(Sumber google)
Waktu selalu berjalan seperti kereta yang melewati jalurnya, tak pernah salah, dan tak pernah keluar dari jalurnya. Tak ada manusia yang mampu melawan takdir, apalagi mampu melawan keegoisan hati, hanya air mata yang lagi-lagi menetes, jika hati memang anugrah tuhan yang terindah?, lalu bagaimana tentang kesedihan?.

Diam, benar, hanya diam saja, itulah yang kupikirkan saat ini, aku tak tahu harus berbicara apa, disampingku Nayla masih menyeka kedua pipinya yang basah, baru kali ini aku melihat air matanya terus mengalir, wajahnya yang cantik sudah tak seindah tadi, kini ia hanya menyenderkan kepalanya ke jendala kaca mobil.

Aku melihat dari tengah kaca mobil, Zain pun juga hanya menutupi wajahnya dengan topi kupluk yang selalu ia pakai daritadi, tak peduli topi kupluk itu basah atau tidak. Dan tangannya, ia lipatkan diantara dadanya, seperti ada beban menimpa keras dirinya, aku tahu dia kuat tapi kurasa ia menutupinya dengan cara seperti itu.

Aku menuju daerah Matraman tempat kosannya Nayla. Tak ada lagi percakapan di dalam mobil, hanya suara hujan deras yang terdengar keras. Tak berselang lama, aku sampai di gang menuju kosan Nayla

“ayo Nay, aku antarkan ke kosan mu”

Nayla hanya diam saja, lalu aku segera mengambil payung dibawah jok tempat duduk ku, lalu turun dari mobil, kemudian membuka payung dan menuju pintu mobil tempat dimana Nayla duduk, aku membuka pintu mobil, saat aku mengajak Nayla turun tak ada kata yang terucap darinya, hanya turun dari mobil dan berjalan menuju ke kosannya, aku selalu berusaha mengimbanginya karena hujan turun semakin deras, selama berjalan ia hanya terus menunduk dan tangan kanannya terus memegang dadanya seperti terasa sakit sekali.

Sampai dikosan Nayla, ia hanya mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam kosannya, lalu aku kembali ke mobil dengan setengah berlari. Saat masuk ke dalam mobil.

“Nayla, sudah sampai ke dalam Za?” tanya Zain

“iya, aku tadi mengantarkannya sampai depan kosannya, bisakah kau pindah ke depan Zain?” pinta Reza

“ah, baik” jawab Zain

Lalu Zain pindah ke bangku depan, dan aku segera mengendarai mobil menuju kosan kami, selama perjalanan pulang, Zain hanya terpaku melihat handphone nya,

“kenapa kau terlihat lama sekali melihat layar handphone mu Zain?” tanya Reza penasaran

“tidak, tidak apa-apa, Nayla sudah masuk kedalam kosan?” tanya Zain

“Sudah barusan” kata Reza sambil mengangguk

“bagaimana persiapan Proposal Skipsimu?” tanya Zain

“lancar, kayaknya senin depan aku akan menghadap dosen pembimbingku, ada beberapa yang membuatku bingung, kau sendiri bagaimana Zain?”

“entahlah, aku belum memulai apa-apa, banyak kejadian belakangan ini yang membuatku kehilangan fokus” jawab Zain

“Zain, aku ingin bertanya sesuatu, kau boleh tidak menjawabnya” kata Reza

“apakah mengenai hal yang tadi Za?” Zain seperti tahu arah pertanyaanku

“sampai kapan kau akan bertingkah seperti tidak ada yang terjadi, bukankah aku sahabatmu?, jujur kau membuat ku khawatir Zain” tanya Reza

“maafkan aku Za, aku hanya mencoba untuk mencari tahu jawaban dari apa yang terjadi beberapa hari ini” jawab Zain

“bisakah kau mulai bercerita, aku akan dengan senang hati mendengarnya” tanya Reza

Meskipun Zain menolak tapi aku terus mendesaknya, kemudian Zain mulai bercerita, bahwa perempuan yang berjilbab biru tadi adalah Aiza, sejak kecil kakeknya telah menjodohkannya, Zain mengatakan bahwa di desanya memang ada tradisi adat seperti itu, hal ini bertujuan untuk dapat saling menjaga silaturahmi antara desa si perempuan tersebut dengan desa Zain, namun bila beranjak dewasa maka hal ini dikembalikan lagi kepada Zain dan Aiza, apakah mereka mau meneruskan hubungannya atau tidak. Aku dan Zain berasal dari desa yang sama, tapi akupun juga baru tahu tentang adanya tradisi seperti ini,

“hanya beberapa keluarga yang masih melakukan tradisi ini, tentu kau tak pernah mendengarnya karena kau memang hidup di kota kan” jawab Zain setengah bercanda

Zain lanjut bercerita, hal itu dilakukan kakeknya karena melihat Zain yang Yatim piatu, kakeknya beralasan jika ia telah tiada, setidaknya ada keluarga yang dapat menjadi tempat bernaung bagi Zain.

