Oleh. Emir purnama
Foto : Google.com
Negara
Indonesia yang sejak berdirinya mengakui sebagai negara hukum menuangkan
gagasan tentang perlindungan HAM dalam setiap peraturannya. Tak dapat
dipungkiri perkembangan politik mempengaruhi hasil peraturan yang menyangkut
perlindungan HAM. Seiring bergantinya periode kekuasaan di Indonesia, berganti
pula hasil undang-undang tentang perlindungan HAM. Perbedaan disetiap periode
kekuasaan bukan hanya tentang kuantitas dari undang-undang HAM, akan tetapi perbedaan
tentang cara pandang, semangat dan implementasi undang-undang perlindungan HAM
tersebut. Dalam perkembangan tentang perlindungan HAM di Indonesia,
menghasilkan terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM dan
Pengadilan HAM.
Gelombang
tuntutan penyelesaian tindak pelanggaran HAM di Indonesia membuat reaksi yang
keras dari rakyat untuk mendesak pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM pada
masa lampau atau pun masa terkini. Walaupun telah terbentuknya Komnas HAM dan
Pengadilan HAM di Indonesia, masyarakat kurang puas dari hasil kerja kedua
lembaga tersebut. Pada bulan Oktober 2015 di Den Haag Belanda diselenggarakan International
People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) yaitu Pengadilan Rakyat Internasional yang digagas
oleh masyarakat Indonesia yang peduli akan HAM. IPT 1965 bertujuan menguak
kebnearan dalam peristiwa 30 September 1965, dan ini adalah bukti bahwa
pemerintah Indonesia kurang serius dalam penyelesaian tindak pelanggaran HAM.
“Kalau
kita memikirkan kemungkinan peradilan yang sebenarnya saya kira akan sukar
sekali. Bagaimana caranya mencari bukti apa yang keluar dari
kesaksian-kesaksian kemarin. (www.bbc.com)
“Kalau
itu terjadi dalam sidang pengadilan yang benar, saya kira tidak kuat karena
sebagian berdasarkan kesaksian apa yang didengar,” jelas Ko Swan Sik mantan
profesor di Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda. (www.bbc.com)
Semangat
rakyat Indonesia akan perlindungan, penegakan dan penuntasan masalah HAM tidak
sebanding lurus dengan implementasi dan dukungan dari pihak pemerintah. Bukan
hanya persitiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau bahkan akhir-akhir ini
banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi. Sebut saja peristiwa penggusuran
rumah penduduk, perampasan lahan pertanian, pembredelan media massa, aksi unjuk
rasa adalah aspek yang sering menimbulkan pelanggaran HAM. Rakyat lah yang
menjadi korban dalam pelanggaran tersebut dan aparat yang menjadi wakil dari
pemerintah yang bertanggung jawab akan tragedi tersebut.
Golongan
masyarakat yang paling sering menjadi korban akibat pelanggaran HAM yaitu
petani, buruh, aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan kaum miskin kota. Lantas
mengapa itu bisa terjadi? Dan mengapa hanya golongan itu saja yang sering
menjadi korban pelanggaran HAM?. Bila kita mengkaji lebih jauh kembali, bahwa
semua peraturan pemerintah selalu mendapatkan respon baik maupun buruk terhadap
suatu golongan. Dari peraturan pemerintah untuk mengatur rakyat itu lah yang
selalu mendapatkan tanggapan apakah peraturan itu menguntungkan bagi hak-hak
nya atau justru merampas hak-hak nya. Tetapi jika peraturan itu yang
menguntungkan hak masyarakat selalu ada respon yang tidak baik karena
implementasi yang tidak sejalan dengan bunyi peraturan yang dibuat. Ambil saja
contoh kasus yang banyak dialami oleh kaum tani dengan perusahaan ketika kaum
tani mempertahankan lahan garapannya, padahal sudah ada peraturan yang mengikat
yaitu putusan pengadilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung) memenangkan kaum tani,
tetapi tetap saja perusahan merampas lahan petani dan bahkan mengusir dari tempat
tinggalnya.
Itu
merupakan contoh kasus yang terjadi diberbagai daerah dan yang dialam kaum
tani. Bahkan akhir-akhir ini juga banyak sekali kejadian pelanggaran HAM yang
menimpa mahasiswa. Mahasiwa sebagai penerus bangsa dan sebagai agen perubah tak
luput menjadi salah satu korban pelanggaran HAM.
Kasus
pembredelan majalah yang terjadi pada Lembaga Pers Mahasiswa Lentera kampus
Universitas Kristen Satya Wancana (UKSW) adalah contoh yang kongkrit bagi
penegakan hak berekspresi dan menyampaikan pendapat. Kala itu LPM Lentera yang
sebagai organisasi pers mahasiwa memproduksi karyanya dalam sebuah edisi
majalah “Salatiga Kota Merah”, langsung menuai protes dan tekanan agar majalah
harus ditarik kembali. Ini merupakan pelanggaran hak yang dimiliki masyarakat
dalam menuangkan gagasan, pemikiran dan kebenaran. Pemerintah sebagai pelindung
hak rakyatnya seolah tidak berdaya ketika hak rakyat dirampas hanya akibat dari
tekanan segelintir elemen yang mengatas namakan ormas.
