(Foto : Acara diskusi publik dengan tajuk "RUU Cipta Kerja dan Pekerja Pers" di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen, Jalan Sigura-gura no. 6A, Jakarta Selatan, Sabtu siang (7/03/2020)/Irfan)
Marhaen, Jakarta – Federasi Serikat Pekerja Media Independen mengadakan diskusi publik bertajuk “RUU Cipta Kerja dan Pekerja Pers” di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jalan Sigura-gura no.6A Jakarta Selatan. Sabtu, (7/3/2020).
Diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, yaitu Ade Wahyudin dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Agus Sudibyo dari Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, dan Siti Junaedah divisi Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (KEMNAKER RI).
Sementara itu, moderator dalam diskusi ini adalah Sasmito Madrim dari Koordinator Bidang Advokasi AJI. Acara ini dibuka dengan pemaparan oleh moderator bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omnibus Law perlu ditinjau kembali secara ilmiah dan kritis mengenai dampaknya terhadap pekerja media dalam perubahan dua pasal UU Pers yakni Pasal 11 dan 18.
Ade Wahyudin menjelaskan, menurutnya kalau ditanya dampaknya, sebenarnya sama saja dengan pekerja pada umumnya, karena Undang-Undangnya sama, misal di pasal 59 UU 13 tahun 2003, yakni mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Di dalam RUU Cipta Kerja disebutkan ketentuan hubungan kerja di pasal 59 dihapuskan, “di sini ada sebenarnya yang menjadi pengaman untuk pekerja kontrak ini menjadi pengamannya. Dia (pekerja) tidak boleh bekerja lebih dari tiga tahun. Nah, dipasal ini akan dihapuskan, padahal ini menjadi pengaman, agar para pekerja tidak dipekerjakan sewenang-wenang,” jelas Ade.
Ade juga menerangkan, bahwa ia sering mendapati jurnalis di cut dengan status hubungan kontrak padahal katanya, dalam ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerjaan yang bisa dikontrak itu pekerjaan yang memang seharusnya bukan murni (bukan jurnalis) karena ia inti dari perusahaan itu, “ kalau misalkan ia dipekerjakaan sebagai kontrak mungkin siapa yang menjadi pekerja tetap, apakah ini berlaku hubunganya dengan kerja? Menurut kami itu tidak,” tegas ade. Ade menambahkan, kita sudah menangani keputusan pengadilan misalkan dalam satu kasus, seorang jurnalis itu mereka diputus, dan kemudian kita gugat, dan hakim menganggap memang pekerjaan jurnalis pekerjaan kontrak nah dengan argument dengan pasal ini (59), karena memang jurnalis pekerjaannya bukan musiman, pekerjaan inti, dan di alam RUU Cipta Kerja, itu akan menjadi bias kembali, yang seharusnya di undang-undang ketenagakerjaan ini, ada jaring pengamannya.
Kemudian Ade melanjutkan, yang juga menjadi penting ialah pasal 155 dalam RUU ketenagakerjaan, pasal ini akan dihapus padahal menurutnya, pasal ini di dalam Undang-Undang ketenagakerjaan itu disebutkan bahwa “pemutusan hubungan kerja tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan menjadi batal. Artinya secara hukum PHK tersebut dianggap belum terjadi”. Lebih lanjut Ade mengatakan, kalau misalkan ada PHK sepihak berarti itu tidak bisa, sebelum ada keputusan pengadilan yang sah artinya prosesnya sesuai dengan pihak pekerja itu saja agar ada putusan yang sah dalam hubungan tenaga kerja dan perusahhan, “ tapi pasal ini akan dihapuskan,” terangnya.
“Yang perlu kita waspadai adalah dihapusnya pasal 155 ini, karena ini menjadi salah satu pegangan untuk pekerja, sehingga perusahaan tidak bisa melakukan tenagakerja secara semena-mena tanpa ada keputusan pengadilan,” lanjutnya.
