Fikri Badrus Zaman
foto: Republika |
Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi
korban atas penindasan penghisapan yang dilakukan korporasi korporasi untuk
mendapatkan keuntungan yang besar dan tidak memperdulikan nasib rakyat kecil
yang hanya mempunyai kehidupan yang sangat tipis untuk bertahan hidup, para
pengusaha untuk mendapatkan profit dengan cara apapun akan ditempuh, begitu
pula dengan negara yang bagaimana pun mempersempit kesejahteraan rakyatnya dan
melanggengkan kekuasaan kekuasaannya dan berkoalisi dengan para tuan tuannya
untuk mendapatkan profit yang mengatasnamakan rakyat!!!
Inilah adalah ciri watak orde baru
yang sampai saat ini nyata.
Saat ini sedang
berlangsung mega proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sedang panas menjadi
sorotan publik. sebelumnya bali bernasib yang sama dengan adanya reklamasi
Teluk Benoa (Bali) menjadi perhatian
rakyat Indonesia dan para aktivis lingkungan dan warga bali menolak dengan
adanya reklamasi tersebut, mereka mengira reklamasi bukanlah jalan keluar untuk
membangun ekonomi lebih baik tetapi berdampak kerusakan ekosistem alam,
menindas kaum kecil (nelayan) yang mencari kehidupan dengan menangkap ikan di
laut dan tentu reklamasi itu bisa membuat warga bali seperti ada di neraka.
Kita bahas
kembali soal mengenai reklamasi Teluk Jakarta. Jakarta adalah ibu kota negara
indonesia dengan tata ruang yang padat, gedung-gedung pencakar langit, banjir
selalu datang ketika hujan, kemacetan selalu menerkam dan jumlah penduduknya sekisaran
10.075.30 (sumber data BAPPEDA tahun 2014). Hal ini menjadi perdebatan publik
mulai ada yang Pro dan Kontra dengan adanya reklamasi ini, tentu yang menolak
reklamasi ini memikirkan bagaimana dampak reklamasi di Teluk Jakarta ini bisa
memperparah kehidupan di Jakarta.
Sebelumnya
dalam berita harian Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau sering di
kenal Ahok bersikeras untuk mendukung dan mengizinkan mega proyek reklamasi Teluk Jakarta ini, Ahok bersikeras
karena berpegang teguh pada Kepres no. 52 tahun 1995 tentang reklamasi
kawasan Pantura dan Perpres no. 54 tahun 2008 tentang penataan ruang kawasan
Jabodetabek. Ini menjadi acuan ahok untuk menerbitkan SK Gubernur DKI Jakarta
Nomor 2238 Tahun 2014 pada 23 Desember 2014. Dalam isi SK ini memberikan izin kepada
pelaksanaan reklamasi Pulau G dan 17 Pulau kepada PT. Muara Wisesa samudera yang
statusnya adalah anak perusahaan dari Agung Podomoro Grup.
Tentu dasar
hukum yang ahok pegang saat ini bertentangan dengan UU no. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memberikan mandat tanggung jawab
kepada Kementrian kelautan dan perikanan untuk pembangunan kawasan pesisir
dengan luas di atas 2.000 hektar. Ditambah lagi dengan adanya Perpres No.122
tahun 2014 menyatakan Kementrian kelautan dan perikanan mempunyai kewenangan
dalam mengelola kawasan strategis nasional ,salah satunya adalah Teluk Jakarta
yang selama ini hangat di bicarakan.
Dengan adanya Undang- undang No
27 tahun 2007 dan perpres no. 122 tahun 2014, Ahok bisa dikatakan tidak menaati
hukum yang berlaku. keputusan pada hakikatnya mempunyai sifat yang sesaat yang
artinya Cuma hanya sesekali saja, berbeda dengan pengertian peraturan yang sifatnya
berlaku terus menerus hingga adanya regulasi hukum yang baru . Ahok disini juga
melakukan kesalahan dengan mengeluarkan izin berupa SK gubernur terlebih dahulu
sebelum dengan adanya AMDAL, padahal kalau mengacu pada Pasal 26 UU No. 32
Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, AMDAL harus terbit dahulu secara transparan dan partisipatif Setelah
dilakukan penyusunan AMDAL secara transparan dan partisipatif, gubernur baru
dapat mengeluarkan izin. Tetapi disini terlihat terbalik dalam melakukan administrasi
ini bisa kita ketahui dengan adanya gugatan Kesatuan
Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang di tunjukan kepada PT. Muara Wisesa Samudera di PTUN bertanggal 3 desember
2015, Dalam gugatan ini PT. Muara wisesa samudera tidak bisa membuktikan di
depan majelis hakim bahwa korporasi ini sudah mengantongi beberapa prosedur
izin untuk melaksanakan reklamasi, bahkan pengacara PT. Muara wisesa samudera berdalihs
udah mengantongi perizinan tetapi tidak perlu di buka ke publik kata si
penagacara , KNTI dalam gugatannya juga mempersoalkan SK gubernur ini karena
menyalahi aturan karena itu adalah wewenang Pemerintah Pusat.
Pada intinya reklamasi harus di
tolak siapapun yang melakukannya, karena
di setiap reklamasi itu bukannya membuat dampak lebih baik dalam hal apapun
tetapi berdampak sangat buruk, kerusakan ekosistem laut dan pengrusakan
lingkungan dan tentu ini akan berdampak meluapnya pantai pesisir juga dan masih
banyak hal lain yang terkena dampak reklamasi ini.
Jepang dan korea selatan dulu
pernah melakukan reklamasi tetapi 2 negara ini menyesal melakukannya karena
memang berdampak sangat buruk bagi lingkungan dan ekosistem alam. Jepang dan
korea akhirnya merestorasi dan mengambil ahlikan fungsi awalnya.
Belajar lah pengalaman dari
jepang dan korea dampak reklamasi bukannya solusi untuk melakukan perbaikan
ekonomi dan pembenahan tata ruang pembangunan tapi hanya menyengsarakan rakyat.
Tolak
bentuk kejahatan yang merugikan rakyat mari bersama-sama kita mengkritisi
reklamasi Teluk Jakarta!!!
0 Comments