oleh Efriza, Dosen  Ilmu Politik, Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara (STIP-AN), Jakarta
(Foto: Ilustrasi revisi UU MD3 (Andhika Akbaryansyah/news.detik.com)
          Jika kita membedah pasal per pasal dengan cara sekaligus melakukan perbandingannya maka akan terlihat positif dan negatif dari dinamika politik dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Setidaknya dalam mengkaji Lembaga Negara yakni lembaga perwakilan rakyat dalam skup nasional seperti MPR, DPR, dan DPD melalui hasil revisi UU MD3 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2014. Untuk lebih memahaminya, uraiannya sebagai berikut.

MPR
MPR masih menjadi kontroversi sendiri dari kalangan akademisi politik dan hukum tata negara. Mereka masih mempertanyakan kewajiban anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika, yang sekarang telah tercantum secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pertanyaaan, ini tentu saja terkait kontroversi apakah kita menganut sistem unikameral, bikameral, dan trikameral, dan juga kontroversi mengapa tugas mensosialisasikan itu harus dipegang oleh MPR, yang sejatinya merupakan lembaga tinggi negara yang bertugasad hoc, ini seperti menunjukkan MPR bukan lembaga sementara melainkan lembaga negara bersifat tetap.

Pengaturan MPR pun menunjukkan tidak ada lagi pengaturan perimbangan antara kekuatan Anggota DPR dan Anggota DPD dalam proses pemilihan pimpinan DPR dan dalam pengajuan paket calon pimpinan MPR, dalam ketentuan yang baru ini, sebab dalam Pasal 15 ayat (1) hanya dinyatakan bahwa “pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR,” dan ayat (2) berbunyi: “Pimpinan MPR sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.” Sementara itu, di Pasal 14 ayat (1) UU No. 27 tahun 2009 (sebelum direvisi), tergambarkan perimbangan kekuasaan itu seperti dinyatakan bahwa “pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.”

Selain itu, adanya Pasal tentang Penyidikan (terhadap anggota MPR) yakni di Pasal 66 UU MD3 tahun 2009 lalu, terinci,tetapi sekarang dihapuskan, dapat kita menganggap dihilangkan, karena memang dikonstitusi dinyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu, ini menunjukkan sebenarnya konstitusi menyatakan bahwa MPR adalah lembaga bersifat ad hoc.

DPR
          Pasal-pasal tentang MPR, dan DPD memperlihatkan DPR memiliki kepentingan yang sangat besar. Seperti hilangnya pengaturan mengenai perimbangan susunan pengusulan pimpinan MPR. Di samping itu, pengaturan tentang sanksi mengenai anggota DPR yang tidak hadir  dan/atau  rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, dihapuskan, padahal di tahun 2009 lalu, sempat memunculkan kasus ratu absensi (Ratu Munawaroh) dari DPR yang akhirnya dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) oleh partainya (PAN), dan juga hingga sekarang ini kursi-kursi kosong masih dapat ditemui dengan mudah dalam rapat-rapat di DPR (juga rapat paripurna), ini menunjukkan kemunduran semangat DPR untuk bekerja mewakili rakyatnya melalui kehadirannya di lembaga perwakilan rakyat, yang memang sejalan dengan argumen bantahan-bantahan dari DPR sendiri bahwa DPR bukan buruh yang harus selalu datang di Parlemen, yang semestinya lebih banyak di daerah pemilihannya.

