Oleh. Iqrak Sulhin
Foto : Google.com
Marhaenpress- Dalam dua bulan terakhir, media massa seperti tidak
habis-habisnya membahas sangkaan pembunuhan yang dilakukan oleh Jessica
terhadap Mirna. Hal yang menarik bagi saya justru bukan pada mengapa dan
bagaimana pembunuhan itu terjadi tetapi pada bagaimana kasus itu
diberitakan atau diperbincangkan.
Berbagai penelitian memperlihatkan, pembunuhan adalah
bentuk kejahatan yang paling menarik perhatian media massa. Bad news is
good news, mungkin begitulah pembunuhan dilihat dalam konteks nilai
berita.
Tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana konstruksi media terhadap pembunuhan dan apa implikasi sosialnya.
Pembunuhan adalah bentuk kejahatan kekerasan yang cenderung
disebabkan oleh persoalan interpersonal. Sederhananya, pembunuhan
terjadi karena adanya sengketa personal di antara pelaku dan korban,
seperti dendam karena hinaan, masalah hutang piutang, perebutan harta,
perselisihan dalam pekerjaan, hingga masalah percintaan.
Kejahatan ini masuk dalam kategori yang serius karena
menghilangkan sesuatu yang dinilai paling berharga bagi diri manusia,
yaitu kehidupannya.
Pembunuhan pun turut memberikan dampak terhadap keluarga
atau masyarakat. Kedua hal ini pulalah yang semakin membuat pembunuhan
sangat “menarik” untuk diberitakan.
Namun demikian, memberitakan pembunuhan tidak sama dengan
menjelaskannya secara mendalam dalam sebuah penelitian ilmiah. Bila
penelitian disusun dengan keharusan metodologis yang jelas dan handal,
tidak demikian dengan pemberitaan.
Pemberitaan cenderung merubah fenomena empiris menjadi
fenomena yang sangat berbeda di dalam teks, audio, visual, dan audio
visual. Sulit untuk menerima berita sebagai realitas empiris.
Media massa merepresentasi sesuatu dalam sebuah ‘frame’.
Hal mana akan berdampak pada berbedanya peristiwa sebenarnya dengan apa
yang dibaca, didengar atau ditonton. Bila proses framing terjadi secara
tidak proporsional, maka publik akan dihadapkan pada beberapa dampak.
Pertama, pemberitaan dapat menciptakan perbedaan makna kejahatan di masyarakat. Media dapat menganggap suatu kejahatan masuk dalam kategori sangat serius sementara masyarakat atau bahkan penegak hukum menilai sebaliknya.
Fiona Brookman dalam bukunya Understanding Homicide (2005)
menjelaskan bahwa pembunuhan adalah sebuah kejahatan yang maknanya
dikonstruksi secara sosial. Dalam hal ini juga dilakukan oleh media.
Jarang ada yang menganggap kematian akibat pencemaran
pabrik adalah sebuah pembunuhan. Namun akan berbeda bila media
memberitakannya secara terus menerus dengan frame pencemaran adalah
pembunuhan.
Berbagai kasus ‘begal’ yang terjadi tahun 2015 lalu dapat
menjadi contoh. Secara statistik, mengacu pada data Polda Metro Jaya,
sebenarnya angka kejahatan pencurian dengan kekerasan di Jakarta justru
memperlihatkan kecenderungan menurun pada kisaran 9% setiap tahun sejak
2013. Dengan kata lain, berdasarkan data, ‘begal’ belum dapat dikatakan
semakin mengkhawatirkan.
Barry Mitchell (1998) juga menjelaskan hal serupa.
Menurutnya, persepsi publik yang keliru terhadap pemberitaan pembunuhan
di media terjadi karena media tidak memberikan informasi yang cukup dan
bahkan tidak tepat tentang peristiwanya.
Opini terbentuk tanpa pengetahuan substantif tentang
kejahatan pembunuhan itu sendiri. Realitas media tidak cukup memberikan
gambaran dan pemahaman yang akurat. Selain itu, kecenderungan media
selalu mengarah pada respon punitif terhadap kejahatan pembunuhan yang
diberitakan.
Kedua, amplifikasi kejahatan di media massa dapat berdampak
pada munculnya ketakutan akan kejahatan (fear of crime). Di satu
sisi, fear of crime dapat bermakna rasional ketika ketakutan akan
membentuk kewaspadaan.
Namun di sisi lain, ketakutan merupakan respon yang tidak
beralasan, dan ini terbentuk dari pemberitaan yang tidak proporsional
dari media massa. Secara statistik rendah, namun karena diberitakan
berulang-ulang dengan ‘frame’ yang dramatis, seperti “Begal Makin
Mengancam”, publik menjadi irrasional.
Saya menduga, penghakiman massa yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap anggota begal yang tertangkap disebabkan oleh fear
of crime ini.
Saya sendiri cukup sering dihubungi oleh kawan-kawan
reporter dan dimintai pendapat sebagai kriminolog. Pertanyaan yang
kadang disampaikan kawan-kawan adalah “mengapa fenomena ini kembali
meningkat?”.
Pertanyaan tersebut sudah merupakan sebuah ‘framing’,
padahal berdasarkan data tidak bisa dikatakan meningkat. Dalam konteks
pembunuhan, ‘frame’ “semakin meningkat” sering ditanyakan bila dalam
waktu yang tidak terlalu jauh terjadi beberapa pembunuhan.
Ketiga, media dapat mendramatisasi kejahatan menjadi
sesuatu layaknya sinetron atau telenovela. Kasus Mirna dalam pandangan
saya sedang berhadapan dengan dampak yang ketiga ini, dengan berbagai
spekulasi yang muncul di seputaran kasus ini.
