Oleh.Dendy Raditya


 Foto : google.com
 
Marhaenpress- Di akhir liburan panjang menjelang tahun akademik yang baru ini saya yang tidak seperti kebanyakan teman saya yang menjadi panitia pekan orientasi untuk mahasiswa baru atau magang di berbagai instansi alias terlalu banyak waktu luang jadi terpikir soal dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis yang seolah-olah tiap tahun selalu ada. Kalau mahasiswa seperti saya yang kerjaannya nonton Naruto dan tidur hampir setengah hari setiap harinya selama liburan ya tidak perlu dibahas, yang seperti itu tanpa jadi mahasiswa pun bisa.

Setidaknya ada dua hal yang mengambarkan dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis, pertama citra sebagai “mahasiswa aktivis” menghalangi seorang mahasiswa untuk berprestasi dan menghasilkan karya akademis seperti artikel jurnal ilmiah. Kedua citra sebagai “mahasiswa akademisi” dalam pergaulan sehari-hari seakan-akan mengisyaratkan bahwa mereka tidak cocok jadi aktivis karena kerjaan mereka hanya membaca, menulis, berdiskusi tanpa aksi serta mengejar IPK tinggi. Sebagai mahasiswa tipe kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) yang cinta damai saya jadi terpikir untuk berusaha menengahi polemik dikotomi dua tipe mahasiswa tersebut.
Jika dilihat dari sejarah aktivisme dan pergerakan mahasiswa di Indonesia, saya rasa dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis ini tidak pas dan cenderung dibuat-buat oleh pihak tertentu. Banyak tokoh pergerakan mahasiswa yang juga seorang akademisi atau intelektual, setidaknya dianggap intelektual oleh masyarakat. 

Mulai dari Nurcholis Madjid satu-satunya orang yang sampai saat ini pernah diberi amanah sebagai Ketua Umum PB HMI selama dua periode yang juga pendiri Universitas Paramadina serta tokoh pendiri ICMI. Kemudian ada duo HI UGM, yang pertama Prof Amien Rais mantan aktivis HMI serta Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan pendiri IMM serta PAN. Yang kedua Prof Yahya Muhaimin mantan Menteri Pendidikan Nasional di era Presiden Abdurrahman Wahid yang juga aktivis HMI dan IMM. Lanjut kemudian Ahmad Wahib, Soe Hok Gie serta kakaknya, Arief Budiman yang bahkan sejak masa mahasiswanya sudah dikenal luas sebagai intelektual oleh masyarakat kala itu. Yang agak “muda” kita bisa sebut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang minggu lalu di-reshuffle oleh Jokowi yang juga mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM era 1990-an, Anies Baswedan. Nama-nama yang telah saya sebutkan tersebut menjadi bukti bahwa sesungguhnya dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia dikotomi “sesat” mahasiswa akademisi dan mahasiswa aktivis itu tidak tepat. Kalau begitu darimana datangnya dikotomi tersebut?
Sejarah Dikotomi Mahasiswa Akademisi vs Mahasiswa Aktivis
Dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis bisa kita telusuri akar sejarahnya dari program Normalisasi Kehidupan Kampus yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan era Orde Baru Daoed Joesoef. Awal tahun 1978 mulai muncul banyak demonstrasi mahasiswa yang dilatarbelakangi ketidakpuasan mahasiswa pada pemerintahan Orde Baru Soeharto. Puncaknya menjelang Sidang Umum MPR 1978, gejolak mahasiswa tak bisa lagi ditahan. Berbagai aksi demonstrasi dilakukan mahasiswa di hampir semua perguruan tinggi dengan substansi yang sama, menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden periode 1978-1983. 

Gerakan mahasiswa tahun 1978 ini sayangnya gagal mengikuti jejak pendahulunya angkatan 1966 yang berhasil menumbangkan rezim Soekarno waktu itu. Walaupun gerakan mahasiswa angkatan 1978 ini berhasil ditumbangkan, rezim Soeharto seakan trauma dengan gerakan mahasiswa. Untuk mencegah timbulnya gerakan mahasiswa lagi, Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Melalui kebijakan tersebut, kampus "steril" dari kegiatan politik. Mahasiswa tidak boleh lagi melakukan kegiatan apa pun yang bernuansa politik. Mahasiswa yang nekat mendapat sanksi keras berupa pemecatan dari birokrasi kampus yang juga sudah ditekan pemerintah. Di dalam kampus, politik hanya boleh sebatas ilmu bahkan mungkin politik sebatas nama fakultas saja.

Kebijakan represif tersebut disertai dengan pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di setiap perguruan tinggi yang menjadi kekuatan mahasiswa saat itu. Surat Keputusan Nomor 037/U/1979 tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) berhasil melumpuhkan mahasiswa saat itu, bahkan tidak sekadar lumpuh, tetapi mati (Kompas, 26 Juni 2015).
Kebijakan NKK dan BKK ini juga diikuti oleh pengkonstruksian citra mahasiswa aktivis sebagai mahasiswa urakan yang nilai akademiknya jelek, sering bolos kuliah (padahal saya yang bukan aktivis juga bolos kuliah), tidak berprestasi, lulusnya lama, dan yang paling parah calon drop out. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented atau lebih tepatnya IPK oriented sehingga selama puluhan tahun hingga sekarang kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya.
Berakhirnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 ternyata tidak mengakhiri dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis. Di era reformasi muncul “NKK/BKK” gaya baru, kali ini inisiatornya bukan lagi pemerintahan yang berkuasa di Indonesia tetapi rezim oligarkis kapitalis neoliberal dunia. 