Saat Zain sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) kelas 7, kakeknya menceritakan mengenai perjodohan tersebut, saat mendengarnya Zain setengah percaya dengan penjelasan kakeknya, karena bagi Zain saat itu yang masih berusia 13 tahun belum mengerti arti dari perjodohan.

lalu saat Zain kelas 9 kakeknya meninggal, saat itu lah ia merasa menjadi sebatang kara, meskipun ada beberapa saudaranya didesa, akan tetapi mereka bukanlah keluarga dekatnya, karena baginya hanya kakeknya saja keluarga ia satu-satunya.

Pada waktu meninggalnya kakeknya Zain keluarga Aiza datang melayat ke rumah Zain, Syafrizal ayahnya Aiza mengenalkan dirinya kepada Zain setelah proses pemakaman kakeknya selesai,

“nak Zain, pernahkah kakekmu menceritakan mengenai perjodohan nak Zain dengan anak ku yaitu Aiza?” tanya ayah Aiza

“sudah pak, tapi?” sebelum Zain selesai menjawab, ayah Aiza memotong bicaranya

“bapak tidak memaksa perjodohan ini, namun yang penting, bapak mulai sekarang sudah menganggap kalau nak Zain merupakan calon menantu bapak, oleh sebab itu jika nak Zain berkenan, nak Zain bisa menghubungi bapak bila nak Zain membutuhkan bantuan” jelas ayah Aiza

Zain lanjut bercerita, dari sejak kakeknya meninggal ia memang jarang pulang ke desa, itu yang membuat aku dari dulu bingung dengan Zain, saat libur sekolah ia selalu berada di pesantren, padahal teman-teman sudah pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. Ia memang selalu tidak pernah menceritakan hal yang tak mengenakkan kepada sahabat-sahabatnya termasuk aku sendiri.

Dan setelah beberapa bulan kakeknya meninggal, keluarga Aiza sering datang ke kota ditempat kami bersekolah, bukan hanya berjumpa dengan Zain, akan tetapi juga Aiza, Aiza juga bersekolah di kota yang sama dengan kami namun beda pesantren. saat itu Zain tidak berusaha mencari tahu dimana sekolah pesantren Aiza, seperti apa rupanya atau apapun tentangnya hanya namanya saja yaitu Aizatul Jannah, karena menurut Zain, ia tak ingin memulai sesuatu yang memang sebenarnya hanyalah bagian dari tradisi adat dan bukan atas keinginan dirinya.

Saat aku bertanya mengenai sejak kapan ia mencintai Aiza?, mulanya Zain tidak pernah sama sekali bertemu dengan Aiza, namun saat Madrasah Aliyah (MA) kelas 10, saat itulah Zain pertama kali bertemu dengan Aiza. Tepatnya saat perlombaan Tahfidz Qur’an yang diadakan di pesantren kami, dan waktu itu Zain menjadi panitia Tahfidz,

“ingatkah kau perlombaan Tahfidz yang waktu itu kau tidak bisa datang, karena kau pulang mendadak sebab saudaramu akan menikah, sehingga aku diminta untuk menggantikan posisimu sebagai penanggung jawab acara” jelas Zain

“iya aku ingat, lalu?” tanya Reza penasaran

Ketika Zain membaca nama-nama peserta, Zain melihat bahwa ada salah satu peserta yang bernama Aizatul Jannah, ia penasaran apakah Aiza ini yang merupakan perempuan yang dijodohkan olehnya.

lalu saat pembawa acara memanggil nama Aizatul Jannah, Zain mengatakan bahwa saat itu ia hanya sibuk dengan pekerjaannya sehingga ia tidak terlalu fokus dengan peserta-peserta yang tampil.

Zain diminta menyediakan air mineral oleh bagian konsumsi untuk disuguhkan kepada para tamu undangan sebab banyak para tamu yang hadir, ketika Zain membagikan air tersebut, ia bertemu dengan orang tua Aiza, waktu itu Zain dan orang tua Aiza pun sama-sama terkejut, saat Zain bertanya apakah mereka kemari untuk melihat Aiza, orang tua Aiza mengiyakan dan mengatakan bahwa sebentar lagi Aiza akan tampil dan Zain diminta untuk duduk disebelah ayah Aiza. Saat Zain ingin menolak dengan halus tangannya keburu ditarik oleh ayah Aiza. Dan duduklah Zain bersama orang tua Aiza.