          Dalam beberapa pengaturan pasal-pasalnya tampak sekali bahwa hubungan tripartit sudah berjalan dengan mekanisme yang lebih detail di dalam UU MD3 yang sekarang ini antara kerjasama DPR-DPD-Presiden. Di samping itu, tampak bahwa DPR juga ingin berperan tidak hanya untuk urusan domestik semata melainkan turut terlibat dalam urusan politik luar negeri, sebab dalam Pasal 69 ayat (2) dinyatakan, “...dan juga untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal-pasal kontroversi pun muncul seperti: Pasal 73 ayat (3) dan (4) ini ingin menunjukkan bahwa kuasa DPR begitu melampaui batas, bukan saja mengenai pemanggilan paksa, tetapi juga turut menggunakan kepolisian negara republik Indonesia, bahkan penambahan sanksi berupa hukuman yang ditingkatkan menjadi 30 (tiga puluh) hari dari sebelumnya, hanya 15 hari, dan dari yang sebelumnya bukan sesuatu hal yang bersifat wajib akhirnya menjadi wajib. Di samping itu, juga DPR menunjukkan sikap kontroversial melalui Pasal 245 ayat (1) yang memperlihatkan bahwa “pemanggilan dan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).” Padal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul izin MKD, sehingga izin diberikan oleh Presiden. Ini menunjukkan bahwa DPR telah melanggar dan secara tidak langsung mengabaikan lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga pengadilan yang bersifat final dan mengikat untuk menjaga pengaturan perundang-undangan agar tidak bertentangan dengan konstitusi, yang mana konstitusi merupakan kontrak sosial masyarakat atas negaranya.

Di samping itu, DPR juga terlihat menyadari problematika yang mendera lembaga Parlemen itu karena ulah mereka sendiri, maka beberapa pasal yang dapat merugikannya dihilangkan, seperti hilangnya pernyataan “dilarang menerima gratifikasi” hanya dicantumkan bahwa Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme saja, (Lihat, Pasal 236 tentang Larangan). Kedua, DPR juga menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh partainya, sebab, adanya keputusan yang menyatakan bahwa jika... “yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Padahal pengaturan sebelumnya hanya dikatakan, “diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.” Ini menunjukkan ke depan, preseden buruk, seperti Fahri Hamzah tetap berada di DPR tetapi sudah dipecat oleh PKS, jika demikian di DPR bisa saja semakin banyak anggota DPR yang tak jelas mengatasnamakan kepentingan partai mana karena telah dilakukan Pergantian Antar Waktu (PAW)?

Di samping itu pun, tampak pengaturan-pengaturan mekanisme DPR sebenarnya sudah diatur lebih detil, dan juga menjelaskan bahwa dinamika pengelolaan koalisi dan kecenderungan politik tanpa kejelasan dalam pro-kontra dalam kapasitas koalisi akan berperan besar karena pengajuan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, perinciannya lebih detail hingga memuat pengaturan “apabila sampai dua kali masa persidangan jumlah penanda tanganan yang dimaksud tidak terpenuhi, maka usul tersebut menjadi gugur.” Sementara pengaturan lainnya atas keputusan hasil judicial review di Mahkamah konstitusi, usul hak angket diperingan hingga sama jumlahnya dengan persetujuan, yaitu paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, dari sebelumnya 3/4 untuk pengusulan hak angket.

Beberapa pengaturan memang menunjukkan terinci dan kemajuan dari proses revisi UU MD3 kali ini seperti, pengaturan pola kerjasama DPR-DPD-Presiden, dirumuskan lebih detil mengenai pengawasan APBN, DPR juga berperan untuk melakukan sosialisasi undang-undang, mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan dalam menjalankan fungsi representasinya, tugas-tugas legislasi yang dijalankan oleh alat kelengkapan dewan juga lebih terinci, pengaturan mekanisme hak-hak DPR lebih detil mekanismenya (interpelasi, angket, menyatakan pendapat, dan juga tentang mengajukan pertanyaan). Serta juga turut memperkuat imunitas anggota DPR kala menjalankan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR, bahwa tidak dapat dituntut di depan pengadilan, pasal ini seperti merespons atas mencuatnya kasus Victor Laiskodat dari Partai Nasdem yang sempat diproses karena pernyataannya yang kontroversial tetapi lalu dihentikan karena kapasitasnya saat itu sebagai anggota DPR.

