Oleh. Emir purnama

 Foto : Google.com

Marhaenpress-Pasca perang dunia II dan berakhirnya perang dingin membuat siklus baru dalam perkembangan sistem dunia dimana kemanusiaan menjadi salah satu agenda terpenting dalam menata kembali dunia yang telah hancur akibat peninggalan perang dunia II yang sangat kejam, bengis, militeristik dan tidak manusiawi. Negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), membuat terobosan baru dengan Universal Declaration of Human Right (pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia) dideklarasikan pada tanggal 10 desember 1948 oleh PBB. Indonesia sebagai negara yang baru merdeka akibat penjajahan kolonial Belanda segera menyambut baik gagasan tentang perlindungan HAM dengan meratifikasi hasil konvensi Janewa dengan UU No. 59 Tahun 1958 dan banyak konvesi lainnya yang sudah diratifikasi.

Negara Indonesia yang sejak berdirinya mengakui sebagai negara hukum menuangkan gagasan tentang perlindungan HAM dalam setiap peraturannya. Tak dapat dipungkiri perkembangan politik mempengaruhi hasil peraturan yang menyangkut perlindungan HAM. Seiring bergantinya periode kekuasaan di Indonesia, berganti pula hasil undang-undang tentang perlindungan HAM. Perbedaan disetiap periode kekuasaan bukan hanya tentang kuantitas dari undang-undang HAM, akan tetapi perbedaan tentang cara pandang, semangat dan implementasi undang-undang perlindungan HAM tersebut. Dalam perkembangan tentang perlindungan HAM di Indonesia, menghasilkan terbentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM dan Pengadilan HAM.

Gelombang tuntutan penyelesaian tindak pelanggaran HAM di Indonesia membuat reaksi yang keras dari rakyat untuk mendesak pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM pada masa lampau atau pun masa terkini. Walaupun telah terbentuknya Komnas HAM dan Pengadilan HAM di Indonesia, masyarakat kurang puas dari hasil kerja kedua lembaga tersebut. Pada bulan Oktober 2015 di Den Haag Belanda diselenggarakan International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) yaitu Pengadilan Rakyat Internasional yang digagas oleh masyarakat Indonesia yang peduli akan HAM. IPT 1965 bertujuan menguak kebnearan dalam peristiwa 30 September 1965, dan ini adalah bukti bahwa pemerintah Indonesia kurang serius dalam penyelesaian tindak pelanggaran HAM.

“Kalau kita memikirkan kemungkinan peradilan yang sebenarnya saya kira akan sukar sekali. Bagaimana caranya mencari bukti apa yang keluar dari kesaksian-kesaksian kemarin. (www.bbc.com)

“Kalau itu terjadi dalam sidang pengadilan yang benar, saya kira tidak kuat karena sebagian berdasarkan kesaksian apa yang didengar,” jelas Ko Swan Sik mantan profesor di Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda. (www.bbc.com)

Semangat rakyat Indonesia akan perlindungan, penegakan dan penuntasan masalah HAM tidak sebanding lurus dengan implementasi dan dukungan dari pihak pemerintah. Bukan hanya persitiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau bahkan akhir-akhir ini banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi. Sebut saja peristiwa penggusuran rumah penduduk, perampasan lahan pertanian, pembredelan media massa, aksi unjuk rasa adalah aspek yang sering menimbulkan pelanggaran HAM. Rakyat lah yang menjadi korban dalam pelanggaran tersebut dan aparat yang menjadi wakil dari pemerintah yang bertanggung jawab akan tragedi tersebut.

Golongan masyarakat yang paling sering menjadi korban akibat pelanggaran HAM yaitu petani, buruh, aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan kaum miskin kota. Lantas mengapa itu bisa terjadi? Dan mengapa hanya golongan itu saja yang sering menjadi korban pelanggaran HAM?. Bila kita mengkaji lebih jauh kembali, bahwa semua peraturan pemerintah selalu mendapatkan respon baik maupun buruk terhadap suatu golongan. Dari peraturan pemerintah untuk mengatur rakyat itu lah yang selalu mendapatkan tanggapan apakah peraturan itu menguntungkan bagi hak-hak nya atau justru merampas hak-hak nya. Tetapi jika peraturan itu yang menguntungkan hak masyarakat selalu ada respon yang tidak baik karena implementasi yang tidak sejalan dengan bunyi peraturan yang dibuat. Ambil saja contoh kasus yang banyak dialami oleh kaum tani dengan perusahaan ketika kaum tani mempertahankan lahan garapannya, padahal sudah ada peraturan yang mengikat yaitu putusan pengadilan tingkat kasasi (Mahkamah Agung) memenangkan kaum tani, tetapi tetap saja perusahan merampas lahan petani dan bahkan mengusir dari tempat tinggalnya.

Itu merupakan contoh kasus yang terjadi diberbagai daerah dan yang dialam kaum tani. Bahkan akhir-akhir ini juga banyak sekali kejadian pelanggaran HAM yang menimpa mahasiswa. Mahasiwa sebagai penerus bangsa dan sebagai agen perubah tak luput menjadi salah satu korban pelanggaran HAM. 

