(Foto bersama; Bonnie Triyana, Triana Wulandari, Hasto Kristiyanto, Budiman Sudjatmiko, Herawati Aru Sudoyo, Grace Natalie, dan Hamid Basyaib dalam pembukaan pameran ASOI (Asal Usul Orang Indonesia) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019) pagi / Irfan)

Marhaen, Jakarta – Majalah sejarah daring Historia.id bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menghelat ekshibisi, kali ini bertajuk "ASOI: Asal Usul Orang Indonesia" dengan melalui jalan tes deoxyribonucleic acid (DNA) yang dilakukan dua bulan lalu, guna menelisik siapa yang berhak disebut orang Indonesia asli?

Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana menceritakan awal mula digelarnya kegiatan tersebut. Dirinya melakukan diskusi dengan Kemendikbud karena merasa prihatin mengenai rasial yang diciptakan untuk kepentingan tertentu.

"Dalam 10 tahun belakang kita punya kontestasi politik dan ada identitas yang digunakan, takdir kita ini beragam, argumentasi histori itu jelas bahwa orang Indonesia datang dari Yunan itu jelas, kita punya beragam bahasa dan suku. Namun, argumentasi histori itu tidak cukup, karena sejarah sekarang bisa diplintir-plintir, sehingga kita harus punya cara untuk mempertegas bahwa kita ini beragam," ujar Pemred Historia.id saat memberi sambutan, pada pembukaan kegiatan ASOI di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019) pagi.

Di tempat yang sama, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam sambutannya mengatakan bahwa ketika pertama kali disodori gagasan itu, kata dia, pertanyaan paling mendasar adalah sering muncul yakni asli dan pendatang.

"Siapa sebenarnya orang asli Indonesia? Sampai ada pertanyaan apa memang ada orang asli Indonesia? Akhirnya pagi ini kita akan mendengar uraian itu dari perspektif genetika," kata Dirjen Kebudayaan.

(Foto : Pembukaan pameran ASOI (Asal Usul Orang Indonesia) di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019) pagi. Terlihat, Hilmar Farid tengah melakukan peresmian pembukaan kegiatan tersebut / Irfan)

Penelitian genetik ini memakai DNA mitokondria yang diturunkan melalui jalur maternal atau Ibu, lalu kromosom Y yang hanya diturunkan dari sisi paternal atau Ayah, serta DNA autosom yang diturunkan dari kedua orang tua. Penanda genetik tersebut memperlihatkan bukti adanya pembauran beberapa leluhur genetik yang datang dari periode maupun dari jalur yang beragam.

Adapun hasil tes DNA tersebut melalui tokoh-tokoh sukarelawan seperti Najwa Shihab, Hasto Kristiyanto, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan Ariel Noah, serta hasil tes DNA dari peserta umum terpilih yang mendaftar di microsite Historia.id yaitu Sultan Syahrir, Esthi Swastika, Irfan Nugrah, Farida Yuniar, Aryatama Nurhasyim, Solikhin, dan Zaenin Natib.

Selain itu, ahli genetika dari Lembaga Eijkman Prof Herawati Sudoyo mengungkapkan fakta yang cukup menarik. Menurut dia, genetika orang Indonesia pada umumnya cenderung beragam. Hal itu menunjukkan toleransi sudah menjadi kebiasaan turun-temurun masyarakat penghuni kepulauan Nusantara.

Genetika orang Indonesia, Herawati melanjutkan, tersusun atas berbagai gen dari bangsa-bangsa di dunia.
Ada empat gelombang migrasi spesies manusia modern (homo sapiens) ke Nusantara. Arus migrasi pertama datang dari Benua Afrika. Mereka melewati jalur selatan Asia untuk mencapai Paparan Sunda.

"Gelombang pertama ini mereka jalan saja dari Afrika. Waktu itu, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera masih menjadi satu daratan dan lautnya (kedalam) pendek," ujar Herawati.

Migrasi gelombang pertama dilakukan kelompok besar. Prosesnya berlangsung dalam waktu ratusan ribu tahun. Arus migrasi ini dilakukan orang-orang dengan melewati berbagai medan alam yang berbeda-beda. Alhasil, fisik mereka pun cenderung beradaptasi.

Migrasi gelombang kedua dilakukan para penutur Austroasiatik dari Asia daratan. Mereka melewati kawasan yang kini disebut Malaysia hingga ke Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang pada masa itu masih menjadi satu daratan.

"Apakah manusia gelombang kedua ini berkompetisi atau berperang dengan manusia gelombang pertama untuk berebut lahan? Ternyata tidak. Karena, kalau melihat  dari DNA (deoxyribonucleic acid) itu, ada campurannya. Terjadi kawin-mengawin antara mereka," ujar sosok yang disapa Hera ini.

Selanjutnya, gelombang ketiga migrasi dilakukan para penutur Austronesia dari Formosa. Mereka datang membawa budaya neolitik. Migrasi gelombang keempat terjadi pada zaman sejarah. Bangsa-bangsa Eropa, Arab, dan India datang. Pembauran pun menjadi kian kompleks di Nusantara.

Hera telah melakukan riset pada 110 populasi etnik di 19 pulau dari Sabang hingga Merauke. Makin ke timur, kata dia, makin banyak ditemukan gen dari moyang yang datang dalam migrasi awal.

"Ini menunjukkan bahwa orang Indonesia sebenarnya sangat bertoleransi. Mereka kebanyakan tidak menghabisi atau saling berperang untuk mendapatkan lahan, tetapi yang terjadi adalah pembauran," ujar Hera.
"Dari dulu ternyata masyarakat yang telah menetap menerima masyarakat yang baru. Yang baru beradaptasi dengan masyarakat yang lama," sambungnya.

Dalam rangkaian kegiatan pembukaan ini, juga menampilkan pameran peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia, serta menghadirkan pameran sejarah manusia Indonesia dari sudut arkeologi dan pembabakan masa menurut hasil kebudayaan atau dari sisi antropologi. Selain itu, kegiatan tersebut diramaikan pertunjukan musik oleh Edo Kondologit dan Eva Celia.

Adapun proyek DNA leluhur Historia.id ini didukung penuh oleh Direktorat Sejarah, Direktorat Cagar budaya dan Permuseuman, Ditjen Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Museum Nasional, serta kegiatan tersebut berlangsung dari 15 Oktober hingga 10 November 2019.

Pewarta : Irfan Fauzy/CA