Bila mengacu pada tulisan Lizzie Seal,Women, Murder and
Femininity: gender representations of women who kill (2010), pembunuhan
yang dilakukan seorang perempuan dinilai lebih mengganggu atau
menggelisahkan.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat yang
patriarkis. Menurutnya, kekerasan adalah atribut bagi maskulinitas
sehingga pembunuhan yang dilakukan oleh seorang perempuan melanggar
norma femininitas seperti lebih bersifat mengasuh, lembut, dan patuh.
Perempuan yang membunuh, dalam cara pandang patriarkis,
merusak pembedaan gender antara maskulinitas dan femininitas yang telah
dibentuk budaya.
Pemahaman yang kurang terhadap realitas suatu kasus
pembunuhan membuat media sering terjebat pada aspek dramatisnya. Dalam
konteks koran, tulisan dari Moira Peelo, et.al (2004) menjelaskan, media tidak dirancang untuk menghasilkan pesan yang jelas mengenai pembunuhan.
Peran media tidak mendidik atau memberikan informasi secara
akurat, namun lebih untuk menjual korannya agar laku. Hal ini
menjelaskan mengapa memberitakan pembunuhan, berikut dramanya, adalah
sesuatu yang sangat menjual.
Sementara di lain pihak media merupakan kontributor yang
kuat terhadap pengetahuan dan kesadaran publik mengenai kejahatan. Dapat
dibayangkan, kemungkinan terjadinya pemahaman yang salah tentang apa
sebenarnya pembunuhan itu dari sisi keilmuan (baik psikologi maupun
kriminologis).
Masih mengenai dramatisasi pembunuhan, Lizzie Seal,
menambahkan ‘melodrama’ adalah frame pilihan media dalam membentuk
cerita, yg cenderung memainkan emosi. Pemberitaan justru mengajak publik
untuk larut dalam amarah atau kebencian. Hal mana menjadi masalah bila
ternyata yang dituduh membunuh bukan pelaku sebenarnya.
Selain itu, ‘the gothic genre’ juga sering menjadi pilihan,
ketika pembunuh akan dicirikan sebagai monster. Frame ini cenderung
digunakan untuk perempuan yg membunuh, karena dianggap melawan sifat
femininitas yg dikonstruksi oleh budaya.
Rasanya bila ditanyakan kepada redaksi media, tentu akan
membantah pernyataan di atas, meskipun saya kira tidak untuk seluruhnya.
Media massa adalah bisnis, sehingga aspek dramatis dari
sebuah peristiwa akan dilihat sebagai sesuatu yg jg penting selain
substansinya. Kemasan juga penting dalam hal ini. Bila tidak dikemas
menarik, siapa yg akan tertarik membaca atau menonton.
Perubahan ke arah online media turut mendorong pemikiran ke
arah tidak hanya pentingnya kemasan, namun juga soal kecepatan.
Sejatinya, peran media massa adalah agen sosialisasi sekunder, namun di
saat yg sama juga merupakan bisnis yang berorientasi pada keuntungan.
Iklan di media online akan datang bila banyak yang mengakses laman berita, demikian pula dengan media lainnya.
Bila dilihat dari sisi masyarakat, pemberitaan tentang
kejahatan, khususnya kejahatan jalanan, akan memberi manfaat dgn
terbentuknya kewaspadaan. Namun hal ini dapat dicapai bila media
memberitakan secara proporsional.
Dalam konteks pembunuhan, pemberitaan media mungkin tidak
memberi manfaat sama sekali dalam konteks pencegahan mengingat sifat
interpersonal dari kejahatan kekerasan ini. Namun media perlu menyadari
bahwa pemberitaan dapat membentuk persepsi yang tidak proporsional di
publik tentang pembunuhan.
Dua penelitian doktoral di Universitas Indonesia oleh Fadil
Imran (2014) & Vinita Susanti (2015) memperlihatkan bahwa
pembunuhan oleh perempuan dapat pula terjadi karna pelaku sejatinya telah
menjadi korban kekerasan domestik yg dilakukan oleh korban (biasanya
suami).
Pemahaman yg lebih mendalam seperti ini diperlukan untuk
membentuk persepsi publik secara proporsional. Tidak justru terjebak pada
dramatisasi perempuan pelaku pembunuhan.
Terlepas dari bagaimana kegeraman publik terhadap sangkaan
pembunuhan yang dilakukan oleh Jessica, media massa seharusnya memahami
batas dari pemberitaan, seperti tidak justru masuk ke dalam berbagai
spekulasi diseputar kasus.
Hal ini penting disadari karena benar atau tidaknya
pembunuhan tersebut dilakukan oleh Jessica, sebagai tersangka dirinya
berhak untuk dianggap tidak salah terlebih dahulu sebelum putusan tetap
dari pengadilan.
Dari sisi penegakan hukum, pemberitaan secara positif dapat
berperan sebagai kekuatan pendorong agar dilakukannya pencegahan atau
penegakan hukum.
Pemberitaan dua kasus pembunuhan yang dilakukan terhadap anak
perempuan NF (9) di Kalideres dan sebelumnya Angeline (8) seharusnya
dapat berperan tidak hanya mendorong penegakan hukum bagi pelaku, namun
juga memberi edukasi kepada publik mengenai perlindungan anak.
Hanya saja, untuk menjalankan fungsi ini, mungkin
masing-masing media perlu secara rutin memberikan pembekalan kepada
reporter/jurnalis tentang bagaimana memberitakan kejahatan secara
proporsional.
Sumber : TimeLine Bangsa Mahasiswa Id : @xnb4633f
0 Comments