Kasus pembredelan majalah yang terjadi pada Lembaga Pers Mahasiswa Lentera kampus Universitas Kristen Satya Wancana (UKSW) adalah contoh yang kongkrit bagi penegakan hak berekspresi dan menyampaikan pendapat. Kala itu LPM Lentera yang sebagai organisasi pers mahasiwa memproduksi karyanya dalam sebuah edisi majalah “Salatiga Kota Merah”, langsung menuai protes dan tekanan agar majalah harus ditarik kembali. Ini merupakan pelanggaran hak yang dimiliki masyarakat dalam menuangkan gagasan, pemikiran dan kebenaran. Pemerintah sebagai pelindung hak rakyatnya seolah tidak berdaya ketika hak rakyat dirampas hanya akibat dari tekanan segelintir elemen yang mengatas namakan ormas.

"Mereka dari FUIS (Forum Umat Islam Salatiga) kumpulan dari beberapa ormas, menekan saya untuk bertindak keras. Lho kok saya? Mereka bilang, masak sebagai kepala daerah kok diam saja," kata Yulianto selaku wali kota Salatiga. (kompas.com)

Sangat aneh sekali ketika tekanan itu muncul, aparat Kepolisian, TNI dan Pemerintahan Kota (Pemkot), lansung bertintak cepat memenuhi permintaan elemen ormas tersebut tanpa mengkaji ulang tuntutan ormas itu.

"Yang terjadi waktu itu kami dari Pemkot, Kodim, dan kepolisian menyampaikan ingin bertemu dengan Rektor UKSW membahas majalah Lentera. Kebetulan rektor mengabari waktu itu sedang memanggil redaksi. Kemudian, kita sepakat bertemu di Mapolres. Dalam pertemuan itu, rektor menyampaikan permintaan maaf dan sepakat menarik sendiri," ujar Yulianto. (kompas.com)

Padahal yang dilakukan LPM Lentera adalah produk jurnalistik yang mempunyai dasar Undang-undang Pers dan memenuhi syarat sebagai produk jurnlistik.
"Jadi jika ada yang mengatakan 'Lentera' tidak sesuai dengan undang-undang maka dia tidak membaca Undang-Undang Pers," lanjut Iman selaku Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI). (kompas.com)
"Kalau orang tidak suka dengan sebuah produk pers maka dia bisa datang ke Dewan Pers dan lembaga itu nantu yang akan menyelesaikan masalahnya," ujar Iman. (kompas.com)

Ketika kasus ini terjadi pihak kampus UKWS seolah-olah luput dari tanggung jawab dan mengmbil jalan pintas dengan menekan agar majalah tersebut ditarik. Pihak redaksi LPM Lentera pun akhirnya mengakhir kasus ini dengan tidak menggugat pembredelan majalahnya. 

"Kami tidak akan menggugat. Karena hal ini sudah dibicarakan pimpinan kampus dan Pemkot Salatiga, sehingga teman-teman khawatir kena sanksi akademis," kata Bima, Minggu (25/10/2015). (kompas.com)

Banyak sekali kalangan yang mendukung agar tim redaksi LPM Lenteran mengajukan gugatan atas pembredelan majalahnya.

"Jika ada undang-undang maka seluruh rakyat terikat (undang-undang), termasuk aparat hukum," dia menegaskan. (kompas.com)
"Pelaku pembredelan terancam hukuman penjara dua tahun atau denda Rp 500 juta," kata Iman. (kompas.com)

Akan tetapi komisioner Komnas HAM menilai bahwa pihak kampus lah yang seharusnya membela dan bertanggung jawab atas mahasiwanya. Pihak rektor juga harus melindungi kehidupan akademis.

"Seharusnya memang pihak rektorat UKSW yang mengajukan gugatan," ujar Nur Khoirin selaku komisioner Komnas HAM. (kompas.com)
"Sebaiknya Menristek Dikti juga turun tangan karena universitas sebagai sumber pengetahuan di masa depan sedang terancam," tambah Nur Khoirin. (kompas.com)

Penyempitan ruang demokrasi bukan hanya terjadi kepada mahasiwa Salatiga. Mahasiswa Papua yang sedang menjalankan study di Yogyakarta. Menurut halaman website suarapapua.com

 Pada Jumat, 15 Juli 2016, Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) berencana mengadakan long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I (Jl. Kusumanegara) sampai Titik Nol KM, pk 09.00 – selesai. Long March diadakan dalam rangka menyatakan dukungan pada ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG, dan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis pada Papua Barat. Namun aksi damai ini mendapatkan ancaman dan represi dari aparat kepolisian dan kelompok reaksioner.

