(Foto : peserta dan narasumber dalam konsolidasi merespon RUU Ketahanan Keluarga/Ayu)
Marhaen, Jakarta - Aliansi Gerak Perempuan melakukan konsolidasi untuk merespon RUU Ketahanan Keluarga, diselenggarakan pada Kamis, (20/02/20) di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan dihadiri oleh dari berbagai organisasi, masyarakat sipil, serta mahasiswa.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga telah masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, kemudian naskah akademiknya pun telah diketahui oleh publik.
Setidaknya ada lima anggota dewan yang menginisiasi RUU ini: Sodik Mudbajid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Presetiyani serta Ledia Hanifa dari Fraksi Partai PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, dan terakhir Ali Taher dari Fraksi Partai PAN.
RUU Ketahanan Keluarga disorot sebagai sebuah draft yang mengatur peran suami-istri di rumah, menyentuh ke ranah privasi, larangan aktivitas seksual Bondage and Discipline, Sadism and Masochism (BDSM), dan kewajiban pelaku homoseksual untuk melaporkan diri dan wajib rehabilitasi. Hal ini menjadi kontroversi di kalangan masyarakat.
Ajeng salah satu pendiri gerakan ini dari Organisasi Perempuan Mahardika mengatakan bahwa RUU Ketahanan Keluarga ini tak ada urgensinya dan meminta untuk mengimplementasikan UU yang sudah ada.
"Bisa dibilang RUU ketahanan keluarga ini tidak perlu ada, karena tidak ada urgensinya. Tapi bisa disosialisasikan serta diimplementasikan undang-undang yang sudah ada cukup baik tapi belum di highlight salah satunya seperti undang-undang kekerasan dalam rumah tangga (UU KDRT) yang sudah ada sejak 15 tahun lalu," ucapnya.
Shella salah satu mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung yang ikut serta dalam konsolidasi tersebut juga tidak setuju adanya RUU Ketahanan Keluarga ini, karena membuat perempuan bergerak semakin sedikit dan hanya mengurus domestik saja.
"Kalo saya sendiri sangat kontra dengan adanya RUU Ketahanan Keluarga ini, soalnya membuat gerak seorang perempuan semakin sedikit hanya mengurus domestik yang kerja hanya laki-laki. Dengan adanya RUU ini makin membuat stigma terhadap perempuan, dan makin melonjak lagi untuk kesetaraan gender itu sendiri," ungkap Shella.
Hasil konsolidasi gerakan ini menyoroti setidaknya terdapat tiga persoalan utama pada RUU Ketahanan Keluarga, antara lain: Over regulated dan Overlapping peraturan perundang-undangan, melanggengkan ketidakadilan gender, dan menyangkal keberagaman identitas gender dan orientasi seksual.
Penulis: Ayu Rizquina Agustin
Editor : Chaerul Anwar
0 Comments