Made Bryan Pasek M. Mahasiswa Untag Banyuwangi


Istilah Kedaulatan pangan diperkenalkan oleh anggota dari Via Campesina tahun 1996 mengenai hak manusia dalam mendefinisikan sistem pangan mereka. Terutama persoalan suatu bangsa dalam mencarikan solusi permasalahan-permasalahn produksi, distribusi, konsumsi bahan pangan dan pelaku pasar yang diyakini dapat mendominasi sistem pangan global. Kemudian mulailah bermunculan adanya sebuah gerakan sosial oleh sekelompok petani, pemuda desa, pemuka agama, nelayan tradisional dan organisasi pemerhati lingkungan.
Dengan mengatasnamakan efisiensi dan produktivitas pangan di berbagai negara mulailah terjadi liberalisasi pangan oleh perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi sistem produksi di sektor perdagangan pangan, sementara banyak pula kondisi petani kecil yang semakin terlantarkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selain terjadinya peningkatan jumlah masyarakat misikin dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013), Indonesia telah kehilangan sekitar 5,7 Juta rumah tangga petani. Artinya, di negeri ini telah terjadi proses deagrarianisasi yaitu hilangnya jumlah rumah tangga petani secara masif yang mengakibatkan negara tak mampu lagi mencapai swasembada pangan dan selalu bergantung impor pangan terhadap negara lain.
Sejak Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK dilantik, telah ditetapkan peraturan bersama oleh 4 (empat) Kementerian tentang penyelesaian penguasaan tanah yang berada didalam kawasan hutan pada tanggal 14 Oktober 2014. Kementerian yang dimaksud, antara lain : Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Semangat yang dibangun oleh Kabinet Kerja ternyata masih terkesan berjalan lamban, juga tidak adanya dorongan oleh semua pihak agar tujuan dari penyelesaian konflik agraria yang berada didalam kawasan hutan bisa terselesaikan serta tidak merugikan kaum marhaen.
Sehingga implementasi dalam mengejawantahkan preambule UUD 1945 dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur bukanlah angan-angan pendiri bangsa, begitu juga kandungan makna Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” serta aktualisasi UUPA No. 05 tahun 1960 yang menjadi landasan perjuangan reforma agraria di Indonesia harus dilaksanakan.
Sementara itu, dari tahun ke tahun jumlah konflik agraria di Indonesia terbanyak kedua adalah Provinsi Jawa Timur. Pada umumnya konflik agraria tersebut disebabkan adanya pengusasaan tanah oleh PTPN, Monopoli fungsi hutan oleh Perhutani dan perluasan proyek-proyek pembangunan infrastruktur seperti : pembangunan jalan tol, pembangunan waduk, pemukiman warga, dsb).
Banyuwangi sebagai salah satu Kabupaten paling ujung timur pulau Jawa memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah, bayangkan saja dengan luas wilayah ± 5.782,50 km2 terdapat sekitar 183.396,34 Ha atau 31,72% merupakan kawasan hutan, 66.152 atau sekitar 11,44% Ha berupa lahan pertanian, dan luas perkebunan sebesar 82.143,63 Ha atau sekitar 14,21%. Sementara untuk pemukiman warga sebesar 127.454 Ha atau 22,04% dan sisanya diperuntukkan fasilitas umum.
Namun, sayangnya potensi sedemikian besar tersebut belum juga menjadi fokus perhatian pemerintah daerah untuk membuat sebuah kebijakan kongkrit yang benar-benar mengutamakan kebutuhan kaum marhaen supaya dapat membantu dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kaum tani pedesaan agar mampu mengelola lahan produktif.
Akibat lahan yang demikian luas dan selalu luput dari perhatian pemerintah tersebut, banyak pula terjadi konflik-konflik agraria yang terjadi di Banyuwangi disebabkan oleh karena adanya perebutan penguasaan dan pengelolaan wilayah yang semestinya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Beberapa titik konflik yang teridentifikasi sejauh ini, misalnya : daerah Bongkoran, Pakel, Grajagan, Sumberjambe, Bangorejo, Glenmore, Sumbersari, dan lain-lain masih sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi oleh aparat penegak hukum.
Adapun dalam kajiannya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Banyuwangi berharap adanya perhatian khusus dari pimpinan daerah selaku pemangku dan pembuat kebijakan untuk segera menginventaris konflik tanah yang terjadi di masyarakat serta membentuk panitia batas desa yang didukung penuh oleh Bupati sebagai pelaksanaan PERMENDAGRI No. 27 Tahun 2006 tentang penetapan batas desa agar menghindari terjadinya klaim sepihak maupun kriminalisasi yang berkaitan dengan perjuangan hak atas tanah terhadap masyarakat.
Hal ini memungkinkan dapat mengurangi resiko perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan besar sehingga para kaum tani pedesaan dapat mengelola lahan produktif tersebut dan meningkatkan perekonomian mereka. Lain halnya apabila lahan-lahan produktif tersebut kemudian dikuasai oleh perusahaan besar, maka akibatnya akan banyak kaum tani pedesaan itu yang kehilangan lahan garapan dan beralih menjadi seorang buruh.

Laksanakan Reforma Agraria Sejati !