oleh Dr Azmi Syahputra S.H M.H.
(foto oleh google.com)
 Penyadapan secara hukum Internasional sempat geger di tahun 1970, dimana dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat salah seorang calon Presiden yang bernama Richard Milhous Nixon melakukan tindakan penyadapan terhadap lawan politiknya di Hotel Watergate, Washington D.C. Di Indonesia pada beberapa kesempatan lalu, sempat  menjadi kegaduhan pula sampai sampai dua Guru Besar hukum yang sudah mumpuni saling beradu argumen dalam  perdebatan tentang tema penyadapan yang dilakukan lembaga penegak hukum. Tema ini menjadi polemik diantaranya dikarenakan undang-undang yang menjadi payung hukum khusus sampai saat ini belum ada, padahal negara Indonesia yang menganut asas legalitas, yang semestinya mensyaratkan dalam hukum acara pidana harus disebutkan secara khusus tentang kewenangan  penyadapan.
 Ketidak adaan peraturan perundang-undangan dapat saja disalah gunakan (kesewenang-wenangan aparatur) sekaligus dianggap bahwa telah terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan penyadapan. Dan perlu diketahui  sampai saat ini belum ada atau tidak memuat istilah defenisi "penyadapan" dan belum dikenal lembaga penyadapan dalam proses penyelidikan, penuntutan serta pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Inilah yang menjadi keresahan akademik penulis untuk mengurai secara jernih, untuk mencoba ikut memberikan catatan kecil dan membuka ruang diskusi kepada elemen para pembelajar hukum, civil society dengan argumen secara yuridis, filosofis dan sosiologis, pengalaman dan prospeknya dimasa yang akan datang berkait penyadapan ini.
Defenisi Operasional.
 Dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 11 tahun 2008 disebutkan "Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi,".
Hak Privasi Vs Hak Publik
 Hak atas komunikasi adalah hak privasi yang dilindungi UUD 1945 dimana dalam Pasal 28 G ayat 1 dan Pasal 28 F dan Pasal 14 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
 Sehingga sepatutnya hak atas komunikasi ini dilindungi oleh negara dalam hal ini penyelenggara negara, intinya kepentingan hukum seseorang  harus dilindungi karena merupakan  bagian dari hak asasi seseorang yang harus dilindungi, ditegakkan dan dihormati serta dijamin  namun  UUD 1945 memberikan batasan konstitusional dengan adanya pembatasan hak pribadi seseorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai agama keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis " sehingga diketahui bahwa hak privasi bukanlah dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (nonderogable rights) sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan sarana Undang-Undang.
 Adanya hak asasi yang dapat dibatasi melalui Undang-Undang dengan catatan jika sebuah perbuatan atau tindakan tersebut telah merugikan  atau melanggar kepentingan hukum seseorang lainnya atau kepentingan negara dirugikan atau dapat menggangu keselamatan atau keamanan negara (kategori kejahatan serius).
 Maka seseorang tidak dapat mengandalkan dengan atas nama hak privasi lagi karena telah melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan hak orang lain  maupun kepentingan yang lebih besar (dalam hal ini kepentingan keamanan  negara).
Isu Pro-Kontra Penyadapan.
 Masalah pro-kontra penyadapan ini lebih pada belum lengkapnya hukum acara  pidana yang mengatur tentang penyadapan ini. Saat ini pengaturan tentang penyadapan masih tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan khusus setidaknya tersebar dalam 10 regulasi Undang-Undang [1] yang memperbolehkan para penegak hukum dalam melakukan penyadapan (intersepsi) antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU Nomor 31 Tahun 1999 JO, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkoba, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara
 Regulasi mengenai penyadapan dapat menjadi buah simalakama bagi upaya pemberantasan korupsi. Di satu sisi jika diperketat dapat menghambat kinerja KPK, namun di sisi lain jika tidak diperketat wewenang penyadapan dapat disalahgunakan. Seharusnya wewenang penyadapan mesti diatur dalam Undang-Undang khusus.
 Kendala lain dalam persolan penyadapan ini, dianggap melanggar HAM, sehingga agar tidak melanggar HAM perlu adanya izin terlebih dahulu sebelum dilakukan penyadapan sedangkan dari aspek perkembangan tehnologi keberadaan dan teknik penyadapan adalah sangat penting dan diangggap lebih efektif guna memudahkan mengungkapkan kejahatan kejahatan yang serius dan sangat kompleks.
