oleh Rainz
(ilustrasi gambar oleh wikihow) |
Bagian
4
Hari Jumat
ini mungkin akan lebih berat daripada hari biasanya, itulah yang ada dibenakku
saat ini, mengingat bahwa hari ini aku akan berhadapan dengan Prof. Gusti selepas
sholat Isya. Prof. Gusti ialah seorang dosen yang dikenal atas kritik-kritikannya
terhadap sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di Nasional maupun Internasional.
Mantan Rektor yang kini mengajar mata kuliah Psikologi Dasar itu selalu saja
mengkritik mahasiswanya yang jarang membaca karena ia selalu mengatakan hal tersebut akan mempengaruhi kualitas dalam konstruksi berfikir seorang mahasiswa.
Bertemu
dan berdiskusi dengan Prof. Gusti tentu saja tidak akan berat bagiku. Jika saja
aku telah membaca dua buku yang diamanatkannya kepadaku, berupa buku “Etika
Politik” karya Franz Magnis Suseno dan buku “Khilafah dan Kerajaan” karya Abul
A’la Al-Maududi, dan tidak ada satupun buku itu yang habis aku baca. Mungkin nanti
aku jujur saja kepadanya karena menurutku itu lebih baik daripada aku
menghabiskan waktu untuk mencari-cari alasan.
Sore
ini aku masih berada di perpustakaan kampus. Setelah mata kuliah berakhir
beberapa jam yang lalu, aku tak langsung pulang ke kosan, itu karena aku masih
ingin menyelesaikan proposal skripsi yang sudah aku targetkan hari ini akan selesai. Setelah aku rasa cukup dan mengecek beberapa kali, aku segera bersiap-siap
pulang, disaat aku keluar dari pintu perpustakaan ada seorang perempuan yang
menyapaku.
“Hai, kamu
kak Reza kan, kuliah jurusan Ilmu Politik?”
“Iya
benar, maaf kalau boleh tahu kamu siapa?
“Aku Qiandra,
Mahasiswa Ekonomi, aku Juniornya kak Nayla”
“Ohh,
pantas saja, kamu keliatan tidak asing, kamu yang satu organisasi dengan Nayla
kan?”
“Betul
kak, memang semulanya kakak kira siapa?”
“Ah
tidak, aku kira kamu penggemarku yang ingin meminta tanda tangan”
“Ih,
pede banget, aku itu memang lagi cari kak Reza”
“Haha,
memangnya ada apa mencariku?”
“Kak
Nayla tadi menitipkan amplop ini kepadaku, dan dia menyuruhku untuk
memberikannya kepada kakak, tadi dia buru-buru pergi” sambil dia memberikan
amplop kancing bertali kepadaku.
“Isinya
apa yah? Kok besar sekali amplopnya”
“Aku
tidak tahu kak. Tapi, kata kak Nayla kalau kakak sudah menerima amplop ini,
kakak disuruh menghubungi dia ASAP”
“Hah,
apaan tuh?”
“As
Soon As Possible, kak, masa kakak tidak tahu?”
“Hoo,
haha, maaf deh, lagian mana aku tahu kalau ada bahasa begitu”
“Ya
sudah, karena aku sudah menyampaikan titipan kak Nayla, aku balik lagi ke
sekretariat yah kak, dah kak Reza!”
“Sip! Oh iya, titip salam yah dengan teman-teman yang lain, hati-hati Qiandra”
Setelah
itu aku menuju parkiran kampus dan berangkat menuju kosan. Saat sampai dikosan
aku segera membuka amplop tadi. Ternyata isinya adalah majalah “Kemudi Bangsa” dan terselip amplop coklat kecil yang berisi uang. Aku segera menelepon Nayla.
“Assalamualaikum,
Nay”
“Waalaikum
salam, sudah kamu terima titipanku Za?”
“Sudah. Ini kok ada uang dan juga majalah?”
“Kamu
sudah baca rubrik Opini Mahasiswa di majalah itu?”
“Belum,
memangnya kenapa?”
