(Foto: Njoto dan keluarga/indoprogress.com)
Njoto
“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa”
-Milan Kundera-
by : Irfan Fauzy
Menjelang prahara 1965, ia sedang dalam agenda kunjungan kerja di Sumatera. Dia ikut dalam rombongan Wakil Perdana Menteri I Subandrio dan meninggalkan ibu kota sejak 28 September. Dia tiba kembali di Jakarta pada 2 Oktober setelah G30S benar-benar tumpas. Tiba kembali di Jakarta, dia menyadari bahwa angin politik telah berubah arah.
Lelaki berkacamata tebal dan mempunyai tujuh anak ini, bernama Njoto. Memang namanya tidak sebagus orang jawa biasanya, tapi dibalik nama itu ia disebut-sebut termasuk paling genial dalam sejarah gerakan kiri di Indonesia. Bahkan lawan politiknya seperti Iwan Simatupang, mencemaskan keberadannya di kubu kiri.
Njoto dilahirkan pada 17 Januari 1927 di Jember, kota kala itu masuk dalam administrasi Karesidenan Besuki, suatu wilayah di ujung timur Pulau Jawa. Ia juga adalah anak sulung dari tiga bersaudara dengan dua adik perempuan, Sri Windarti dan Iramani. Di samping itu, ia lahir dalam keluarga yang cukup lekat dengan politik dan berkecukupan secara ekonomi.
Ayahnya, Rustandar Sosrohartono, adalah anggota PKI. Sebelum pindah ke Jember pada 1925, Rustandar sudah aktif di PKI Surakarta sejak awal 1920-an. Sebelum meninggal karena pemenjarannya di Kalisosok, Surabaya, Rustandar menduduki jabatan Sekretaris Agitasi dan Propaganda (Agitprop) di OSC PKI Bondowoso. Di luar kegiatan politiknya, Rustandar adalah saudagar busana dan jamu. Di Bondowoso, masih dalam lingkup Karesidenan Besuki, sang ayah menyewa sebuah toko milik pedagang Tionghoa dan membukanya dengan nama Yosobusono. Usaha Rustandar Sosrohartono juga berkembang di Solo. Di kawasan Kauman, Solo, dia mengembangkan usaha batik tulis. Sementara ibunda Njoto, Masalmah, adalah putri seorang pemborong yang mempunyai rumah bertingkat tiga. Agaknya, bisnis itu juga salah satu upaya Rustandar untuk turut menyokong aktivitas kaum pergerakan, termasuk aktivis yang kemudian dibuang ke Digul.
Njoto mengenyam pendidikan formal pertamanya di Hollandsche-Indlandsche School (HIS, setaraf Sekolah Dasar) di Jember kira-kira pada umur enam tahun. Saat bersekolah Njoto tinggal bersama kakenya, Raden Marjono, dari pihak ibu, di Kampung Tempean. Njoto bersekolah ke HIS di Jember atas inisiatif ayahnya. Rustandar kerap kali menanyakan pelajaran dan soal cita-cita kepada Njoto dan adik perempuanya, Sri Windarti. Njoto dan adiknya diberi kebebasan bermain, tetapi harus tetap mengutamakan sekolah. Rustandar pun secara khusus menanamkan budaya membaca kepada anak-anaknya. Bahkan sejak umur yang masih belia Njoto telah akrab dengan buku-buku karya Karl Marx, Stalin, dan Lenin. Rustandar membebaskan anak-anaknya membaca buku apa saja asalkan urusan sekolah telah diselesaikan.
Selepas menamatkan pendidikan HIS di Jember, Njoto dikirim ayahnya ke Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) sekolah macam menengah pertama, sekolah formal tertinggi yang pernah dikecap Njoto. Awalnya Njoto masuk MULO di Jember, tetapi seiring masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada 1942 sekolah ini ditutup. Rustandar kemudian memindahkan Njoto dan adiknya Sri Windarti bersekolah ke Surakarta. Selama sekolah di sana, Njoto tinggal bersama kakenya dari pihak ayah.
Njoto tumbuh sebagai seorang politikus, dan juga sebagaimana mimpi masa kecilnya—sebagai pewarta. Dia memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra, dan musik. “Dalam hal seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia pasti mencarinya. Dan dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru terbit,” kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang, yang turut membantu Njoto dan D.N. Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang Merah.