 Telah ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan tentang penyadapan ini, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 006/PUU-I/2003,  Mahkamah Konstitusi memutuskan penyadapan yang dilakukan oleh KPK adalah Konstitusional sebagaimana diatur dalam pasal 12 Ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, selanjutnya Putusan MK Nomor 012 -016/PUU-IV/2006 dan Putusan MK  Nomor 05/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 terhadap permohonan yang diajukan oleh Setya Novanto, keempat  putusan Mahkamah Konstitusi kesemuanya memperdebatkan pengujian tentang penyadapan dan MK mengabulkan dan memperbolehkan penyadapan dalam membantu mengumpulkan bahan bukti untuk mengungkap titik terang dalam sebuah peristiwa pidana.
Sanksi Penyadapan
 Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU ITE:
 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain.(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Ancamannnya terhadap pelaku penyadapan adalah penjara maksimal 10 tahun dan dikenakan denda sebesar Rp. 800 juta.
Akibat hukum
 Mahkamah kontitusi dalam pertimbangan hukumnya di perkara Nomor 20/PUU-XIII/2015 yang diputuskan pada tanggal 07 September 2016 lalu yang menegaskan penyadapan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidence atau physical evidence. Pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana.
 Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana asalkan memenuhi kaidah hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan, sehingga ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
Rekomendasi
 Pengaturan penyadapan harus diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP) kedepannya. Penyadapan [2] hanya boleh  dilakukan dalam rangka penegakan hukum [3] sehingga  harus ada permintaan dari penegak hukum berdasarkan setidaknya bukti minimal yang telah diperoleh penegak hukum dan harus pula ada batas waktu berapa lama penyadapan dapat diberlakukan, serta mekanisme pengajuan keberatan (upaya hukum yang dapat dilakukan ) termasuk ganti rugi  terhadap penyadapan yang keliru.
 Kondisi pemberian izin penyadapan yang terlalu banyak melalui berbagai ketentuan Undang-Undang yang telah ada saat ini menimbulkan kekisruhan atau multitafsir hukum tentang pelaksanaan penyadapan saat ini di Indoesia, sehingga diharapkan kehadiran pengaturan  penyadapan dalam hukum acara pidana menjadi titik poin solusi utama, sekaligus menjadi pedoman bagi semua pihak agar ada kepastian hukum. Karena dari hukum acaralah dapat terlihat perlindungan hak asasi warga negara sekaligus membatsai kesewenangan aparatur negara. Tidak adaa Undang-Undang penyadapan khususnya setidaknya pengaturan payung besar "tentang penyadapan" lebih spesifik tentang mekanisme penyadapan dalam hukum acara pidana akan menyuburkan praktik yang melanggar HAM (hak privasi) warga negara oleh aparatur negara  dalam melakukan penyadapan, bahkan bertambah pelik jika dalam penyadapan yang diduga mutannya persengkomngkolan jahat tapi bercampur dengan urusan privat.
 RUU KUHAP TAHUN 2012 yang telah disusun [4], yang sampai saat ini belum disahkan akibat hal hal tehnis atau perdebatan hal hal yang kurang penting dari para anggota parlemen yang sampai saat ini belum tuntas, masih ada saling rebut dan ribut kewenangan antar penegak hukum, termasuk ego sektoral dan mahalnya koordinasi antar penegak hukum. Inilah yang menjadi kendala sehingga RUU KUHAP maupun RUU KUHP belum terselesaikan sampai saat ini.  KUHAP sebagaimana dimuat dalam  UU Nomor 8 Tahun 1981 telah selayaknya  untuk ditinjau segera  sebab semakin menampakkan keterbatasan, karena  mulai  dan sudah kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat, kemajuan teknologi, perubahan sistem ketatanegaraan serta perkembangan hukum dalam masyarakat.
 Perkembangan masyarakat dan perubahan masyarakat membutuhkan pembaharuan hukum, membutuhkan membangun sistem karena pada dasarnya membangun sistem itu artinya sama dengan membangun masa depan. Ini menyangkut menyusun rancang bangun hukum pidana atau peraturan pidana kedepan  Indonesia yang sesuai dengan keadaan masyarakat dalam kondisi kekinian (Ius Constituendum) artinya pembaharuan hukum pidana yang dicita-citakan  harus membawa dampak pembaharauan yang lebih baik, efektif dalam berbagai aspek dan kebijakan yang melatar belakanginya bukan hanya sekedar jangka pendek dan terkesan asal ada, sehingga harus dimabil langkah langkah cepat dan terarah, luhur membangun negara hukum, menyusun aturan aturan hukum yang jernih dan seimbang  demi keberlangsungan dan terwujudnya  tujuan bangsa.
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bung Karno

Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Peradi.