Lain halnya dengan Agus Sudibyo, ia mengupas pasal 11, terkait media, ia mengatakan investor asing mana yang mau atau tertarik menanamkan modal bisnis media di Indonesia, di kalangan teman-teman media ada yang mengatakan itu hanya orang gila yang mau investasi bisnis media di Indonesia hari ini, di mana disrupsi itu kian nyata, jadi itu hanya orang yang mau buang-buang uang saja. Kemudian kata dia, kalau kita melihat trend global sebenarnya proses penanaman modal lebih banyak akuisisi seperti media konvesional, atau baik radio, televisi, mau pun situs web, itu adalah perusahaan-perusahaan patform pengubah, “jadi sebenarnya bukan hanya penanaman modal tetapi lebih pada akuisisi dan konsolidasi bisnis,” ungkapnya.
Agus juga mengungkapkan, yang menjadi masalah adalah bagaimana kerja media, kerja redaksi, itu juga harus menyesuaikan, dengan kultur atau sistem di dalam grup media yang besar itu, misalnya kata Agus, kita lihat perusahaan global seperti sosial media, incomers, search engine, sangat mendominan—mengarah kepada misi news intelegens, nah tiga ini, artifisial intelegen, big data, dan news intelegens itu satu perkembangan yang tak bisa dirubah namun bisa memberikan efek disrupsi wartawan itu sendiri, “ ini tidak mengawang-ngawang, karena sudah terjadi hari ini, wartawan kehilangan pekerjaannya, apa yang dikerjakan manusia sekarang diganti oleh mesin sekarang dikerjakan aplikator, di mana posisi wartawan itu?” ungkapnya.
Siti Zunaedah punya argumen berbeda dengan Ade Wahyudin menurutnya, sebenarnya outsourcing bukan pekerja kontrak, itu hanya bisnisnya diserahkan kepada perusahaan pihak ketiga dengan status hubungan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selain itu, ia mengatakan berbicara Omnibus Law RUU Cipta Kerja artinya memperbaiki regulasi untuk meningkatkan investasi, lanjutnya Siti mengatakan, undang-undang yang tumpang tindih, banyaknya peraturan berapa tahun belakangan memang banyak yang dipangkas, namun masih perlu dipangkas. Tetapi bukan berarti undang-undang itu menjadi hilang, ada beberapa pasal yang memang perlu digabungkan dan sesuai dengan era sekarang digitalisasi, otomatisasi, serta revolusi industri 4.0.
Penulis: Irfan Fauzy
Marhaen, Jakarta – Federasi Serikat Pekerja Media Independen mengadakan diskusi publik bertajuk “RUU Cipta Kerja dan Pekerja Pers” di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jalan Sigura-gura no.6A Jakarta Selatan. Sabtu, (7/3/2020).
Diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, yaitu Ade Wahyudin dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Agus Sudibyo dari Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, dan Siti Junaedah divisi Direktorat Jendral Pembinaan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (KEMNAKER RI).
Sementara itu, moderator dalam diskusi ini adalah Sasmito Madrim dari Koordinator Bidang Advokasi AJI. Acara ini dibuka dengan pemaparan oleh moderator bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Omnibus Law perlu ditinjau kembali secara ilmiah dan kritis mengenai dampaknya terhadap pekerja media dalam perubahan dua pasal UU Pers yakni Pasal 11 dan 18.
Ade Wahyudin menjelaskan, menurutnya kalau ditanya dampaknya, sebenarnya sama saja dengan pekerja pada umumnya, karena Undang-Undangnya sama, misal di pasal 59 UU 13 tahun 2003, yakni mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu. Di dalam RUU Cipta Kerja disebutkan ketentuan hubungan kerja di pasal 59 dihapuskan, “di sini ada sebenarnya yang menjadi pengaman untuk pekerja kontrak ini menjadi pengamannya. Dia (pekerja) tidak boleh bekerja lebih dari tiga tahun. Nah, dipasal ini akan dihapuskan, padahal ini menjadi pengaman, agar para pekerja tidak dipekerjakan sewenang-wenang,” jelas Ade.