Para kapitalis dunia jelas butuh banyak fresh graduate untuk menjadi tenaga ahli mereka. Mereka pun mendesain program liberalisasi pendidikan tinggi yang terantum dalam GATS (General Agreement on Trade in Services), dalam GATS ini pendidikan tinggi dianggap sebagai komoditas atau barang dagangan. Karena Indonesia sudah meratifikasi GATS maka kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia kemudian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Singkatnya selama di kampus mahasiswa diarahkan untuk “belajar, belajar, belajar” agar mendapat IPK “cumalude, cumlaude, cumlaude” untuk kemudian seperti semboyan Presiden Jokowi “kerja, kerja, kerja”.
Kondisi yang seperti itu kemudian diperparah dengan sikap para mahasiswa aktivis yang alih-alih mengajak mahasiswa akademisi untuk bekerja sama malah selalu melabeli mereka sebagai mahasiswa yang bisanya mengkritik dan omong doang, banyak teori tapi minim aksi, dan julukan lain yang saya pikir anda pasti paham kalau julukan-julukan tersebut ditunjukan pada mahasiswa akademisi.

Tawaran Solusi: Kolaborasi Aktivis dan Akademisi
Idealnya memang mahasiswa era sekarang bisa meniru apa yang dulu dilakukan oleh Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Arief Budiman, Amien Rais, Yahya Muhaimin, dan Anies Baswedan yang bisa menjadi akademisi sekaligus aktivis. Tetapi kita sama-sama tahu bahwa menjadi thinkers dan doers dalam waktu bersamaan adalah hal yang sulit, oleh karenanya saya menawarkan sebuah solusi yaitu: kolaborasi aktivis dan akademisi, kolaborasi thinkers dan doers. 

Kita harus ingat bahwa untuk setiap Tsubasa Ozora selalu ada Taro Misaki, untuk setiap Aang selalu ada Sokka, untuk setiap Uzumaki Naruto selalu ada Nara Shikamaru, untuk setiap Luke Skywalker selalu ada Master Yoda, untuk setiap Pandawa selalu ada Krishna, untuk setiap Kurawa selalu ada Sangkuni, untuk setiap Steve Jobs selalu ada Steve Wozniak, untuk setiap Tony Blair selalu ada Anthony Giddens, dan untuk setiap Soekarno selalu ada Hatta. 

Taro Misaki, Sokka, Shikamaru, Krishna, Sangkuni, Wozniak, Giddens, dan Hatta adalah para thinkers yang menjaga “kewarasan” doers mereka masing-masing. Misaki hampir selalu memberi umpan pada Tsubasa untuk mencetak gol, Sokka selalu memberi nasihat dan taktik kepada Aang dalam menghadapi Raja Api, Shikamaru selalu mengingatkan dan berdiri di samping Naruto ketika dia menjadi Hokage Ketujuh di Konoha, Master Yoda selalu mengajarkan kebijaksanaan dalam menggunakan The Force pada Luke Skywalker, Krisnha selalu memberi solusi pada setiap permasalahan Pandawa begitu juga yang dilakukan Sangkuni pada Kurawa, setiap produk baru yang hendak diluncurkan Jobs, berasal dari prototype yang telah disiapkan dengan rapi oleh Wozniak, ide-ide kebijakan publik semasa Tony Blair menjabat Perdana Menteri di Inggris terinspirasi gagasan-gagasan Giddens, dan seberapapun tidak cocoknya Soekarno dengan Hatta, Hatta lah yang melakukan administrasi pemerintahan agar Soekarno bisa fokus membangun solidaritas nasional pada negara yang baru merdeka kala itu: Republik Indonesia.
     
Untuk setiap doers selalu ada thinkers di belakangnya begitulah kira-kira. Saya pikir sudah saatnya kita mengakhiri dikotomi mahasiswa akademisi vs mahasiswa aktivis karena dikotomi ini sesat dan tidak relevan. Untuk mahasiwa akademisi, sudah saatnya bagi anda untuk mengabdikan ilmu anda pada kepentingan masyarakat luas bukan hanya berdiri di atas menara gading saja tanpa mau memberi apa-apa, untuk mahasiswa aktivis, sudah saatnya bagi anda untuk berhenti asal turun ke jalan tanpa kajian dengan argumentasi intelektual yang kuat. Dan untuk anda semua, sudah saatnya kita mengakhiri polemik dan dikotomi, mari berkolaborasi.

Dendy Raditya
Mahasiswa FISIPOL UGM
Sumber : TimeLine Bangsa Mahasiswa