Apuet Saartje - FISIP UBK
(sumber foto: normatis.com/2015/12/09/dua-versi-sajak-puisi-cinta-sia-sia-chairil-anwar/) |
Pada tanggal 28 April 2017 lalu,
lini masa media sosial ramai oleh perbincangan seputar puisi. Sebuah tagar
bertuliskan “Selamat Hari Puisi Nasional” menjadi trending topik. Banyak
netizen Indonesia yang kemudian menuliskan kalimat-kalimat puitis pada hari itu
dengan membubuhkan tagar seragam.
Beberapa media daring menulis bahwa
28 April, tanggal wafatnya Chairil Anwar, memang diperingati sebagai Hari Puisi
Nasional. Tapi apakah 28 April memang Hari Puisi Nasional? Benar bahwa Chairil
“Si Binatang Jalang” itu meninggal pada 28 April, tepatnya tahun 1949, di
Jakarta. Namun begitu, sesungguhnya tak pernah ada penetapan ataupun deklarasi
yang menjadikan tanggal kematian pelopor puisi modern Indonesia itu sebagai
Hari Puisi Nasional. Sampai saat ini belum diketahui persis siapa yang
mencetuskan tanggal 28 April sebagai Hari Puisi Nasional. Kejadian heboh yang
terjadi di lini masa media sosial pada beberapa bulan lalu, bahkan tahunan lalu
itu, barangkali semacam reaksi latah yang tak diketahui sebabnya, tapi merembet
bagai efek domino. Orang-orang boleh saja mengenang kematian pujangga asal
Minang itu dengan cara menuliskan kutipan-kutipan puisinya.
Masyarakat pun sah-sah saja merayakan haul sastrawan pelopor angkatan 45 itu
dengan membicarakan segala hal yang berkaitan dengan puisi di jagat maya.
Mengenang karya-karya dan kehidupan
lelaki kerempeng yang disebut-sebut sebagai penyair terbaik Tanah Air yang
pernah ada itu bukan hal yang salah.
Namun, menganggap tanggal 28 April
sebagai Hari Puisi Nasional adalah perbuatan yang tak berdasar, kalau bukan
disebut keliru. Sebab, Indonesia sebenarnya telah memiliki Hari Puisi yang
bernama Hari Puisi Indonesia. Tanggal 26
Juli yang ditetapkan sebagai Hari
Puisi Indonesia pun sebenarnya masih tak lepas dari kehidupan “Si Binatang Jalang”. Pada 26 Juli 1922,
Chairil Anwar dilahirkan di Medan.
Pada 22 November 2012, sekitar 40
penyair dari seluruh Indonesia telah mendeklarasikan dan menetapkan tanggal
kelahiran Chairil Anwar sebagai Hari Puisi Indonesia. Deklarasi dan penetapan
itu dilakukan di Anjungan Idrus Tintin, Pekanbaru, Riau. Isbedy Stiawan ZS
sebagai salah satu penyair yang kala itu ikut mendeklarasikan Hari Puisi
Indonesia, Gagasan (pendeklarasian dan penetapan) itu dari Rida K. Liamsi
didukung Agus R Sarjono, Asrizal Nur, Maman S Mahayana, Jamal D. Rahman, dan
lainnya.
Sejumlah penyair yang hadir antara
lain Sutardji Calzoum Bachri (Jakarta) selaku presiden Penyair Indonesia, D.
Kemalawati (Aceh), Hasan Al Banna (Sumatera Utara), Iyut Fitra (Sumatera
Barat), Rida K. Liamsi (Riau), Hasan Aspahani (Kepulauan Riau), Anwar Putra
Bayu (Sumatera Selatan), Dimas Arika Mihardja (Jambi) dan Isbedy Stiawan ZS
(Lampung).
Selain itu, ada nama-nama penyair
lain seperti Gola Gong (Banten), Agus R Sarjono (Jakarta), Sosiawan Leak (Jawa
Tengah), Pranita Dewi (Bali), Micky Hidayat (Kalimantan Selatan), Rahman Arge
(Sulawesi Selatan), dan John Waromi (Papua).
