutan artifisial.

Masyarakat hari ini, sadar atau tidak, dikebiri oleh kepentingan gaya hidup global beruapa superioritas ruang virtual. Kehidupan sosial kini ditampilkan dalam kehidupan virtual: ruang-ruang maya dan internet. Padahal, sebagaimana pernah disinggung oleh James Brook dan Iain A. Boal dalam Resisting the Virtual Life, gaya hidup virtual dengan sama-sekali mengandalkan tekhnologi selalu bersifat merusak, karena hubungan simulakranya menggantikan interaksi tatap-muka yang sebenarnya lebih berharga.

Pada titik yang sama, domain praksis Pancasila terhadap skema kehidupan masyarakat postmodern yang justru banyak dikelabuhi kepentingan tekhnologi virtual, kini banyak disinggung dan dipertanyakan: bagaimana peran ideologi Pancasila di tengah kepungan modernitas? Masihkah Weltanchauung dan pandangan tentang kehidupan dan dunia yang digaungkan Bung Karno dalam Pancasila ada buktinya?

Kontekstualisasi Pancasila

Pancasila bukan ideologi bangsa yang kering sejarah. Historisitas Pancasila selalu dimaknai sebagai juntrung perjuangan menuju kehidupan bangsa yang harmonis dan egaliter. Pidato lahirnya Pancasila yang populer pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, dengan begitu bangga dan kentara, berusaha memadukan dimensi sosial, budaya, dan mitos sebagai jembatan pemersatu bangsa. 

Kesaktian Pancasila kemudian diluber ke dalam falsafah kenegaraan—Bung Karno menyebutnya philosofisce grondslag—yang kemudian dikenal sebagai dasar kehidupan berbangsa-bernegara. Dasar Pancasila bahkan menyulap keberagaman dan multikulturalitas sebagai khasanah khas keindonesiaan yang direkat oleh kesepahaman dan kesetaraan (equality). Gotong-royong dan bahu-membahu menjadi nilai fundamental yang terkandunng dalam universalitas Pancasila.

Namun begitu, kini relaitas berbicara lain. Berjibun fenomena teror, aksi kekerasan, dan sejumlah praktik asusila bahkan terlihat makin masif dan berdiaspora. Media cetak dan online tak henti-hentinya menyuguhkan berita dengan motif yang sama: kekerasan dan praktik asusila. Internalisasi nilai dan spirit Pancasila seperti hanya menjadi buaian teoritik semata. Buktinya, sikap masyarakat individualis yang hanya mengunggulkan kepentingan pribadi dan kroni tanpa menilik kepentingan kolektif menjadi representasi atas jumudnya aktualitas prinsip Pancasila yang bahu-membahu dan gotong-royong.

Padahal, cukup banyak program sosialisasi nilai-nilai dasar Pacasila yang coba diinternalisasikan oleh pemerintah kepada masyarakat, seperti penghapusan indoktrinasi Pancasila sebagai materi wajib dalam kurikulum pendidikan di tahun 1968; penyegaran pola sosialisasi dari penataran Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) menjadi sosialisasi Empat Pilar (4P); Empat Pilar Goes to Campus. Tetapi memang, pemerintah saja tidak cukup untuk memantik spirit pancasilais masyarakat untuk kembali mereguk kehidupan yang lebih baik.

Penting untuk disadari, banyaknya aksi asusila yang dilakukan masyarakat setidaknya menjadi konsekuensi atas kehidupan virtual mereka. Ruang sosial kini dikepung oleh apa yang diistilahkan Yasraf A. Piliang sebagai pembalikan kultural, yakni mengesensikan yang banal-dangkal dan membanalkan yang esensial. Sementara, tekhnologi propaganda ruang virtualitas, seperti televisi dan internet, memang lebih banyak mewartakan tayangan-tayangan populer yang sarat dengan praktik-praktik dangkal dan banal.

Tidak hanya itu, persoalan untuk merawat Pancasila seperti tidak ada habisnya. Banyak sekali ‘pekerjaan rumah’ yang mendesak untuk dilaksanakan. Seperti: pertama, usaha untuk memulihkan prinsip dan nilai Pancasila yang tercemar oleh praktik pemerintahan Orde Baru yang sengaja dicitra sebagai instrumen untuk melanggengkan status quo. Pada konteks ini, Pancasila tidak mesti dijadikan ideologi bangsa yang kedap dan final, tetapi membuka peluang untuk terus diperbaharui sesuai dengan konteks kehidupan.

Kedua, sistem pemerintahan desentralisasi yang bahkan memperkuat semangat kedaerahan dan paham primordialis. Secara tidak langsung, sistem desentralisasi memang mengandaikan semangat kedaerahan yang bahkan bisa jadi akan berujung pada paham truth claim dan semangat mengunggulkan daerah sendiri kemudain  menafikan daerah lain. Kendala atas paham sektoral ini adalah hilangnya jiwa egaliter dan rasa solidaritas masing-masing daerah. Mestinya, setiap daerah memiliki peluang dan tantangan untuk menjadi daerah maju dengan memperkuat tali integrasi masing-masing, tanpa menyudutkan satu-sama lain.

Ketiga, masifnya ideologi lain yang berusaha menggantikan asas Pancasila—terutama setelah Presiden Habibie menghapus ketentuan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas bangsa. Dalam pada itu, praktik-praktik teror dan ancaman HAM yang marak akhir-akhir ini memang sebagai akibat dari diaspora ideologi lain yang bahkan menghanguskan sendi humanisme, kemanusiaan. Saat ini, banyak aliran-aliran atas nama sekte yang berlain pandang dengan asas universalitas Pancasila.

Pada tahap inilah, kesadaran berpancasila harus kembali didengungkan, betapa pun hal itu menjadi pekerjaan yang sulit dan memakan waktu di negeri yang antah-berantah ini. Setidaknya, supaya nilai pancasila tidak sekadar menjadi pelengkap teori kebangsaan dan komodi omong banyak orang, penting kiranya menlanjutkann apa yang disebut Kuntowijoyo sebagaimana juga pernah ditulis Yudi Latif sebagai “pengakaran” (radikalisasi).

Merawat Pancasila melalui proses radikalisasi harus melalui tiga tahap: Pertama, radikalisasi mencakup dimensi keyakinan (mitos), yaitu proses mengukuhkan kembali asa Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa (deconfessional ideolgy). Kedua, radikalisasi mencakup dimensi penalaran (logos), yaitu pengembangkan kerangka Pancasila dari ideologi menjadi ilmu. Pada konteks ini, Pancasila sebagai paradigma ilmu mampu menjembatani ‘idealitas’ menjadi ‘realitas’. Penalaran ini juga bermaksud untuk tidak menjadikan asas Pancasila sebagai asas eksklusif dan final, tapi terbuka untuk kemungkinan diperbarui.

Keempat, radikalisasi mencakup dimensi kerja-juang (etos), yaitu kerja-juang semua elemen bangsa untuk meyakini konsistensi Pancasila dengan produk perundang-undangan dan korespondensi Pancasila dengan realitas sosial. Kelima sila sebagai rincian asas yang koherensif dan saling menguatkan, pada titik ini, tidak lagi sekadar melayani kepentingan negara, tetapi sebaliknya, Pancasila juga bermakna kritik atas kebijakan negara.

Hal tak bisa ditawar, Menjaga kesaktian pancasila sebagai dasar Negara adalah tanggungjawab dan kewajiban semua pihak demi mempertahankan keutuhan NKRI.