(Sumber : Liputan6)
Anggota DPR semestinya hindari upaya pemaksaan di masa jabatan yang hitungan hari, dimana terlihat upaya "merongrong" untuk revisi UU KPK padahal sangat diketahui bahwa masyarakat kebanyakan sejak tahun 2017 melakukan penolakan terhadap revisi UU KPK tersebut.
Tindakan ini tidak lebih sebagai salah satu ajang konspirasi mengamankan yang berdalih atas nama menyusun formulasi kebijakan (kebijakan legislatif) padahal ini adalah misi untuk mengamankan jabatan, kewenangan bagi para penguasa dan politisi tertentu yang curang, yang termasuk dalam "penguasa dan pengusaha" yang mau main dalam lingkaran kekuasaan yang ada mata airnya agar dapat aman atau meminimkan diri tidak terciduk oleh KPK.
Cara paling aman ya ubah kebijakan (penal policy) dengan pangkas kewenangan atau hak KPK melalui revisi UU KPK dengan membuat sistem baru.
Jadi kalau begini fenomenanya sampai detik akhir masih ngotot revisi UU KPK dapat diduga ada dorongan pihak-pihak tertentu yang menginginkan dari para anggota DPR saat ini, agar aturan terkait UU KPK lebih fleksibel, agar nantinya kelompok mereka kedepan tersebut bisa leluasa berselancar dalam memainkan anggaran, terhindar dari jerat korupsi dan tidak mendapat penyadapan atau bahkan bisa di SP3-kan kasusnya, maka karenanya dihambat dengan perubahan pada prosedur dan sistem kerja di KPK yang akan dibuat kompromi dan terpantau lembaga lain.
Agar KPK bukan lagi superbody atau trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi.
Lantas jika ditelusur dengan revisi UU KPK versi DPR tersebut sangat tampak hal-hal krusial mengarah polanya ke ruang gerak serta kewenangan dan hak-hak hukum KPK dibatasi, agar tidak bisa eksekusi tindakan penting ditingkat KPK namun, harus ada persetujuan tertulis di pihak lain (pengawas) dimana pihak lain itu adalah orang yang cendrung dikemas dari hasil titipan atau pilihan penguasa atau, pengusaha tertentu karena dipilih melalui jalur politik (organ kekuasaan). Jadi bisa dibayangkan ini adalah jalan kompromi.
Di masyarakat dinyatakan alasan revisi perlu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan perlu sinkronisasi antar lembaga, ini adalah pemanis semata namun nyatanya tujuan dari revisi ini adalah pada kekuatan KPK, kekuatan dan kewenangan yang ada akan dipreteli satu persatu .
Jadi jika melihat motifnya semangat revisi UU KPK maka untuk saat ini belum relevan revisi UU KPK , dengan memperhatikan kendala yang bersifat yuridis maupun non yuridis , namun jika dibandingkan dengan melihat potret perilaku penguasa dan pengusaha pada kebanyakan yang belum siap dengan amanah dan jujur termasuk budaya hukum yang masih lemah, maka untuk revisi UU KPK masih menanti (ditunda) beberapa tahun yang akan datang, jikapun ingin dirubah maka perlu dikaji lebih lanjut dengan prinsip secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik guna rencana revisi UU KPK.
Maka Presiden diminta jalankan langkah konstitusional sebagaimana di atur dalam UUD 1945 jadi harus lebih bijak dan tidak gegabah merespon ini, apalagi terhadap usulan UU dari anggota parlemen yang sebentar lagi masa jabatannya berakhir. KPK belum butuh Undang-Undang revisi jadi Presiden jangan mau dijadikan bumper atau tumbal.
Oleh : Azmi Syahputra
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno
Tindakan ini tidak lebih sebagai salah satu ajang konspirasi mengamankan yang berdalih atas nama menyusun formulasi kebijakan (kebijakan legislatif) padahal ini adalah misi untuk mengamankan jabatan, kewenangan bagi para penguasa dan politisi tertentu yang curang, yang termasuk dalam "penguasa dan pengusaha" yang mau main dalam lingkaran kekuasaan yang ada mata airnya agar dapat aman atau meminimkan diri tidak terciduk oleh KPK.
Cara paling aman ya ubah kebijakan (penal policy) dengan pangkas kewenangan atau hak KPK melalui revisi UU KPK dengan membuat sistem baru.
Jadi kalau begini fenomenanya sampai detik akhir masih ngotot revisi UU KPK dapat diduga ada dorongan pihak-pihak tertentu yang menginginkan dari para anggota DPR saat ini, agar aturan terkait UU KPK lebih fleksibel, agar nantinya kelompok mereka kedepan tersebut bisa leluasa berselancar dalam memainkan anggaran, terhindar dari jerat korupsi dan tidak mendapat penyadapan atau bahkan bisa di SP3-kan kasusnya, maka karenanya dihambat dengan perubahan pada prosedur dan sistem kerja di KPK yang akan dibuat kompromi dan terpantau lembaga lain.
Agar KPK bukan lagi superbody atau trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi.
Lantas jika ditelusur dengan revisi UU KPK versi DPR tersebut sangat tampak hal-hal krusial mengarah polanya ke ruang gerak serta kewenangan dan hak-hak hukum KPK dibatasi, agar tidak bisa eksekusi tindakan penting ditingkat KPK namun, harus ada persetujuan tertulis di pihak lain (pengawas) dimana pihak lain itu adalah orang yang cendrung dikemas dari hasil titipan atau pilihan penguasa atau, pengusaha tertentu karena dipilih melalui jalur politik (organ kekuasaan). Jadi bisa dibayangkan ini adalah jalan kompromi.
Di masyarakat dinyatakan alasan revisi perlu disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan perlu sinkronisasi antar lembaga, ini adalah pemanis semata namun nyatanya tujuan dari revisi ini adalah pada kekuatan KPK, kekuatan dan kewenangan yang ada akan dipreteli satu persatu .
Jadi jika melihat motifnya semangat revisi UU KPK maka untuk saat ini belum relevan revisi UU KPK , dengan memperhatikan kendala yang bersifat yuridis maupun non yuridis , namun jika dibandingkan dengan melihat potret perilaku penguasa dan pengusaha pada kebanyakan yang belum siap dengan amanah dan jujur termasuk budaya hukum yang masih lemah, maka untuk revisi UU KPK masih menanti (ditunda) beberapa tahun yang akan datang, jikapun ingin dirubah maka perlu dikaji lebih lanjut dengan prinsip secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik guna rencana revisi UU KPK.
Maka Presiden diminta jalankan langkah konstitusional sebagaimana di atur dalam UUD 1945 jadi harus lebih bijak dan tidak gegabah merespon ini, apalagi terhadap usulan UU dari anggota parlemen yang sebentar lagi masa jabatannya berakhir. KPK belum butuh Undang-Undang revisi jadi Presiden jangan mau dijadikan bumper atau tumbal.
Oleh : Azmi Syahputra
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno
0 Comments