Nasib yang dialami oleh mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta, nampaknya tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh mahasiswa Salatiga. Dimana kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat mendapatkan tindakkan yang represif oleh aparat dan kelompok reaksioner. Kelompok reaksioner memainkan peran sebagai provokator dalam upaya pembungkaman dan penyempitan ruang demokrasi. Masih dalam sumber yang sama yaitu suarapapua.com

Kamis, 14 Juli 2016
Pukul 16.53 WIB, narahubung PRPPB mendapat SMS anonim: “KAFIR!!!!! lagi2 Antek-antek Separatis yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua Jogjakarta akan mengadakan gerakan makar dengan aksi turun kejalan yang menyuarakan PAPUA MERDEKA, PAPUA BUKAN INDONESIA yang membawa atribut Bintang Kejora, Pakaian adat serta senjata tradisional mereka pada hari Jumat 15 juli 2016 di Nol KM Yogyakarta.

Terlihat sangat jelas peran dari kelompok reaksioner sangat penting dalam upaya pembungkaman dalam menyampaikan pendapat. Kelompok reaksioner sangat efektif sebagai alat kamuflase agar para mahasiswa ikut dalam konflik mereka dan publik (masyarakat) akan meklaim bahwa perbuatan mahasiwa itu tidak baik. 

Jumat 15 Juli 2016
Pukul 10.40 WIB, sekitar lebih dari 100 orang berseragam Paksi Katon, Laskar Jogja, Pemuda Pancasila, dan FKPPI bergerak ke depan asrama dari sekitar lokasi. Mereka meneriakkan kata-kata yang sangat rasialis. Massa aksi di dalam asrama mampu menahan diri dari provokasi. Tindak rasis ini dibiarkan oleh aparat. Aparat membaur bersama massa ormas yang memprovokasi.

Akibat dari kasus ini beberapa mahasiwa ditangkap dan mendapatkan pemukulan oleh aparat. Pemerintah yang diwakili aparat seolah-olah tidak berdaya ketika kelompok reaksioner menghadang dan mengancam mahasiswa. Tetapi sebaliknya ketika para mahasiswa yang diluar mencoba menyelamatkan kawan-kawannya yang terjebak di asrama, langsung mendapatkan tindakana yang represif dan berdalih sebagai bentuk pengamanan agar menghindari bentrok dengan kelompok reaksioner.

Segala tindakan saparatis tidak dapat diterima dan ditolak. Akan tetapi menyampaikan pendapat dan berserikat harus dibuka seluas-luasnya karena diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Apa yang dilakukan mahasiswa Papua adalah bentuk kekecewaan terhadap pemerintah yang diskriminatif kepada wilayah Papua dengan wilayah yang ada di Indonesia. Mereka (mahasiswa Papua) bukan secara spontan melakukan aksi tersebut, tetapi karna mempunyai alasan yang kuat dan mendasar.

Berjalannya roda pemerintahan yang dipimpin Jokowi-JK tidak dapat menjamin dan melindungi hak setiap warga negara. Akibatnya adalah pelanggaran hak asasi manusia terus berlangsung. Mahasiswa adalah bagian dari korban dari tindakan represif aparat dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Kasus kriminalisasi 26 aktivis yang berdemonstrasi di Istana Negara yang melonak PP 78 tahun 2015, salah satunya adalah mahsiswa. Dalam kasus ini telah terjadi penangkapan para buruh, pengacara dan mahasiwa. Pada saat itu para buruh menolak PP 78 tahun 2015 yang menyengsarakan nasib kaum buruh. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan muncul ketika kaum buruh ditindas dengan peraturan itu. Mahasiswa bersolidaritas dan ikut berjuang bersama kaum buruh justru mendapatkan tindakan penangkapan sebagai bentuk kriminalisasi.

Dari setiap periode pemerintahan, peran mahasiswa dalam menentukan arah bangsa tidak dapat dibantahkan. Mahasiswa bukan hanya sebagai akademisi akan tetapi ikut berperan dalam menjalankan dan menegakkan HAM. Tetapi, peran mahasiswa dalam mennjalankan dan menegakan HAM dibalas oleh pemerintah dengan tindakan represif dengan berbagai cara. Berulang kali terjadinya pelanggaran HAM dan tindakan represif dari aparat membuktikan pemerintah belum dapat menjamin dan melindungi hak setiap warga negaranya. Peraturan perundang-undangan tidak berdaya ketika hak warga negara dirampas tanpa adanya keadilan. Karena mandeknya implementasi dari peraturan hukum, mengakibatkan aksi-aksi sepihak oleh rakyat. Itu merupakan salah satu cara pembelaan diri rakyat yang merasa hak-haknya tidak diberikan dan hak-haknya yang telah dirampas. Pelanggaran HAM yang terjadi adalah masalah sosial yang dialami dan diderita oleh rakyat. Tidak ada tawar menawar lagi dalam pelindungan dan jaminan HAM untuk rakyat. Mahasiswa mempunyai peran dan tugas yaitu melindungi dan memecahkan segala masalah yang dialami dan diderita oleh rakyat. Oleh sebab itu perlindungan dan jaminan HAM untuk mahasiswa juga harus dikedepankan dalam mengawal setiap permasalahan yang dialami dan diderita oleh rakyat.




Sumber referensi:
kompas.com
bbc.com
suarapapua.com
komnasham.go.id
tribunal1965.org
historia.id