(Foto : Ilustrasi/Google.com)
Hak Asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Meskipun pengertian “hak asasi manusia” baru dirumuskan secara eksplisit di abad ke-18, asal muasal dari segi hukum dan prinsip yang menjadi dasar lebih eksis lebih jauh ke belakang dalam sejarah. Penting juga dari segi sejarah ialah pendapat filsafat hukum berdasarkan teologi dari bapak gereja dan, di abad pertengahan dari teolog skolastik (yang bertujuan melukiskan lebih terperinci dan mengajarkan lebih lanjut secara sistematis aturan dalam agama). Pada masa itu, tempat individu dalam pemikiran hukum dan pembuatan undang-undang masih kurang sentral, akan tetapi memang akan tumbuh pengakuan jelas mengenai hak dari tingkat yang lebih tinggi ketimbang hukum yang dikeluarkan oleh penguasa duniawi. Lagi pula, di abad pertengahan diletakan dasar untuk pendapat, bahwa kekuasaan duniawi yang lebih besar tergantung pada persetujuan pelaksanaan pemerintah, yang juga dapat mengadakan perlawanan terhadap kelaliman dan melawan penguasa atas dasar hak dan kebebasan tertentu. Akan tetapi tidak menyangkut individu melainkan menyangkut kolektivitas, sedangkan disamping itu pada permulaan masih menyangkut privilese untuk golongan tertentu yang diberikan hak istimewa misalnya; kepada magna charta = piagam dasar ketatanegaraan Inggris tahun 1215.
Dibawah pengaruh Abad Reformasi dan pencerahan, pribadi insani dalam hubungan dengan penguasa memperoleh tempat yang lebih sentral dalam pemikiran hukum. Filsafat John Locke yang terutama meletakkan dasar untuk pengakuan hak fundamental tertentu dari manusia dan yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain yang harus dijamin oleh penguasa dan diminta bantuan untuk melawan penguasa.
Pemikiran mempunyai pengaruh besar atas kemajuan dibidang kodifikasi hak-hak asasi manusia: English Bill of Right tahun 1689, American Declaration of Indepedence tahun 1776 dan Konstitusi Bill of Right yang ditambahkan dan France Declaration des droits de I’homme et du citoyen tahun 1789, yang pada gilirannya mereka berguna sebagai contoh untuk pemastian hak-hak asasi manusia dalam banyak sekali sistem hukum nasional.
Dalam abad ke-19 dan 20 kritik dari Karl Marx dan pengikutnya terutama menggiatkan konsepsi hak-hak asasi manusia dalam masyarakat kapitalistik untuk menonjolkan sekali hukum dasar ekonomi dan sosial di samping, atau bahkan didahulukan, hak-hak sipil dan politik yang sampai sekarang hampir semata-mata ditegaskan kembali. Sebuah Revolusi Oktober tahun 1917, mengakui kategori hak-hak ekonomi dan sosial dimasukkan ke dalam konstitusi Uni Soviet tahun 1918 seperti dalam konstitusi Weimar tahun 1919, sementara juga konstitusi meksiko tahun 1917 sudah mengakui kategori “baru” hak-hak asasi manusia ini. Akan tetapi jalan menuju pengakuan umum kategori ini sebagai hak-hak manusia adalah panjang, yang sampai saat ini tampaknya belum selesai ditempuh.
Pada tahun 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berisikan suatu daftar hak-hak dasar manusia, “suatu standar prestasi bersama bagi semua orang dan bagi semua bangsa” (mukadimah). Semenjak itu, telah di setujui banyak instrumen tambahan, yang berupa perjanjian-perjanjian internasional yang menurut hukum mengikat, dan bersifat global maupun regional.