Penulis cerita pendek ini sering mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa saja yang dibicarakan. Ia cuma tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang terbentang luas: dari buku karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya bersebrangan. “Dia juga suka karya H.B Jassin. Dia juga tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka,” ujarnya.
Sekurun tahun 1951 Njoto bersama D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Sudisman membangun PKI pasca Madiun. Di Jakarta mereka membentuk Comite Jakarta Raya dan kantor CC PKI baru yang di pimpin D.N. Aidit, Lukman, dan Sudisman di daerah Kemayoran. Murad Aidit, adik kandung D.N. Aidit, mengenang usaha yang digalang oleh kakak dan kawan-kawanya. Dalam ingatan Murad, “trio Aidit-Lukman-Njoto harus bekerja ekstra dan Independen karena tidak ada lagi tempat bertanya, bahkankarena merasa sangat cinta dan terikat secara emosional, papan nama PKI yang di Jalan Kranggan 53 Yogyakarta, mereka boyong ke Jakarta,” ungkap Murad.
Njoto Wakil Ketua II CC PKI, selain Soebandrio dan Ruslan Abdoelgani, ia juga dikenal sebagai penyusun naskah pidato Presiden Sukarno. Dan pada 27 Agustus 1964, dia diangkat sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Dwikora, jauh sebelumnya, Njoto adalah tokoh penting di balik pendirian Lekra pada 17 Agustus 1950. Tujuan Lekra adalah untuk mencipta kebudayaan rakyat yang baru dan berkepribadian, yaitu suatu kebudayaan yang merupakan hasil penyaringan ilmiah dari perpaduan kebudayaan Indonesia dan kebudayaan dari luar.
Njoto dan Pers
Dari Siauw Giok Tjhan, Njoto belajar dan mendalami dunia kewartawanan. Siauw Giok Tjhan adalah seorang Tionghoa yang telah lama berkecimpung di ranah politik dan jurnalistik. Pada masa revolusi, dia adalah salah satu wakil Partai Sosialis dalam KNIP. Pada awal 1950, Siauw Giok Tjhan menerbitkan majalah mingguan ekonomi- politik bernama Sunday Courier, dan di penerbitan inilah Njoto menjadi Wartawan. Njoto yang pada waktu itu masih bujangan juga sempat tinggal di kantor redaksi Sunday Courier di Jalan Pintu Besar Utara.
Bersamaan dengan politiknya, pada awal 1951 Njoto sekali lagi mendapat kepercayaan dari sang mentor untuk turut mengelola media. Siauw Giok Tjhan menerbitkan sebuah majalah yang diproyeksikan menjadi surat kabar harian. Siauw Tiong Djin, putra Siauw Giok Tjhan dan penulis biografi ayahnya menulis:
Pada bulan Januari 1951, Siauw mulai menerbitkan majalah mingguan yang ia namakan ‘Suara Rakyat’. Penerbitan ini ditunjukan untuk massa ‘asli’ Indonesia. Pada bulan Juli tahun itu, setelah dana penerbitanya terkumpul, Siauw mengubah penerbitan ini menjadi harian yang ia namakan Harian Rakyat.
Wartawan yang dipekerjakan dalam penerbitan ini pun berasal dari Sunday Courier. Dalam penerbitan ini, Njoto bekerja bersama-sama dengan mantan tokoh-tokoh Pesindo yang dekat dengan Siauw Giok Tjhan dan menjadi rekanya semasa Perang Kemerdekaan. “Peran Njoto sebagai pembantu Siauw di Harian Rakjat memang penting,” kenang Siauw Tiong Djin.