"Mereka
dari FUIS (Forum Umat Islam Salatiga) kumpulan dari beberapa ormas, menekan
saya untuk bertindak keras. Lho kok saya? Mereka bilang, masak sebagai kepala
daerah kok diam saja," kata Yulianto selaku wali kota Salatiga.
(kompas.com)
Sangat
aneh sekali ketika tekanan itu muncul, aparat Kepolisian, TNI dan Pemerintahan
Kota (Pemkot), lansung bertintak cepat memenuhi permintaan elemen ormas
tersebut tanpa mengkaji ulang tuntutan ormas itu.
"Yang
terjadi waktu itu kami dari Pemkot, Kodim, dan kepolisian menyampaikan ingin
bertemu dengan Rektor UKSW membahas majalah Lentera. Kebetulan rektor mengabari
waktu itu sedang memanggil redaksi. Kemudian, kita sepakat bertemu di Mapolres.
Dalam pertemuan itu, rektor menyampaikan permintaan maaf dan sepakat menarik
sendiri," ujar Yulianto. (kompas.com)
Padahal
yang dilakukan LPM Lentera adalah produk jurnalistik yang mempunyai dasar
Undang-undang Pers dan memenuhi syarat sebagai produk jurnlistik.
"Jadi
jika ada yang mengatakan 'Lentera' tidak sesuai dengan undang-undang maka dia
tidak membaca Undang-Undang Pers," lanjut Iman selaku Ketua Advokasi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). (kompas.com)
"Kalau
orang tidak suka dengan sebuah produk pers maka dia bisa datang ke Dewan Pers
dan lembaga itu nantu yang akan menyelesaikan masalahnya," ujar Iman. (kompas.com)
Ketika
kasus ini terjadi pihak kampus UKWS seolah-olah luput dari tanggung jawab dan
mengmbil jalan pintas dengan menekan agar majalah tersebut ditarik. Pihak
redaksi LPM Lentera pun akhirnya mengakhir kasus ini dengan tidak menggugat
pembredelan majalahnya.
"Kami
tidak akan menggugat. Karena hal ini sudah dibicarakan pimpinan kampus dan
Pemkot Salatiga, sehingga teman-teman khawatir kena sanksi akademis," kata
Bima, Minggu (25/10/2015). (kompas.com)
Banyak
sekali kalangan yang mendukung agar tim redaksi LPM Lenteran mengajukan gugatan
atas pembredelan majalahnya.
"Jika
ada undang-undang maka seluruh rakyat terikat (undang-undang), termasuk aparat
hukum," dia menegaskan. (kompas.com)
"Pelaku
pembredelan terancam hukuman penjara dua tahun atau denda Rp 500 juta,"
kata Iman. (kompas.com)
Akan
tetapi komisioner Komnas HAM menilai bahwa pihak kampus lah yang seharusnya
membela dan bertanggung jawab atas mahasiwanya. Pihak rektor juga harus
melindungi kehidupan akademis.
"Seharusnya
memang pihak rektorat UKSW yang mengajukan gugatan," ujar Nur Khoirin
selaku komisioner Komnas HAM. (kompas.com)
"Sebaiknya
Menristek Dikti juga turun tangan karena universitas sebagai sumber pengetahuan
di masa depan sedang terancam," tambah Nur Khoirin. (kompas.com)
Penyempitan
ruang demokrasi bukan hanya terjadi kepada mahasiwa Salatiga. Mahasiswa Papua
yang sedang menjalankan study di Yogyakarta. Menurut halaman website
suarapapua.com
Pada Jumat, 15 Juli 2016, Persatuan Rakyat
untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) berencana mengadakan long march dengan
rute Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I (Jl. Kusumanegara) sampai Titik Nol KM,
pk 09.00 – selesai. Long March diadakan dalam rangka menyatakan dukungan pada
ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG, dan memperjuangkan hak menentukan nasib
sendiri sebagai solusi demokratis pada Papua Barat. Namun aksi damai ini
mendapatkan ancaman dan represi dari aparat kepolisian dan kelompok reaksioner.
Nasib
yang dialami oleh mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta, nampaknya tidak jauh berbeda
dengan yang dialami oleh mahasiswa Salatiga. Dimana kebebasan berserikat,
berkumpul dan menyatakan pendapat mendapatkan tindakkan yang represif oleh
aparat dan kelompok reaksioner. Kelompok reaksioner memainkan peran sebagai
provokator dalam upaya pembungkaman dan penyempitan ruang demokrasi. Masih
dalam sumber yang sama yaitu suarapapua.com
Kamis,
14 Juli 2016
Pukul
16.53 WIB, narahubung PRPPB mendapat SMS anonim: “KAFIR!!!!! lagi2 Antek-antek
Separatis yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua Jogjakarta akan
mengadakan gerakan makar dengan aksi turun kejalan yang menyuarakan PAPUA
MERDEKA, PAPUA BUKAN INDONESIA yang membawa atribut Bintang Kejora, Pakaian
adat serta senjata tradisional mereka pada hari Jumat 15 juli 2016 di Nol KM
Yogyakarta.