Hak Asasi Manusia yang melekat dalam diri seseorang (inherent) sejak lahir dimiliki dalam diri seseorang tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, jenis kelamin (Gender) dan budaya, karna hak tersebut bersifat universal dan mendasar. pada dasarnya Hukum haruslah menjamin pemenuhan akan Hak asasi ini, apalagi aturan tentang persamaan di hadapan hukum (equality before the law) telah dijamin dalam konstitusi UUD 1945
Keadilan erat kaitanya dengan Hak Asasi Manusia, Akses untuk memperoleh keadilan merupakan hak seseorang pencari keadilan (justitiabelen) untuk mendapatkan proses peradilan yang adil dan fair (due process of law). keadilan itu sendiri hanya bisa diperoleh jika ada fair trial yaitu hak untuk diadili oleh pengadilan yang kompeten, jujur dan terbuka.
Prinsip Fair Trial adalah asas praduga tak bersalah, peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak bebas dari penyiksaan, serta jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia lainnya yang harus dipenuhi terhadap tersangka atau terdakwa ditingkat penyelidikan sampai putusan pengadilan (Pasal 14 ayat 2 ICCPR)
Kasus Pemukulan yang dilakukan oknum aparat tersebut juga merupakan pelanggaran Hak atas Fair Trial yang telah di jamin UUD 1945 dan ICCPR, berangkat dari regulasi ini jelas telah terjadi pelanggaran prinsip praduga tak bersalah, hal bebas dari penahanan yang sewenang-wenang dan hak bebas dari penyiksaan
" YLBHI mencatat sebanyak 50 orang lebih tewas terkait unjuk rasa sepanjang tahun 2019 dan menerima 1.496 pengaduan tercatat sebanyak 535 kasus yang diadukan masuk kategori Pelanggaran hak sipil dan politik (Sipol) dan 357 kasus pelanggaran ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) serta kelompok khusus 268 kasus (Kasus Keluarga) "
Setelah 21 tahun Reformasi mengalami banyak kemunduran Demokrasi, Hukum dan HAM yang signifikan. mengingat kembali ke zaman kelam yaitu Orde baru dimana kebebasan berpendapat, bergerak dan berpolitik di renggut/dikebiri oleh negara dengan kekuatan militeristik untuk mengamankan Kekuasaan selama 32 tahun, Orde Baru adalah Sebuah Negara Polisi (police stat) dimana kekuasaan hukum tertinggi secara de facto berada ditangan sebuah institusi polisi rahasia, dari mulai Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) sampai Bakorstanas (Badan koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional). institusi polisi rahasia ini mengoprasikan kamar-kamar penyiksaan, pembunuhan sewenang-wenang, penghilangan paksa serta menjamin kekebalan hukum dari para pelaku.
Benteng hak asasi manusia yang dimandatkan kepada negara, mengalami kontradiksi dalam konteks politik hukum. Di satu sisi, menunjukan kuatnya negara dalam peran, serta upaya perlindungan, dan memastikan tersedianya lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara, yang di perkuat dalam Amandemen kedua UUD 1945 pasal 28H yang memasukan lingkungan yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia. Namun disisi lain, tidak ada perubahan paradigma pembangunan negara dalam melihat lingkungan hidup sebagai komoditi dan objek eksploitasi, manajemen industri dan investasi. Kontradiksi terjadi ketika fungsi dan peran negara justru bertentangan dalam produk kebijakan lain. Misalnya, kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang justru membuka ruang ancaman terbesar akan adanya pelanggaran HAM oleh pelaku bisnis terhadap warga negara. Perampasan dan penghancuran hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupannya justru bersumber dalam kebijakan negara.
Negara dalam politik hukum dan kontradiksinya. Esensi kehidupan manusia turut di tentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang baik sebagaimana termasuk dalam pasal 9 yang mengatur hak untuk hidup dalam ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara tegas juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bahkan, dalam konstitusi pasal 28H menyatakan, hak fundamental tersebut sebagai hak konstitusional rakyat. Dan hak fundamental tersebut dari hari ke hari mengalami degradasi, karena lemahnya negara melakukan kewajiban konstitusinya, dalam tunduk pada kuasa korporasi.
