(Foto : Peserta dan narasumber dalam kegiatan Launching Penelitian KDRT Buruh Perempuan/Fifi)
Marhaen, Jakarta - Perempuan Mahardhika adakan Launching Penelitian KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Pada Buruh Perempuan bertajuk "Kekerasan Sistematis yang Melenggangkan Penaklukan Perempuan", di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro No 74 Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 13/02/2020.
Hasil penelitian dipaparkan oleh Karolina L. Dalimunthe (Peneliti) dan Vivi Widyawati (Perempuan Mahardhika) yang juga terlibat dalam penelitian.
Dalam paparannya Vivi mengemukakan bahwa penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai KDRT. Hal ini dilakukan karena refleksi sebuah perjalanan ketika mereka bersentuhan dengan pihak buruh perempuan. Seperti diketahui, ketika membicarakan keselamatan buruh perempuan kebanyakan hanya berfokus pada satu tempat, yaitu tempat kerja (pabrik, kantor atau dimana pun perempuan kerja). Rumah sangat jarang dimasukkan dalam konsep kerja, karena menurut kebanyakan orang rumah dianggap sebagai tempat privat. Tempat yang tidak ada relasinya dengan pekerjaan perempuan. Padahal jika diperhatikan rumah dan tempat kerja merupakan dua lokus kehidupan buruh perempuan, tempat sebagian besar hidup mereka di habiskan.
“Sepanjang kami berhubungan dengan teman – teman buruh, disitu kami mendengarkan banyak sekali cerita terkait pengalaman kekerasan yang mereka alami di rumah dan itu menjadi beban sekaligus menjadi pengaruh di tempat kerja. Ini yang mengispirasi kami untuk mengangkat isu ini,” ucap Vivi.
Penelitian dilakukan dengan sistem wawancara, oleh 26 narasumber dari berbagai latar belakang. Adapun hasil temuannya cukup banyak namun, dalam paparannya mereka hanya menyampaikan garis besarnya saja. Seperti, KDRT terjadi dikarenakan pertama, adanya pengalaman masa kecil yang tidak mudah, misal; sudah bekerja saat usia belia. Kedua, bermigrasi dengan alasan kemiskinan atau perceraian keluarga. Ketiga, kebanyakan dari mereka sejak kecil menjadi korban baik pelecehan seksual ataupun menyaksikan kekerasan, hal ini dalam artian ekstrim. Dengan pengalaman ini membuat mereka ingin mengubah hidup, satu pernyataan dari mereka "Saya ingin mengubah hidup saya".
Dalam penyampaiannya Karolina menjelaskan hasil temuannya, bahwa ketika mereka beranjak dewasa, kebanyakan memiliki pekerjaan sebagai buruh dengan rata – rata usia mulai kerja dari remaja. Hal ini mereka lakukan semata – mata untuk memenuhi keharusan dan pilihan, satu pernyataan dari mereka “saya harus makan saya harus kerja". Namun tidak sampai di situ, ada beberapa dari mereka juga melakukan kerja tambahan selain buruh, karena penghasilan tidak memadai. Selain itu mereka juga terpaksa harus melepaskan status karyawan tetap menjadi kontrak. Kenapa? Karena harus mengutamakan pasangan salah satu faktornya. Kemudian di tempat kerja mereka juga harus menghadapkan situasi yang tidak ramah perempuan. Seperti pelecehan seksual, kemudian cuti hamil dan haid yang mungkin tidak diberikan atau belum ada kebijakan dari perusahaan. Hal ini sangat mempersulit buruh perempuan, di tambah dengan adanya sistem skorsing.
“Saat ini ada trend kebijakan yang semakin memojokkan buruh perempuan. Sistem skorsing jadi ditetapkan target sekian kalau misalkan jam 4 belum mencapai yasudah kamu harus lembur. Ini yang membawa masalah hubungan karena biasanya lembur disodorkan dan tidak bisa dihindari jadi harus diambil padahal suami dirumah pengennya cepat pulang, hal ini yang memicu keributan dan akhirnya di selesaikan dengan kekerasan,” kata Karolina.
Selanjutnya sesudah lama bekerja, akhirnya munculah keinginan untuk berumah tangga. Sebagai perempuan tentu memiliki keinginan menjadi seorang istri dan ibu. Namun, hal itu terjadi jika hubungan relasi dengan laki-laki di ikat dengan pernikahan. Untuk memenuhi itu penelitian ini menemukan bahwa ¾ persen dari narasumber itu berpacaran, hanya sekitar 7% persen dijodohkan. Dijodohkan oleh lingkungan, oleh orang tua dan lainnya.
Kemudian masuk ke fase rumah tangga, Karolina menjelaskan bahwa dari semua narasumber dalam memutuskan tempat tinggalnya, keputusan yang banyak diambil yaitu; pertama ikut keluarga suami, kedua keluarga istri, ketiga punya keluarga sendiri dan ada juga yang berpindah – pindah. Selanjutnya masuk ke pembagian peran hal ini menarik, karena jika kita lihat kegiatan rumah tangga kadang ada yang sangat dominan. Kalau pengasuhan anak biasanya di beratkannya pada istri, ibu dari pihak perempuan. Disini kita bisa lihat bahwa perempuan beratnya berlipat – lipat mengurus suami, anak, keluarga dan lainnya. Dari gambaran ini dapat kita lihat ternyata perempuan bekerja, berpendidikan tidak menjadi jaminan bahwa itu dapat dikatakan setara, perempuan bekerja bukan untuk mengembangkan dirinya tetapi untuk diperas.
Setelah itu, masuk pada fase permasalahan keluarga. Sebenarnya permasalahan hampir di semua keluarga pernah terjadi, namun di penelitian ini menemukan bahwa kasusnya biasanya diselesaikan dengan kekerasan. Jadi penyebabnya pertama ekonomi, mereka bekerja dua sampai tiga pekerjaan kadang-kadang. Kedua mengenai pengasuhan anak, biasanya jadi pertengkaran kecil seperti adu argument dan sebagainya. Ketiga masalah selingkuh dan cemburu, dari data yang di dapat banyak selingkuh lelaki dan cemburu juga lelaki namun tidak menutup kemungkinan perempuan juga ada yang seperti itu. Tetapi ketika perempuan yang melakukan itu kekerasan terhadap perempuan semakin besar terjadi. Keempat ada intervensi keluarga besar, seperti orang tua. Kelima perilaku adiktif (judi atau mabuk), ini dari pihak lelaki. Kemudian yang terakhir aktifitas pilihan perempuan selain bekerja sebagai buruh. Perempuan tidak bisa untuk mengembangkan dirinya dalam melakukan suatu hal mengenai kesenangan mereka sendiri, di luar dari cari uang.
“Hal ini ternyata jadi masalah karena di anggap istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu,” ucap Karolina.
Terakhir dalam penelitian ini disimpulkan, dari pengalaman yang di alami 26 narasumber buruh perempuan memperlihatkan dengan jelas bagaimana KDRT masih menjadi momok dalam kehidupan buruh perempuan serta masih kuatnya budaya patriarki yang terjadi di Indonesia. Hal ini dapat membuat posisi perempuan lemah, tidak berdaya dan hidup terkurung dalam rumah yang sarat dengan kekerasan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi setiap orang justru sebaliknya menjadi tempat yang tidak aman bagi banyak perempuan.
Penulis : Fifiyanti Abdurahman
Editor : Chaerul Anwar
0 Comments