Namun, pasal-pasal tentang tugas-wewenang alat kelengkapan Dewan, di satu sisi seperti ingin menunjukkan kinerja DPR itu lebih baik di awasi dari dalam melalui Badan Kehormatan DPR, tetapi di sisi lain ketegasan Mahkamah Kehormatan Dewan masih dipertanyakan oleh publik, misal, tentang tidak memerlukan pengaduan terkait ketidakhadiran dalam rapat DPR yang menjadi kewajibannya, begitu juga peran harus mendapat persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan Dewan terkait pemanggilan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, apalagi celakanya, hilangnya pengaturan kewajiban badan kehormatan untuk membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan, ini kondisi kontradiktif mempercayai MKD sepenuhnya, lalu bagaimana masyarakat mempercayainya tanpa kejelasan laporan kinerja MKD.

Di sisi lain, ada pengaturan-pengaturan yang semakin mengukuhkan kerjasama DPR dengan Mahkamah Konstitusi (MK) karena adanya pengaturan yang tegas mengenai kuasa DPR di persidangan Mahkamah Konstitusi, ini menunjukkan diterapkannya demokrasi konstitusional di Indonesia. Begitu juga kesadaran DPR sendiri yang menghilangkan satu alat kelengkapan Dewan yakni Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) meski baru dibentuk tetapi dirasakan kurang bermanfaat disebabkan oleh kurangnya pemahaman dari legislator mengenai peran dan fungsi BAKN dalam proses pengawasan keuangan negara. Meski begitu, tetap saja, DPR juga tidak sepenuhnya membawa semangat reformasi dan Demokrasi, karena DPR menghilangkan ketentuan “dengan memperhatikan keterwakilan perempuan...” untuk pimpinan komisi, pimpinan baleg, dan pimpinan BKSAP. Padahal, di periode lalu, pimpinan baleg sempat dijabat oleh politisi perempuan dari PKB, untuk mengakomodir keterwakilan perempuan tersebut.

DPD
Dalam rumusan UU MD3 yang sekarang, telah menunjukkan bahwa hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menetapkan secara jelas bahwa DPD adalah lembaga perwakilan yang diakui kerjanya sesuai konstitusi hingga tingkat I, telah memperoleh pengakuan pula dari DPR beberapa pasal pengaturan kerjasama antara tripartit (Presiden-DPR-DPD) dengan sinergi di antara ketiganya sudah terlihat jelas dalam pembagian peran, fungsi, dan tugas masing-masing dan kerjasamanya. Seperti, misalnya, Pasal 71 huruf (c), jelas terlihat bahwa “membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden” Berikutnya, adalah Pasal 249 yang mengikutsertakan DPD dalam menyusun “program legislasi nasional sesuai bidang yang memang telah diberikan oleh konstitusi untuk tugas dan wewenang yang dijalankan oleh DPD,” begitu juga tentang Daftar Inventaris Masalah yang juga menjelaskan peran yang dijalankan oleh DPD, bahkan naskah akademik dari DPD RI juga ditembuskan kepada Presiden tidak hanya ditujukan kepada pimpinan DPR saja (seperti tempo lalu), artinya pengakuan terhadap DPD sudah lebih jelas semenjak diamanatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2015.

Jika dikaji lebih jauh bahwa ketentuan DPD tidak mengalami perubahan signifikan, kecuali terkait pengaturan hubungan kerjasama antara DPR-DPD-Presiden, sisanya masih menggunakan beberapa aturan yang digunakan Undang-Undang MD3 yang lama. Seperti, DPD masih menerapkan pengaturan, jika “tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa keterangan apapun,” dalam Pasal 271 dan 307, sementara pengaturan ini hilang dalam pengaturan tentang DPR RI, padahal di tahun 2009 lalu sempat memunculkan ratu absensi dari DPR, dan juga hingga sekarang ini kursi-kursi kosong masih dapat ditemui, ini menunjukkan kemunduran semangat DPR untuk bekerja mewakili rakyatnya melalui kehadirannya di lembaga perwakilan rakyat yang sejalan dengan argumen bantahan-bantahan bahwa DPR bukan buruh yang harus selalu datang di Parlemen, yang semestinya lebih banyak di daerah pemilihannya.

