(Foto : Acara Kebudayaan DKJ 2019 dengan tajuk "Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi" di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (10/11/2019)/Irfan)
Marhaen, Jakarta – Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menyelenggarakan program unggulannya selama lebih dari dua dekade, Suara Jernih dari Cikini yang dikemas dalam bentuk pidato kebudayaan.
Tradisi tahunan ini sebagai bagian perayaan ulang tahun Taman Ismail Marzuki (TIM), pada Minggu malam,10 November 2019, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
DKJ kali ini mengundang Seno Gumira Ajidarma sebagai penyaji Pidato Kebudayaan.
(Foto : Bersama Seno Gumira Ajidarma dalam Pidato Kebudayaan DKJ 2019/Irfan)
Penyajian Seno, kali ini adalah sebuah pembacaan kritis dengan fokus pada hubungan makna antara manusia dan benda-benda di sekeliling kita yang selama ini dianggap sepele. Ternyata, benda-benda sepele di tepian mata kita adalah medan pertarungan budaya yang hidup dan penuh warna.
Dalam pidatonya bertajuk “Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi” Seno mengajak kita untuk melihat makna-makna di balik benda yang digunakan masyarakat setiap harinya lewat sudut pandang bahasa dengan caranya yang khas.
Dalam pidato tersebut ia mengatakan bungkus-bungkus tusuk gigi berkonotasi (mempunyai makna tambahan) bila dicermati, segera tampak bahwa rancangan visualnya tidak mengutamakan tusuk gigi yang dibungkusnya, melainkan sesuatu yang lain sama sekali: dapat dikatakan suatu komodifikasi (perubahan).
Lebih lanjut ia mengatakan bungkus-bungkus tusuk gigi yang dimaksud sebagai denotasi yakni yang berarti makna sebenarnya, jelas mementingkan isi yang dibungkusnya, tiada lain tiada bukan adalah produk ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban yang di sebut tusuk gigi.
“Dalam kenyataannya, apabila bungkus-bungkus yang berideologi komodifikasi maupun kebenaran tunggal ini diaduk secara acak, segenap artikulasi (sendi) atas ideologi masing-masing hanyalah menghasilkan pertarungan konotasi (makna tambahan). Apa yang kemudian tersahihkan sebagai denotasi atau makna sebenarnya, tiada lain, tiada bukan, adalah konotasi yang paling dominan, yang paling hegemonik, yang paling berkuasa,” tuturnya.
“Begitu berlaku dalam wacana bungkus tusuk gigi, begitu pula yang berlaku dalam kebudayaan,” sambungnya.
Penulis buku Ketika Jurnalisme dibungkam Sastra Harus Bicara ini juga menyampaikan dalam pidatonya bahwa pejabat maupun ilmuan telah terjangkit kepanikan moral. Menurut Seno, dalam pandangan mereka penganjuran serta kewaspadaan terhadap perubahan zaman, dengan merangkul kebudayaan elektronik secara total, membuat mereka terdapat nada khawatir betapa Indonesia berkemungkinan hanya akan ketinggalan dan gagal.
"Dalam konteks Indonesia, terbukti bahwa bukan hanya 4.0, tetapi mundur kebelakang, gejala 3.0, 2.0, bahkan 1.0 tidak dialami sebagai kontinuitas linear, melainkan saling tumpang tindih, menciptakan suatu organisme kebersamaan antar dimensi, yang meskipun kadang-kadang terasa sebagai kekacauan nan absurd, tetapi dalam kenyataannya sampai hari ini Indonesia itu selamat," katanya.
“Dalam gemabar-gembor kenyinyiran 4.0, terkesan betapa apa yang berlangsung dalam dunia industri telah dengan sendirinya menjadi gejala kebudayaan, yang memang tidaklah keliru, tetapi yang dalam pendapat saya tidak harus selalu secara harfiah bermakna adu kecepatan—dan perihal kecepatan, manusia cukup sering tenggelam dalam mitos bahwa pencapaian terbaik adalah menjadi yang tercepat,” sambungnya.
Program pidato kebudayaan yang kemudian dimaknai sebagai Suara Jernih dari Cikini menawarkan pemikiran-pemikiran kritis terkait persoalan-persoalan kesenian, kebudayaan, dan peradaban. Pemikiran otonom yang terbebas dari model budaya komando yang represip mengecilkan perbedaan.
Suara Jernih dari Cikini dibuka dengan pertunjukan musik “Ngelantur” For Live Eektronic (2019) oleh M. Arham Aryadi serta suguhan pertunjukan tari Impact oleh penari:Try Anggara, Leu Wijaya, Dedi Ronald, Irfan Setiawan, dan didampingi musik: Vima Fernandez.
Pewarta: Irfan Fauzy/FA
0 Comments