Terlihat
sangat jelas peran dari kelompok reaksioner sangat penting dalam upaya
pembungkaman dalam menyampaikan pendapat. Kelompok reaksioner sangat efektif
sebagai alat kamuflase agar para mahasiswa ikut dalam konflik mereka dan publik
(masyarakat) akan meklaim bahwa perbuatan mahasiwa itu tidak baik.
Jumat
15 Juli 2016
Pukul
10.40 WIB, sekitar lebih dari 100 orang berseragam Paksi Katon, Laskar Jogja,
Pemuda Pancasila, dan FKPPI bergerak ke depan asrama dari sekitar lokasi.
Mereka meneriakkan kata-kata yang sangat rasialis. Massa aksi di dalam asrama
mampu menahan diri dari provokasi. Tindak rasis ini dibiarkan oleh aparat.
Aparat membaur bersama massa ormas yang memprovokasi.
Akibat
dari kasus ini beberapa mahasiwa ditangkap dan mendapatkan pemukulan oleh
aparat. Pemerintah yang diwakili aparat seolah-olah tidak berdaya ketika
kelompok reaksioner menghadang dan mengancam mahasiswa. Tetapi sebaliknya
ketika para mahasiswa yang diluar mencoba menyelamatkan kawan-kawannya yang
terjebak di asrama, langsung mendapatkan tindakana yang represif dan berdalih
sebagai bentuk pengamanan agar menghindari bentrok dengan kelompok reaksioner.
Segala
tindakan saparatis tidak dapat diterima dan ditolak. Akan tetapi menyampaikan
pendapat dan berserikat harus dibuka seluas-luasnya karena diatur dan
dilindungi oleh undang-undang. Apa yang dilakukan mahasiswa Papua adalah bentuk
kekecewaan terhadap pemerintah yang diskriminatif kepada wilayah Papua dengan
wilayah yang ada di Indonesia. Mereka (mahasiswa Papua) bukan secara spontan
melakukan aksi tersebut, tetapi karna mempunyai alasan yang kuat dan mendasar.
Berjalannya
roda pemerintahan yang dipimpin Jokowi-JK tidak dapat menjamin dan melindungi
hak setiap warga negara. Akibatnya adalah pelanggaran hak asasi manusia terus
berlangsung. Mahasiswa adalah bagian dari korban dari tindakan represif aparat
dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Kasus kriminalisasi 26 aktivis yang
berdemonstrasi di Istana Negara yang melonak PP 78 tahun 2015, salah satunya
adalah mahsiswa. Dalam kasus ini telah terjadi penangkapan para buruh,
pengacara dan mahasiwa. Pada saat itu para buruh menolak PP 78 tahun 2015 yang
menyengsarakan nasib kaum buruh. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan muncul
ketika kaum buruh ditindas dengan peraturan itu. Mahasiswa bersolidaritas dan ikut
berjuang bersama kaum buruh justru mendapatkan tindakan penangkapan sebagai
bentuk kriminalisasi.
Dari
setiap periode pemerintahan, peran mahasiswa dalam menentukan arah bangsa tidak
dapat dibantahkan. Mahasiswa bukan hanya sebagai akademisi akan tetapi ikut
berperan dalam menjalankan dan menegakkan HAM. Tetapi, peran mahasiswa dalam
mennjalankan dan menegakan HAM dibalas oleh pemerintah dengan tindakan represif
dengan berbagai cara. Berulang kali terjadinya pelanggaran HAM dan tindakan
represif dari aparat membuktikan pemerintah belum dapat menjamin dan melindungi
hak setiap warga negaranya. Peraturan perundang-undangan tidak berdaya ketika
hak warga negara dirampas tanpa adanya keadilan. Karena mandeknya implementasi
dari peraturan hukum, mengakibatkan aksi-aksi sepihak oleh rakyat. Itu
merupakan salah satu cara pembelaan diri rakyat yang merasa hak-haknya tidak
diberikan dan hak-haknya yang telah dirampas. Pelanggaran HAM yang terjadi
adalah masalah sosial yang dialami dan diderita oleh rakyat. Tidak ada tawar
menawar lagi dalam pelindungan dan jaminan HAM untuk rakyat. Mahasiswa
mempunyai peran dan tugas yaitu melindungi dan memecahkan segala masalah yang
dialami dan diderita oleh rakyat. Oleh sebab itu perlindungan dan jaminan HAM
untuk mahasiswa juga harus dikedepankan dalam mengawal setiap permasalahan yang
dialami dan diderita oleh rakyat.
Sumber referensi:
kompas.com
bbc.com
suarapapua.com
komnasham.go.id
tribunal1965.org
0 Comments