oleh Rainz
(foto: wardah.co.id)
Bagian 1

“Hari  ini tidak terlalu gelap, bukan?"
Itu yang dikatakan Zain disaat aku menjemput dia di pintu keluar stasiun kereta. Ketika sahabatku itu berbicara, terkesan ada guratan sedih dalam kalimatnya. Aku bingung untuk menanggapinya, dan tetap saja aku menanggapi pertanyaannya itu dengan mengangguk, lalu kami pun berjalan keluar dari Stasiun Kota yang dipadati oleh aktivitas masyarakat perkotaan.

Tak ada lagi kalimat yang terlontar dari dirinya. Aku hanya berjalan disampingnya sambil menelaah dan berfikir apakah ada yang terjadi pada sahabatku ini sampai dia melontarkan pertanyaan aneh itu. Tapi, kubuang jauh fikiran yang aneh-aneh terhadap sahabatku ini. Sampai di lapangan parkir stasiun aku segera mengeluarkan kunci mobil dan membuka bagasi untuk meletakkan barangnya dibagasi. 

Di perjalanan menuju kosan, aku hanya melihat Zain menutupi wajah dengan topi kupluk hitam kesayangannya, lalu menyandarkan dirinya dibangku mobil. Mungkin dia kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari luar kota. Disaat mobil memasuki jalan tol dalam kota, ponsel ku berdering. 

“hai, sudah dimana?” 
“aku sedang masuk tol, sebentar lagi aku telepon, aku tidak enak karena Zain tidur disampingku, aku tak ingin membangunkannya” 
“hmm, ya sudah nanti kalau sudah sampai Kosan telpon aku yah” 
“sip, Bos”

Ketika sedang melintas beberapa kilo dari pintu tol tadi, Zain terbangun tapi, lagi-lagi dia terdiam, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya tertegun seperti memikirkan sesuatu.

“sepertinya habis kerja berat nih, sampai-sampai kamu tertidur pulas begitu?” 
“haha, kamu bisa saja”.

dan dia terdiam kembali. Aneh, aku kesal, bagiku ini adalah percakapan tersingkat yang pernah aku alami. Ketika aku sedang konsentrasi mengemudi mobil, aku memperhatikan dirinya membuang sesuatu melalui kaca mobil di samping kiri.

“hei, kalau kamu ingin membuang sesuatu, sebaiknya jangan buang dijalan seperti ini, berbahaya kan?"
“maaf, hanya saja aku harus membuangnya disini” 
“sebenarnya benda apa yang tadi kau buang?” 
“nanti saja, aku menceritakannya, bisakah kau berhenti di pom bensin nanti”
“tentu saja, tapi aku ingin kamu menceritakannya sekarang, aku penasaran” 
“tidak ada yang istimewa kok, lebih baik kamu konsentrasi mengemudi saja”. 
“ayolah kawan, kalau memang tidak istimewa, mengapa kau harus membuangnya tadi?" 
“aku masih lelah, kawan”

Aku sudah tidak mungkin memaksanya lagi untuk berbicara karena dia langsung menutupi wajahnya lagi. Aku makin penasaran dengan tindakan aneh Zain, ini tidak seperti dia yang biasanya. 

“Zain, kemarin aku sudah dapat informasi mengenai beasiswa S2 ku!”

Dia diam saja dan tidak menanggapi perkataanku. Apakah dia benar tertidur atau hanya berpura-pura, biasanya mengenai beasiswa dia paling antusias, apalagi waktu saat berdiskusi tempat yang lebih bagus untuk melanjutkan kuliah dan aku ingat kami saling beradu argumen mengenai negara-negara mana saja yang telah mencetak sarjana-sarjana dari Indonesia yang pernah berkuliah di negara tersebut. Karena aku kesal, aku tidak berhenti di pom bensin dan langsung menuju kosan. 

“Reza?” 
“Apa?” 
“bukankah kau tadi melewati pom bensin” 
“iya, lalu?” 
“bukankah tadi aku bilang padamu untuk berhenti, aku kebelet” 
“tahan saja, sampai nanti kita tiba di kosan”

Dan lagi, dia hanya kembali diam dan menutupi wajahnya lagi, aku fikir dia akan marah atau kesal karena aku bercandai seperti tadi. Setelah itu dia tidak berkata apa-apa lagi, aku fikir dia benar-benar telah tertidur.

Akupun meneruskan kembali membelah kota Jakarta meskipun sekali-kali terkena macet dijalan. Mungkin di kota besar seperti ini kemacetan telah menjadi sesuatu yang lumrah bagi mereka yang telah lama tinggal disini. Tapi, tetap saja bagiku ini menjengkelkan. Apalagi saat ini adalah waktu menjelang magrib. Aku tak tahu akan sampai jam berapa di kosan nanti.


Bersambung…