(foto: Pengaduan yang dilakukan oleh Warga Poglar ke Komnas HAM (24/01) terkait Penggusuran oleh Polda Metro Jaya/DI) |
Marhaen, Jakarta - Laporan warga Kapuk Poglar bersama LBH Jakarta, FPR dan APMI tentang pengeksekusian lahan tertanggal 8 Februari 2018 didaerah Kapuk Poglar RT 07/ RW 04, Rabu 24/01/18 telah sampai di Komnas HAM, Jl. Latuharhari No.4-B, Menteng, Jakarta Pusat.
Laporan pengaduan tersebut sebagai langkah untuk menindak lanjuti perlakuan Polda Metro Jaya yang telah melayangkan surat somasi ketiga kepada warga Kapuk Poglar di tanggal 19 Desember 2017 lalu. Sekitar 50 aparat kepolisian Jakarta Barat datang membawa surat disertai pemasangan spanduk yang berisi himbauan kepada warga agar dengan segera mengosongkan area tersebut sebelum dilakukan eksekusi paksa. Sengketa tanah ini terjadi berdasarkan pada Sertifikasi Hak Pakai (SHP) yang menyatakan tanah tersebut merupakan girik dari Ema Sariah yang berada di daerah pemukiman warga. Adapun warga sendiri telah menghuni lahan tersebut sejak 1982 sebelum terbitnya SHP tersebut.
Charli dari LBH Jakarta menjelaskan dilokasi mengenai SHP yang diterbitkan. Ia juga mempertanyakan mengenai Ema Sariah sebagai ahli waris yang pernah mengalihkan haknya kepada Polda karena hal tersebut masih menjadi pertanyaan dan masalah.
"Apa yang mendasari SHP itu terbit? SHP itu bisa terbit, jika memang di atas tanah negara, berarti kantor pertanahan yang menerbitkannya, terbit diatasi tanah milik orang lain. SHP bisa di tanah negara, diterbitkan SHP, tapi harus izin dari yang punya girik. Hak pakai itu seperti hak guna bangunan, hak guna usaha, yang syaratnya harus digunakan untuk tujuan tertentu dan ada jangka waktunya 25 tahun," ujarnya.
Charli juga menambahkan bahwa sebenarnya sertifikat tersebut bisa di batalkan dengan digugat ke PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), bahkan mekanisme di BPN (Badan Pertahanan Nasional) memungkinkan untuk pembatalan sertifikat apabila ada kecurigaan prosedur dalam penerbitannya, misalnya tidak ada peralihan hak jual - beli ataupun apa yang mendasari terbitnya sertifikat tersebut.
Belum pernah ada musyawarah antara Polda dan warga hingga terbit peringatan tersebut. Saat ini, ada pemanggilan 125 warga oleh Polda atas dugaan tindak pidana menduduki lahan tanpa izin yang berhak. Atas hal tersebut kurang lebih 50 warga datang ke Komnas HAM untuk melakukan pengaduan terkait masalah ini dan meminta Komnas HAM memberikan pandangan serta menindak lanjuti.
Sedangkan, hasil dari keputusan Komnas HAM dari audiensi dengan warga Kapuk Poglar terkait pengaduan sengketa lahan ini yaituKmnas HAM akan menindak lanjuti rencana penggusuran untuk membatalkan proses tersebut dan mendorong musyawarah, dengan demikian akan ada penundaan yang belum diketahui sampai berapa lamanya, dikarenakan yang melakukan pemanggilan sejumlah warga kemarin adalah Polda dan Komnas HAM sendiri belum menghubungi Polda tentang masalah ini.
Saat ditemui oleh tim LPM Marhaen, Monik warga Kapuk Poglar berharap masalah terkait sengketa lahan ini bisa cepat terselesaikan dengan kebenaran atas lahan Hak Pakai dari Hj. Ema Sariah selaku pemilik surat tanah di daerah Kapuk Poglar tersebut dan menemukan solusi yang terbaik.
"Agar kami bisa kembali merasakan hidup yang normal lagi kaya orang-orang, yang tidak melulu mendapatkan tekanan atau harus khawatir terus-terusan atas tempat tinggal kita yang akan digusur tanpa ada solusi dan kejelasan. Apalagi tindakan dari aparat itu membuat takut terutama anak-anak kecil," pungkasnya. (DI-MD/DA)
0 Comments