“Tulisanmu
mengenai kritikan terhadap media sosial menjadi alat bagi Politisi untuk ujaran
kebencian yang 2 minggu lalu kamu kirimkan kepadaku, aku kirimkan ke redaksi
majalah itu, sebab temanku yang kerja disana membutuhkan pandangan mahasiswa
terhadap isu-isu semacam itu. Lalu, setelah mereka membaca tulisanmu mereka
sangat tertarik dan akan menaikkan tulisanmu di rubrik Opini Mahasiswa dan
temanku itu juga mengatakan bahwa kamu akan menerima honor dari tulisanmu. Maaf
yah, aku tidak menyampaikan kepadamu sebelumnya”
“Hmm,
begitu, aku sih tidak masalah, tapi apakah mereka tidak mempermasalahkan
mengenai siapa aku dan berasal dari kampus mana?”
“Tidaklah
Za, mana mungkin mereka berfikir subjektif seperti itu. Ketika aku mengirimkan
tulisanmu ke mereka, mereka langsung setuju kok, apalagi saat mereka tahu kamu
adalah mahasiswa jurusan Ilmu Politik dari Universitas Bung Karno dan jika
kamu masih kurang percaya diri begitu, kapan-kapan kita bisa dolan ke
tempat mereka. Lagian mereka juga ingin bertemu denganmu”
“Boleh
juga. Oh iya, sekarang kamu ada dimana?"
“Aku
sedang di Kampung Akuarium, sedang liputan, kenapa? Ingin traktir aku yah?”
“haha,
langsung nih, oke kalau gitu, kalau sudah selesai liputan kabari yah?”
“Oke! By the way, kamu jadi hari ini bertemu dengan Prof. Gusti?"
“Jadi,
kenapa?”
“Nanti
sampaikan salamku. Bilang saja dari mahasiswa yang dulu pernah mengobrol
dengannya di acara International Day of Solidarity with the Palestinian people”
“Oke,
nanti aku sampaikan. Bye Nay! thanks sebelumnya”
“Ya,
sama-sama”
Benar
juga sih apa yang dikatakan oleh Nayla, mungkin akunya saja yang terlalu
berfikiran subjektif. Mungkin ini bisa menjadi motivasi bagi diriku untuk lebih
giat menulis, bukan karena honor yang aku terima, tapi karena apresiasi dari
mereka itulah yang membuat diriku menjadi semangat dan menjadi lebih baik kedepannya.
Selesai sholat Isya di Masjid dekat rumah Prof. Gusti, akupun menuju rumahnya. Tidak jauh memang dari Masjid Agung Sunda
Kelapa, jalan kaki 3 menit sudah sampai. Namun, sekarang ada sesuatu yang
menghentikan gerak langkahku ketika aku sampai didepan halaman rumahnya, yaitu
ketakutan dalam diriku yang semakin makin membesar, dan ada rasa keragu-raguan
diantara rasa itu. Ingin rasanya aku pulang saja dan ketika itulah pundakku
dipegang oleh seseorang.
“Apa
yang kamu takutkan sahabat?” sambil memegang pundakku.
“Zain? Kemana saja kamu 3 hari ini? Dan bagaimana kamu bisa berada disini?”
“Soal
itu nanti aku ceritakan, ku perhatikan dari persimpangan jalan, kamu cukup lama
terpaku dengan gerbang rumah Prof. Gusti, dugaanku sepertinya ada yang
membuatmu takut atau ada yang kamu ragukan sampai kamu terdiam lama seperti ini?”
“Dugaan
kamu tepat Zain! Memang tadi niatnya aku ingin pulang”
“Ayolah,
apa sih kemungkinan buruk yang terjadi yang ada didalam persepsimu yang kecil itu,
mana si Reza sang Belgi (belajar gila) yang biasanya aku kenal”
“Ah,
itu kan cuman dirimu saja yang memang suka memanggilku begitu”
“Hahaha,
aku saja belum mandi kawan, lihat saja aku, ayolah, masuk saja”
Dengan
tanpa ragu, Zain mengetuk pintu pagar dan memanggil si pemilik rumah. Tak lama Prof. Gusti keluar dari pintu rumahnya, saat ia melihat kami, ada senyum kecil
dari wajahnya dan tak lama setelah membuka gerbang rumah, ia pun langsung
menyapa kami.
“Assalamualaikum,
Para Perantau Ilmu”
“Waalaikum
salam, Prof” jawab kami berdua, aku tersenyum karena kalimat sapaan Prof. Gusti.
“Ditunggu-tunggu,
saya kira tak bakal datang” tanya Prof. Gusti kepada kami.
