(Sejumlah elemen yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Senin (16/9/2019). Mereka meminta pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di tunda/Irfan)

Marhaen, Jakarta - Sejumlah elemen yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Senin (16/9/2019). Mereka meminta pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda.

Dalam aksi tersebut, aliansi menilai RKUHP yang akan disahkan oleh parlemen masih mengandung banyak masalah, baik secara substansi maupun proses pembahasan. Selain itu, aliansi menyatakan pembahasan perubahan-perubahan rumusan dalam RKUHP cenderung tertutup, tanpa melibatkan masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya.

"Pemerintah belum pernah memaparkan atau mempublikasikan secara terbuka mengenai substansi apa saja yang diubah dalam draf akhir RKUHP. Pada rapat hari ini (16/9), seharusnya Panitia Kerja (Panja) terlebih dahulu meminta pemerintah untuk mempresentasikan secara komprehensif dan menyeluruh, apa saja yang diubah pada naskah akhir penyusunan RKUHP," kata Rini Surya dari purple code saat orasi.

Di samping itu, aliansi pun meminta pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis data serta pendekatan lintas disiplin ilmu. Kemudian melibatkan seluruh pihak lembaga  terkait, termasuk masyarakat sipil. Aliansi menyatakan DPR harus mengawal setiap proses tersebut, dan setiap rapat di pemerintah juga harus dapat diakses oleh publik.

Sementara itu dalam aksi tersebut, tampak dihadiri oleh Nining Elitos ketua umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), ia menerangkan, menurutnya RKUHP yang berkali-kali dibahas oleh DPR itu tidak melibatkan partisipasi rakyat, juga tidak melibatkan stakeholder, bahkan lebih jauh lagi ia mengatakan legislatif, yudikatif, serta eksekutif tidak lagi memandang penting rakyatnya, justru katanya, mereka lebih mengabdi kepada kepentingan modal.

"RKUHP, undang-undang ketenagakerjaan, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang hari ini dibutuhkan oleh kita untuk melindungi kaum perempuan, anak, justru tidak menjadi bagian penting bagi mereka (DPR)," ujar ketua umum KASBI saat orasi pada aksi tersebut.

"Kita mendesak kepada DPR agar melakukan penundaan pembahasan-pembahasan, karena tidak melibatkan partisipasi stakeholder dan masyarakat sipil," imbuhnya.

Selain itu, Nining juga mengatakan bahwa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berada di tangan  DPR RI itu, tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) namun bisa dibahas oleh DPR, kemudian ia menambahkan bahwa DPR tidak transparansi dan terbuka.

Nining juga menyoroti demokrasi, menurut Nining demokrasi sedang berada diujung tanduk, ia menegaskan kepada anggota DPR bahwa dengan segera untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan Niningpun berharap pada DPR, dapat melindungi serta memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.

"Mereka (wakil rakyat) harus melindungi seluruh rakyat Indonesia, mereka harus memberikan keberpihakannya kepada kita bukan melindungi segelintir orang, bukan melindungi orang yang berkuasa yang akhirnya mengorbankan. Juga, tidak hanya eksploitasi manusianya, tapi mengeksploitasi seluruh sumber daya alam kita kawan-kawan, itu yang kita hendaki. Jadi, bukalah mata, bukalah telinga apa yang diderita rakyat," pungkasnya.

(Tampak massa aksi memadati gerbang DPR RI, Selasa (16/9/19)/Irfan)

Diketahui  pada Senin (16/9) telah diadakan rapat pengambilan keputusan tingkat I Panitia Kerja (Panja) RKUHP, kemudian akan dibahas untuk pengambilan keputusan melalui rapat paripurna DPR yang dijadwalkan pada hari Selasa (24/9) guna mencapai tahap akhir substansi dan siap untuk disahkan.

Pewarta: Irfan Fauzy & Elisabeth Simanjuntak/CA