Lalu tak beberapa lama seorang perempuan yang memakai mukena berwarna putih naik ke atas panggung, mengucapkan salam kepada penonton dan penguji, lalu duduk bersimpuh, dan membuka Al-Quran dan meletakkannya di atas meja.

Saat itulah ia mendengarkan suara yang sangat merdu nan indah sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an melalui pengeras suara, lebih indah daripada peserta yang lainnya, orang tua Aiza mengatakan bahwa saat ini yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an itu adalah Aiza, pada waktu itulah Zain melihat Aiza untuk pertama kalinya, yaitu perempuan cantik dengan mukena putih dengan mata syahdu, pipi kemerahan dan bibir yang terus membaca ayat-ayat. Seperti bibirnya itu tak mau berhenti untuk mengagungkan dan memuji sang maha pencipta.

Zain mengatakan bahwa untuk pertama kalinya ia kagum dengan seorang perempuan yang tak hanya cantik tapi juga mempunyai suara yang sangat indah.

Dari acara Tahfidz Al-Qur’an itu, Zain mulai mencari tahu mengenai Aiza, semakin lama ia mencari tahu, semakin besar pula kekaguman Zain kepada Aiza, dari kelembutan hatinya, tutur bicaranya yang halus, sopan dalam menjaga tingkah lakunya, kemudian entah sejak kapan kekagumannya itu berubah jadi cinta kepada Aiza, tapi tentu saja Aiza tidak tahu mengenai Zain, sebab Zain tak pernah mengenalkan dirinya sama sekali kepada Aiza

“tidak kah kau sama sekali mengucapkan sesuatu kepadanya?” tanya Reza

“dulu aku sering mengirimkannya surat berupa puisi serta sajak-sajak untuknya, tapi ia tak mengetahui bahwa yang menulis itu adalah aku” jawab Zain

“maksudnya?” kata Reza meminta penjelasan lebih

“aku tak pernah menuliskan namaku disetiap surat-surat itu” jawab Zain

“jika kau melakukan seperti itu tentu ada alasannya kan?” tanya Reza

“aku tak tahu Za, entah kenapa aku melakukan hal begitu, yang jelas bagiku saat itu, ia seperti mimpi yang sangat indah, yang hanya memandangnya saja banyak bahasa yang ingin aku jelaskan kepadanya, padahal pada akhirnya tidak ada kata yang lebih tinggi dan besar dari kata cinta itu sendiri” jelas Zain

“lalu kau mengembalikan cincin pertunanganmu begitu saja?” cecar Reza

“bagiku, jika hatinya tak menerimaku, maka janji ikatan pertunangan hanyalah kata-kata yang tak mempunyai arti sama sekali” jawab Zain dengan nada sendu

Dari kata-kata terakhirnya itu membuatku tak ingin bertanya lebih jauh lagi, sebab aku sudah mendapatkan jawaban atas semua rasa penasaranku. Tak terasa akhirnya Mobil kami telah sampai di kosan.

Zain mengatakan ia merasa capek sekali, dan ingin segera istirahat. Ia segera ke kamarnya. Dan tak lama terdengar bunyi pintu dikunci.

Akupun juga menuju kekamarku untuk berganti pakaian, karena pakaianku agak basah. Dikamarku aku banyak merenungi kata-kata sahabatku itu, banyak hal yang telah kami lalui bersama, namun baru kali ini aku seperti tak mengenal siapa sahabatku itu, Ketika aku masih merenung, sayup-sayup aku mendengar gitar yang dipetik dengan alunan nada yang sendu. Lalu terdengar suara Zain melantunkan nyanyian diantara petikan nada yang sendu.

Terasa sekejap mataku melihatmu

Seperti aku menatapmu ratusan waktu lamanya

Masa-masa yang indah itu

Berubah menjadi khayalan pedih

Tahukah dirimu

Hati ini hanya memilu rindu

Duhai hati sungguh berat

Tergores dan tercabik

Duhai hati sungguh pedih

Sungguh pedih cinta sendiri

Hai tuhan pinjamkanlah aku takdir

Biar hati ini dapat merasakan manis

Tetapi ternyata takdir juga sakit

Sakit akan kesetiaanku kepadamu

Bersambung ......
Oleh Rainz