“Kami
datang sesuai janji Prof. tapi, sepertinya Prof. terlihat ingin pergi, dilihat
dari pakaian yang Prof. kenakan?” tanya Zain.
“Jika
kalian tidak datang, keinginan saya tadi begitu” jawab Prof.
“Apakah
Prof. ada keperluan yang lebih mendesak daripada bertemu dengan kami?” tanya
Zain kembali.
“Kamu
ini Zain, pertanyaan kamu kok seperti itu” bisikku di telinga Zain.
“Wah,
wah, sudah keluar saja kritik-kritikan pedas darimu Zain. Tenang saja, malam
ini teman diskusi kita bertambah satu orang lagi yaitu kolegaku, ayo kita
berangkat”
“Kita
mau kemana Prof? tanyaku.
“Kalian
ingin berdiskusi bukan? Mari kita berdiskusi ditempat kolegaku saja. Itu mobil
tumpangan kita sudah datang, ayo kita berangkat!” jawab Prof. Gusti.
Prof.
Gusti duduk dibangku depan bersama dengan supir TO (transportasi online) yang dipesan Prof. Gusti melalui aplikasi ponselnya, katanya biar lebih
efisien waktu. Memang tadi aku tidak membawa kendaraan apapun, aku ke Masjid
Agung Sunda Kelapa dengan Ojek, dan Zain pun tadi tiba di rumah Prof. Gusti juga
tidak memakai motor yang dibawanya pergi tiga hari yang lalu, dan entah kemana dia
meletakkannya.
Di
perjalanan, aku dan Zain tidak berbicara sama sekali, hanya Prof. yang banyak
berbincang dengan supir itu, yang aku dengarkan ialah keluhan sebagian Supir TO
yang kesejahteraannya kini tidak sama dengan beberapa tahun yang lalu, seperti
tarif yang kecil, semakin jarang atau sulit mendapatkan penumpang yang akan
berimbas terhadap bonus yang diterimanya nanti dan juga ketidakjelasan sikap
pemerintah mengenai peraturan-peraturan Transportasi Online ini.
Di
dalam mobil, banyak pertanyaan yang timbul dalam benakku, yaitu kami ini akan
berdiskusi apa, dimana, dan sebenarnya siapa teman diskusi yang dimaksud Prof
Gusti itu? Ketika aku masih memikirkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada pesan
masuk di medsos ku, dan kulihat dari Zain.
“Aku
punya firasat buruk Za”
“Maksudmu?”
“Coba
kamu perhatikan pakaian yang dikenakan oleh Prof. terlihat necis sekali bukan?”
“Iya,
lalu?”
“Tidak
bisakah kamu menarik kesimpulan sederhana? Prof. Gusti mengatakan Kolega
bukan? yang kutahu pemakaian kata seperti itu jarang digunakan dan aku sudah
punya deduksi dengan siapa kita akan bertemu nanti”
Setelah
perjalanan kurang dari sejam, kami telah sampai di depan rumah Kedutaan Besar
Inggris yang terletak di jalan Patra Kuningan Raya. Aku sungguh tak menyangka,
dugaan Zain akan menjadi kenyataan, pantas saja Prof. terlihat necis sekali
dengan pakaiannya malam ini dan aku baru tahu kolega dari Prof. Gusti adalah
Mr. James Hancock yang dulunya mantan Kedubes Inggris untuk Indonesia.
Saat
kami turun dari mobil, kami langsung disambut oleh kemegahan bangunan bergaya arsitektur moderen. Tapi, perhatianku lebih menuju kepada gaya berpakaian Zain,
yang ia hanya memakai kaus, celana Jeans hitam, dan memakai sandal Eagel,
berbanding jauh dengan Prof. Gusti yang amat necis dengan kemeja, dibalut
dengan setelan jas dan sepatu hitam mengkilapnya. Sedangkan aku hanya memakai baju Polo, dibalut sweater tanpa lengan dan memakai celana hitam serta sepatu
Converce. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku hanya menghela nafas dan
menggelengkan kepala dan mencoba pasrah jika nanti ada seseorang yang
mengkritisi gaya berpakaian kami. Saat itu Zain membisikkan sesuatu di telingaku.
“Kamu
belum pernahkan Za, datang ketempat ini tanpa mandi sebelumnya? Hari ini aku
akan mencetak sejarah”
Aku langsung berusaha menahan tawa saat mendengar perkataan Zain.
Bersambung...
0 Comments