Ade juga menerangkan, bahwa ia sering mendapati jurnalis di cut dengan status hubungan kontrak padahal katanya, dalam ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pekerjaan yang bisa dikontrak itu pekerjaan yang memang seharusnya bukan murni (bukan jurnalis) karena ia inti dari perusahaan itu, “ kalau misalkan ia dipekerjakaan sebagai kontrak mungkin siapa yang menjadi pekerja tetap, apakah ini berlaku hubunganya dengan kerja? Menurut kami itu tidak,” tegas ade. Ade menambahkan, kita sudah menangani keputusan pengadilan misalkan dalam satu kasus, seorang jurnalis itu mereka diputus, dan kemudian kita gugat, dan hakim menganggap memang pekerjaan jurnalis pekerjaan kontrak nah dengan argument dengan pasal ini (59), karena memang jurnalis pekerjaannya bukan musiman, pekerjaan inti, dan di alam RUU Cipta Kerja, itu akan menjadi bias kembali, yang seharusnya di undang-undang ketenagakerjaan ini, ada jaring pengamannya.
Kemudian Ade melanjutkan, yang juga menjadi penting ialah pasal 155 dalam RUU ketenagakerjaan, pasal ini akan dihapus padahal menurutnya, pasal ini di dalam Undang-Undang ketenagakerjaan itu disebutkan bahwa “pemutusan hubungan kerja tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan menjadi batal. Artinya secara hukum PHK tersebut dianggap belum terjadi”. Lebih lanjut Ade mengatakan, kalau misalkan ada PHK sepihak berarti itu tidak bisa, sebelum ada keputusan pengadilan yang sah artinya prosesnya sesuai dengan pihak pekerja itu saja agar ada putusan yang sah dalam hubungan tenaga kerja dan perusahhan, “ tapi pasal ini akan dihapuskan,” terangnya.
“Yang perlu kita waspadai adalah dihapusnya pasal 155 ini, karena ini menjadi salah satu pegangan untuk pekerja, sehingga perusahaan tidak bisa melakukan tenagakerja secara semena-mena tanpa ada keputusan pengadilan,” lanjutnya.
Lain halnya dengan Agus Sudibyo, ia mengupas pasal 11, terkait media, ia mengatakan investor asing mana yang mau atau tertarik menanamkan modal bisnis media di Indonesia, di kalangan teman-teman media ada yang mengatakan itu hanya orang gila yang mau investasi bisnis media di Indonesia hari ini, di mana disrupsi itu kian nyata, jadi itu hanya orang yang mau buang-buang uang saja. Kemudian kata dia, kalau kita melihat trend global sebenarnya proses penanaman modal lebih banyak akuisisi seperti media konvesional, atau baik radio, televisi, mau pun situs web, itu adalah perusahaan-perusahaan patform pengubah, “jadi sebenarnya bukan hanya penanaman modal tetapi lebih pada akuisisi dan konsolidasi bisnis,” ungkapnya.
Agus juga mengungkapkan, yang menjadi masalah adalah bagaimana kerja media, kerja redaksi, itu juga harus menyesuaikan, dengan kultur atau sistem di dalam grup media yang besar itu, misalnya kata Agus, kita lihat perusahaan global seperti sosial media, incomers, search engine, sangat mendominan—mengarah kepada misi news intelegens, nah tiga ini, artifisial intelegen, big data, dan news intelegens itu satu perkembangan yang tak bisa dirubah namun bisa memberikan efek disrupsi wartawan itu sendiri, “ ini tidak mengawang-ngawang, karena sudah terjadi hari ini, wartawan kehilangan pekerjaannya, apa yang dikerjakan manusia sekarang diganti oleh mesin sekarang dikerjakan aplikator, di mana posisi wartawan itu?” ungkapnya.
Siti Zunaedah punya argumen berbeda dengan Ade Wahyudin menurutnya, sebenarnya outsourcing bukan pekerja kontrak, itu hanya bisnisnya diserahkan kepada perusahaan pihak ketiga dengan status hubungan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selain itu, ia mengatakan berbicara Omnibus Law RUU Cipta Kerja artinya memperbaiki regulasi untuk meningkatkan investasi, lanjutnya Siti mengatakan, undang-undang yang tumpang tindih, banyaknya peraturan berapa tahun belakangan memang banyak yang dipangkas, namun masih perlu dipangkas. Tetapi bukan berarti undang-undang itu menjadi hilang, ada beberapa pasal yang memang perlu digabungkan dan sesuai dengan era sekarang digitalisasi, otomatisasi, serta revolusi industri 4.0.
Penulis: Irfan Fauzy
Editor : Chaerul Anwar
0 Comments