Mengapa negara begitu lemah melindungi rakyatnya dari serangan non state actor, khususnya entinitas korporasi ? politik hukum memang tidak bisa dilepaskan dari kekuatan ekonomi politik, dimana aparat penegak hukum, termasuk lembaga pengadilan tidak bisa lepas dari dominasi kekuatan ekonomi dan politik. Kekuatan korporasi, bahkan telah melampaui kekuasaan negara. Seperti ada negara dalam negara dan bahkan mampu mengatur negara. Agenda demokrasi sepert Pemilihan Umum (Pemilu) pun dibajak. Bahkan kolaborasi kekuatan ekonomi dan politik belakangan, telah melakukan upaya sistematis untuk meluluhlantakkan sistem hukum kita. Percobaan penghancuran sistem hukum dilakukan, khususnya dalam karangka penegakan hukum lingkungan.
Ketika politik hukum berjalan untuk kepentingan korporasi, maka dampak yang dipastikan antara lain tidak terlindunginya keselamatan warga negara. Pencemaran dan bencana ekologis sepanjang tahun, mengorbankan jutaan jiwa sebagai pengungsi ekologis sepanjang tahunnya. Konflik dan sengketa terbuka terkait penguasaan dan pengelolaan lingkungan hidup serta kekayaan alam sebagai aset produksi rakyat. Terancamnya hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat yang minimal sama dengan generasi sebelumnya.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan sepanjang tahun 2018 sedikitnya telah terjadi 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik mencapai 807.177, hektar dengan melibatkan 87.568 KK. Selanjutnya KPA menyebutkan rincian konflik tersebut terdiri dari 144 (35%) di sektor perkebunan, 137 (33%) di sektor properti, 53 (15%) di sektor pertanian, 29 (7%) di sektor kehutanan, 19 (5%) di sektor pertambangan, 16 (4%) di sektor infrastuktur 12 (13%) di sektor pesisir/kelautan. Konflik paling besar di sektor perkebunan yang 83% diantaranya dari komoditi kelapa sawit yang dapat diartikan bahwa kementrian ATR/BPN merupakan kementrian yang paling bermasalah dan tidak mempuyai keseriusan terkait upaya penyelesaian konflik agraria-sumber daya alam. Tak hanya sampai disitu. Masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya justru mengalami kriminalisasi dan kekerasan korporasi dengan menggunakan instrumen hukum dan tangan negara.
Fakta-fakta yang terjadi dilapangan menunjukan bahwa watak dan praktek perkebunan kelapa sawit di Indonesia begitu buruk. Sering kali melahirkan berbagai konflik dengan masyarakat, melanggar HAM melalui perampasan tanah, melanggar hak-hak buruh, termasuk mempekerjakan anak di perkebunan mereka. Sawit Watch mencatat pada tahun 2015 jumlah buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit mencapai 10,4 juta orang dimana 70% dari buruh tersebut berstatus sebagai buruh harian lepas dengan karakteristik yang eksploitatif, karena tidak adanya kepastian kontrak, keamanan kerja yang memadai, menemukan tipologi pelanggran HAM yang melibatkan korporasi diantaranya konflik agraria dan perusakan lingkungan hidup, dengan sub sektor tertinggi korporasi adalah sektor perkebunan.
Indra Pelani, Salim Kancil dan Poro Duka diantaranya yang harus meregang nyawa dari praktik bisnis korporasi. Anak-anak meninggal terpapar asap kebakaran hutan dan lahan, 33 anak-anak yang mati di lubang tambang kalimantan timur, mesin-mesin industri ekstraktif. Korporasi seperti tak tersentuh hukum (un-touchable). Penegakan hukum oleh negara dalam hal pertanggungjawaban korporasi atas praktik buruk bisnisnya tidak pernah tuntas. Bahkan, pengaruh korporasi dalam sistem hukum dan politik ikut berkontribusi terhadap hilangnya tanggung jawab negara dalam melindungi hak asasi manusia.
Penulis : Rivaldi Haryo dan Herdi
Editor : Chaerul Anwar
0 Comments