Jawaban nomor 2
Setelah dipelajari dan dibedah secara perbandingan undang-undang MD3, memperlihatkan bahwa semangat untuk bekerjasama antara lembaga negara DPR-DPD-Presiden-MK semakin lebih terasa. Tetapi memang pengaturan-pengaturan yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR itu yang malah dilonggarkan kalau bisa dipersulit, misal, hilangnya pengaturan tentang absensi enam kali berturut-turut tidak menghadiri rapat, dipersulitnya pemanggilan anggota DPR terkait hukum yang mana harus melalui MKD yang sebenarnya telah dibatalkan pengaturan itu oleh MK, begitu juga ketidakhadiran dalam rapat DPR yang menjadi kewajiban tidak lagi memerlukan pengaduan artinya diharapkan kepada MKD, semangat menegakkan disiplin dengan mempercayai MKD ini yang masih dipertanyakan, begitu juga pengaturan yang memperlihatkan bahwa anggota DPR pun tidak mudah direcall oleh Partainya selama “berlindung” dalam proses hukum yang sedang dijalaninya, begitu juga hilangnya pengaturan yang lebih tegas untuk mengakomodir keterwakilan perempuan dalam kursi pimpinan-pimpinan alat kelengkapan dewan, atau pengaturan yang mempertegas perimbangan kekuasaan dalam pimpinan MPR antara DPR dan DPD yang dihilangkan sehingga dapat menimbulkan ketidakberimbangan kekuasaan DPD dihadapan DPR, terakhir, hilangnya penafsiran gratifikasi. Ini menunjukkan bahwa semangat untuk bekerjasama antarlembaga memang coba ditingkatkan tetapi di sisi lain semangat DPR untuk berbenah diri dari permasalahan melemahnya moral anggota DPR malah disingkirkan, dan juga menonjolnya semangat untuk kompetisi bagi-bagi kursi, dan semakin menegaskan bahwa ke depannya pengelolaan koalisi dan sistem multipartai dibutuhkan kemampuan seorang presiden yang bisa melaksanakan politik akomodatif atau lebih bersifat transaksional. Ini menunjukkan semangat UU MD3 lebih berusaha memperkuat bandul “legislatif heavy,” dan bisa dianggap merosotnya semangat peningkatan moral di DPR untuk lebih baik.

Jawaban nomor 3
Jelas, bahwa Presiden Jokowi memainkan politik dengan pendekatan “win-win” yakni bagaimana memadukan kepentingan partainya, kepentingan koalisinya, kepentingan pemerintah, dan kepentingan masyarakat. Tentu saja, Presiden Jokowi mengetahui bahwa pengaturan-pengaturan kontroversial itu, tetapi keuntungan yang dijanjikan bahwa dapat memperoleh kursi pimpinan DPR (dari PDI Perjuangan) ini juga menguntungkan bukan saja partainya, tetapi dukungan DPR terhadap pemerintahannya. Oleh karenanya,  untuk meredam kemarahan masyarakat, maka salah satunya adalah pernyataan politik (pocket veto) berupa tidak ditandatangani UU MD3 tersebut, meski pada akhirnya UU MD3 itu pun tetap berlaku, pemberlakuan itu juga menunjukkan bahwa kepentingan DPR itu berhasil terakomodasi. Ini menunjukkan betapa sulitnya pengelolaan sistem presidensial dan kedudukan presiden kala berhadapan dengan DPR, kemungkinan besar akan semakin berat jika melihat realitas pengaturan UU MD3 yang baru ditetapkan ini, karena pengaturannya menunjukkan dinamika pengelolaan koalisi, dibutuhkan kemampuan pemimpin yang bisa akomodatif bahkan transaksional dalam mengelola pemerintahan, di samping perpolitikan di Indonesia semakin menunjukkan sikap tidak konsisten partai-partai pendukung pemerintah maupun yang kontra dengan pemerintah.