(Teguh Santosa S.IP.,MA saat memberi sambutan dalam peluncuran buku Di Tepi Amu Darya/Hari)
Marhaen, Jakarta - Wakil Rektor IV Universitas Bung Karno, Teguh Santosa S.IP., MA
meluncurkan buku "Di Tepi Amu Darya" Di Press Room Gedung Nusantara III, Komplek
Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. Kamis (20/12/2018).
Buku "Di Tepi Amu Darya" diterbitkan oleh Booknesia, isinya berupa kumpulan tulisan
penulis selama bertugas meliput perang Afganistan (2001). Kata Amu Darya pada judul,
diambil dari nama sungai penyebrangan yang ada di perbatasan antara Uzbekistan dan
Afganistan.
Teguh Santosa, sudah aktif menulis sejak muda sebagai jurnalis Harian Raykat Merdeka
dan Pimpinan Media Online RMOL.CO. Dalam sambutan pada proses peluncuran buku
tersebut, ia mengatakan bahwa buku "Ditepi Amu Darya" penantiannya selama tujuh belas
tahun (2001) selama menjadi jurnalis.
Teguh santosa memberikan alasan mengapa peluncuran buku "Di Tepi Amu Darya"
diadakan di gedung DPR. Menurutnya, Press Room menyimpan kenangan ketika masih
menjadi reporter di lapangan,
"Ditempat ini lah saya di telphone oleh Bapak Margiono Pimpinan Redaksi Rakyat Merdeka
saat itu, dan mendapat tugas meliput perang Afganistan 2001" ucapnya.
Kegiatan peluncuran buku "Amu Darya", dilanjutkan dengan diskusi bertema "Ketika
Wartawan Membingkai Konflik".
Hadir sebagai pembicara : Efendi Simbolon Anggota DPR RI, Ilham Bintang Dewan
Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia ( DK PWI), Alto Labetubun Pengamat Timur
Tengah, Ahmad Fuadi Novelis, di Moderatori oleh Fredrich Beitari dan hadir juga para
Aktivis Mahasiswa.
Tentang Buku
“Di Tepi Amu Darya” adalah akumulasi dari pengamatan yang dilakukan Teguh Santosa
sejak dirinya ditugaskan meliput perang Afghanistan dari perbatasan Uzbekistan pada 2001.
Di tahun itu pasukan koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat mendukung upaya
Aliansi Utara untuk menggulingkan rezim Taliban. Dalam waktu yang relatif singkat, rezim
Taliban berhasil ditumbangkan, dan musim semi demokrasi pun tiba.
Namun setelah 17 tahun berlalu, radikalisme dan terorisme masih menjadi tema utama di
negeri itu. Proposal damai yang ditawarkan pemerintah Afghanistan kepada Taliban belum
mendapatkan respon yang pantas, bahkan seperti lenyap menguap tanpa bekas.
Dengan caranya, penulis mengajak kita semua menjadikan buku ini – kisah perjuangan
panjang Afghanistan menegakkan benang basah demokrasi – sebagai kaca benggala yang dapat kita gunakan untuk memeriksa kondisi Indonesia sehingga terjauhkan dari hal-hal
buruk yang terjadi di sana. (Hari Hadi/MDP)
0 Comments