M. Rizki Damanhuri
Marhaen,
Jakarta - Evolusi bangsa Indonesia saat ini tengah
berjalan dan diharapkan menuju ke arah yang semakin baik. Meskipun
prosesnya dirasakan pahit akibat tarik ulur berbagi kepentingan
politik, semua pihak, termasuk media massa punya tanggung jawab besar
membawa bangsa menjadi lebih baik.
Refleksi
perjalanan bangsa itu terungkap saat peluncuran buku pemantauan dan
pemahaman 100 tulisan pilihan 1973-2013 serta Sabam P.
Siagian-Perenungan dan pemikiran (Kumpulan Esai) karya Redaktur
senior harian The Jakarta Post, Sabam Pandapotan Siagian di kantor
harian The Jakarta Post, Jakarta, kamis (29/1).
Hadir
sejumlah pembicara, di antaranya Wakil Pemimpin Umum Kompas, Rikard
Bagun dan Presiden direktur The Jakarta Post, Jusuf Wanandi dan
sebagai moderator adalah pemimpin Redaksi The Jakarta Post,
meidyatama Suryoningrat. Buku tersebut tak dikupas detail, tetapi
dijadikan ajang refleksi kondisi jurnalistik saat ini.
“Kecanggihan
tekhnologi membuat media jurnalistik saat ini lebih mementingkan
tingkat kecepatan menyampaikan informasi kepada publik yang
menjadikan persoalan tingkat akurasi jadi terpinggirkan. Begitu cepat
sebuah kecelakaan diinformasikan adanya tujuh orang meninggal dunia
dalam beberapa menit, jurnalis bisa mengirimkan berita yang ternyata
jumlah korban meninggal dunia hanya satu orang.” Ucap Sabam.
Sementara
Rikard menambahkan pengetahuan atau ide penulisan adalah sebuah
kekuatan yang terkadang pengaruhnya jauh lebih berperan. Dari Sabam
bisa belajar berapa pentingnya ketegasan sebagai sikap junalistik
tetapi tetap manis dalam penyampaian. Kita banyak bicara, tetapi lupa
bekerja. Dinamika ekonomi sebagai tahap waid and see atau siap ambil
ancang ancang terhadap kondisi kedepan, namun semua jarak pandang
terlalu pendek arahanya belum terlau jelas karena ada realitas
politik berlapis lapis.
Jusuf
mengatakan ‘’ketika krisis bisa dilalui dengan baik, bangsa ini
diyakini semakin kuat .Kemajuan akan tetap ada bersama bangsa ini.”
Tuturnya.
Sementara
itu, peneliti institute for criminal justice reforms, Erasmus
Napitupulu mengatakan undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang
informasi dan taransaksi Elektronik (ITE) kerap dijadikan alat
represif kepala daerah untuk melaporkan warganya ke polisi yang
mengkritiknya lewat media sosial . Dengan UU ITE itu warga tak hanya
ditahan, tetapi juga diadili hingga akhirnya dihukum.
“Penguasa
di daerah sengaja memanfaatkan UU ITE agar tak dikritik ini ancaman
buat demokrasi.’’ Ujar Erasmus yang mengadakan jumpa pers LBH
pers dan lembaga Safe net.
Sumber: kompas
0 Comments