Kehadiran Njoto yang seorang pemimpin PKI di dapur redaksi membuat Harian Rakjat kebanjiran berita tentang aktivitas partai. Meskipun begitu, Njoto belum bisa berbuat lebih leluasa, daripada itu karena kebijakan redaksi ada ditangan Siauw Giok Tjhan. Tetapi, PKI sebenarnya telah mempertimbangkan Harian Rakjat sebagai media partai untuk meluaskan pengaruhnya kepada massa rakyat. Untuk kebutuhan itu, Harian Rakjat sangat menggiurkan bagi PKI untuk diakuisisi. Kemungkinan untuk akuisisi itu ternyata menemukan momentumnya, manakala Siauw Giok Tjhan merasakan kesulitan pendanaan bagi Harian Rakjat, meskipun cukup luas peredaranya. PKI memanfaatkan kedekatan Njoto dan Siauw Giok Tjhan dalam proses penjajakan akuisisi Koran itu. Proses akuisisi itu berjalan dengan lancar dan pada pengujung Oktober 1953 Harian Rakjat resmi digenggam PKI. Njoto kemudian diplot sebagai pengganti Siauw Giok Tjhan sebagai pemimpin redaksinya.
Sejak diakuisisi oleh PKI, Harian Rakjat dan Njoto selanjutnya menjadi asosiasi yang tidak bisa dipisahkan. Selama kurang lebih masa 12 tahun, selanjutnya Njoto menjadi ketua Dewan Redaksi Harian Rakjat hingga menjelang peristiwa G30S. salah satu pekerjaan rutinya adalah menulis editorial untuk koran resmi PKI itu. Selain sebagai komandan para pewarta, Njoto juga rajin mengisi kolom-kolom Harian Rakjat dengan tulisanya. Untuk publikasi seringkali dia memakai nama Iramani—adik bungsu sebagai nama pena.
Dari segi kuantitas oplah harian, Harian Rakjat juga berkembang pesat. Sejak mula berdiri pada 1951 hingga 1953, oplah harianya telah mencapai 23.000 eksemplar. Menurut catatan Kementrian Penerangan, pada 1958 Harian Rakjat mencatatkan oplah harian sekitar 60.000 eksemplar, jumlah yang besar untuk ukuran waktu itu. Dengan kuantitas oplah sebesar itu, Harian Rakjat memang potensial untuk menggarap massa PKI dan rakyat pada umumnya. Potensi inilah yang digarap oleh Njoto, segera setelah dia menggantikan posisi Siauw Giok Tjhan pada akhir 1953.
Sosok dan pemikiran Njoto sebagaimana dikenal pada kurun 1951-1965 adalah bentukan dari keluarga yang sejak mula cukup dekat dengan politik. Sosok ayah dan pola asuhnya agaknya memberikan warna khas dalam pribadi Njoto. Keterlibatan ayahnya dalam dunia pergerakan politik secara tidak langsung membuatnya akrab dengan politik sejak belia. Tidak berlebihan barangkali jika menyebut sang ayah, Rustandar Sosrohartono, sebagai inspirasinya dalam menempuh jalan politik. Kedekatanya dengan buku menjadikanya seorang otodidak Marxis. Minatnya pada seni dan sastra menjadikanya seorang komunis yang luwes.
Pada 6 Oktober 1965, Njoto dan M.H Lukman hadir dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam sidang itu, kepada Presiden Sukarno dia memberikan pernyataan singkat, “PKI tidak bertanggung jawab atas peristiwa G30S. kejadian itu adalah masalah internal Angkatan Darat.”
Saat kembali ke Jakarta, demi keselamatan keluarganya, Njoto memilih untuk segera mengungsikan mereka. Mulanya keluarga ini mengungsi ke beberapa kerabat dan kenalan. Mereka berpindah-pindah tempat untuk beberapa saat sebelum bersembunyi cukup lama di asrama mahasiswa Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di bilangan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Di situlah Njoto menitipkan istrinya, Sutarni, yang tengah hamil dan keenam anak mereka yang masih kecil. Njoto kemudian bergerak sendirian. Sejak itu bagaimana akhir nasibnya gelap. Ia menghilang tanpa kabar, kemungkinan dihabisi oleh tentara.
--------------------------------
Referensi:
●Fadrik Aziz Firdausi, Njoto: Biografi Pemikiran 1951-1965, (Serpong, Tanggerang
Selatan: Marjin Kiri, 2017).
● Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat, Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2010). ● Fadrik Aziz Firdausi, op.cit.,
● Taufik Rahzen, Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia, (Jl. Veteran I, Jakarta Pusat: I:BOEKOE, 2007).
0 Comments