Isbedy menuturkan, selain deklarasi
Hari Puisi Indonesia, pertemuan para penyair di Riau waktu itu juga diisi
dengan pembacaan puisi. Rusli Zainal selaku gubernur Riau saat itu pun turut
membacakan puisi bertajuk Cintaku Jauh di Pulau karya Chairil Anwar.
Isbedy
Stiawan ZS dan Sutardji Calzoum Bachri. (Foto: Anwar Putra Bayu/Facebook)
Setelah dideklarasikan, peringatan
Hari Puisi Indonesia mulai rutin digelar sejak 2013. Yayasan Hari Puisi lantas
didirikan untuk mendukung konsistensi dan kontuinitas perayaan Hari Puisi
Indonesia.
Berikut bunyi lengkap teks deklarasi
Hari Puisi Indonesia pada 2012:
Teks Deklarasi Hari Puisi Indonesia
Indonesia dilahirkan oleh puisi yang
ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air.
Puisi pendek itu adalah Sumpah Pemuda. Ia memberi dampak yang panjang dan luas
bagi imajinasi dan kesadaran rakyat nusantara. Sejak itu pula, sastrawan dari
berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia, mengantarkan bangsa Indonesia
meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.
Bahasa Indonesia adalah pilihan yang
sangat nasionalistis. Dengan semangat itu pula para penyair memilih menulis
dalam bahasa Indonesia, sehingga puisi secara nyata ikut membangun kebudayaan
Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental pada Chairil Anwar,
yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak utama tradisi puisi
Indonesia modern.
Sebagai rasa syukur kepada Tuhan
yang Maha Esa yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan dan
kesusastraan, sekaligus untuk mengabadikan kenangan atas puisi yang telah ikut melahirkan
bangsa ini, kami mendeklarasikan tanggal lahir Chairil Anwar, 26 Juli, sebagai
Hari Puisi Indonesia.
Dengan ditetapkannya Hari Puisi
Indonesia, maka kita memiliki hari puisi nasional sebagai sumber inspirasi
untuk memajukan kebudayaan Indonesia yang modern, literat, dan terbuka.
Pekanbaru, 22 November 2012
Teks deklarasi tersebut dibacakan
oleh Sutardji Calzoum Bachri, pujangga Indonesia terkemuka, pada puncak
Pertemuan Penyair Indonesia di Riau. Pada acara tersebut, sebelum momen
deklarasi dan pembacaan puisi, Musyawarah Penyair Indonesia digelar lebih dulu.
Terkait pengambilan tanggal lahir Chairil
dan bukan tanggal kematiannya yang
menjadi Hari Puisi Indonesia,
Dipilihnya tanggal lahir Chairil
Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia. Selain karena kepoloporannya,
pemilihan Chairil pun karena totalitasnya dalam menggeluti dan menghidupkan
puisi. Dan puisi itu berarti, berharga, Chairil mengorbankan seluruh hidupnya,
totalitasnya pada bahasa pada puisi. Chairil bisa membuat bahasa yang tadinya
lemah, dekoratif, tiba-tiba jadi bertenaga, tiba-tiba menjadi bahasa yang
ekspresif. Itulah yang dilakukan oleh Chairil karena puisi, contoh potongan puisinya yang dihidupkan seperti dalam mural di
daerah Yogyakarta yang bertuliskan “Mampus
kau dikoyak-koyak sepi.” Kita juga pasti tak asing mendengar kalimat “Hidup hanya menunda kekalahan” atau “Sekali berarti sesudah itu mati.” Potongan-potongan
karya Chairil Anwar itu kini bak milik semua orang, kepunyaan sejuta umat, baik
mereka yang benar-benar mengenal karyanya atau tidak.
Namun, Hari Puisi Indonesia bukan
ditujukan untuk sekedar merayakan Chairil. Hari Puisi Indonesia pada akhirnya
adalah milik semua yang merawat puisi dan mengembangkan bahasa. Entah sebagai
pencipta, penyair, maupun pembaca.
“Mungkin juga teman-teman di dunia
musik berdebat soal itu. Tapi ketika ditetapkan intinya sebenarnya bukan untuk
Chairil Anwar, tapi untuk orang-orang yang sekarang sedang merawat puisi,
orang-orang yang sekarang sedang menumbuhkan puisi.
0 Comments