Pendidikan formal mulai hadir di Indonesia pada abad 20 ketika pemberlakuan politik etis
(1900-1942) ketika
kolonialisme Belanda
mengeluarkan politik etis. Hadirnya pendidikan di negeri Indonesia terjajah
saat itu, sebetulnya buah dari desakan politik dagang kolonial yang bersifat
monopolistik menjadi politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan
bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi dari borjuis yang sedang berkembang
di negara tersebut maka mulailah mucul sekolah-sekolah walaupun masih
diskriminatif dalam penerimaan siswanya. Bagi pemerintah, politik etis
merupakan politik balas jasa terhadap negara jajahanya, Indonesia. Pihak
kolonial mengharapkan terciptanya
tenaga-tenaga kerja
terdidik sesuai dengan keinginan laju ekspansi
modal swasta Belanda. Tahun 1900 berdiri
sekolah-sekolah, bagi kaum priyai maupun rakyat biasa. Pada tahun 1903 mulai
didirikan sekolah rendah dinamakan Volk School
(Sekolah Rakyat)
dengan masa belajar 3
tahun yang kemudian dilanjutkan dengan
program Vervolg School
(Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Sekolah semacam ini berlanjut ditahun-tahun
berikutnya, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan Algemeene
Middlebare School
(AMS) yang jenjangnya setingkat dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Eeste Inlandsche
School (Sekolah
Bumi Putera Angka Satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang “berada”, serta Tweede Inlandsche School
(Sekolah Bumi Putera Angkatan Dua) bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Selain itu
berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan seperti Hollandsche Inlandsche School
(HIS).
Jejak
lahirnya neoliberalisme
pada pendidikan nasional kapitalis dan imperialisme.
Pasca 1965, seiring dengan kekuasaan-kekuasaan
ekonomi politik rezim
orde baru di keluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman
Modal Asing, modal asing (AS, Kanada, Inggris, Jepang, dan lain-lain) gencar
masuk ke Indonesia. Oleh karenanya modal asing tersebut membutuhkan instrumen
pendukung guna mengembangkan kapasitas
industri di Indonesia. Industrialisasi
asing sangat membutuhkan tenaga-tenaga terampil dan terdidik lulusan perguruan
tinggi. Maka seketika itu pendidikan tinggi menjadi lahan industri strategis
yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara-negara kapital imperialis, dengan mencetak
tenaga kerja bagi perusahaan swasta. Pendidikan menjadi komoditas utama bagi akumulasi
keuntungan modal. Dengan berbagai tekanan dari negara imperialis terhadap Indonesia
melalui perjanjian kesepakan di sektor pendidikan, dan berkonsekuensi
tercabutnya hakikat
keberadaan pendidikan Indonesia. Mulailah era liberalisasi pendidikan di
Indonesia diberlakukan. Setelah Indonesia masuk organisasi perdagangan dunia World Trade
Organization (WTO) pada tahun 1994 melalui disahkannya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organization
(persetujuan organisasi perdagangan dunia). Jasa
pendidikan merupakan bagian dari jasa yang harus di liberalisasi (kurangi
subsidi) salah satu pertemuan tingkat menteri
dari 125 negara di Uruguay
pada tahun 1993 adalah memperluas cakupan produk perdagagan internasional
termasuk perdagangan dibidang jasa, pengaturan mengenai aspek-aspek dagang dari hak atas kekayaan
intelektual, dan kebijakan investasi yang berkaitan dengan perdagangan.
Sehingga tidak heran bagi rakyat Indonesia jika pasca masuknya Indonesia
menjadi anggota WTO ini, berangsur-angsur subsidi sosial dicabut dan
privatisasi aset vital negara dilakukan secara masif.
Pada sektor ketenagakerjaan banyak
sekali buruh yang kemudian merasakan pemutusan hubungan kerja ditengah pandemi
global. Data Kementerian Ketenagakerjaan terdapat 2,08
juta pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per 20 April 2020. Belum lagi terdapat
kurang lebih 7 juta orang yang belum mendapatkan pekerjaan atau pengangguran
yang ada di Indonesia. Bahkan, disetiap tahunnya terdapat 2 juta orang angkatan
kerja baru yang hadir. Jumlah pekerja informal di Indonesia pada tahun 2019
mendominasi pada angka 74,1 juta pekerja (57,26%), formal 55,3 juta (42,74%).
Disisi lain, pemerintah justru mempercepat pengesahan omnibus daripada
melakukan penanganan virus. Kebijakan Omnibus Law merupakan kebijakan yang akan semakin
memperparah kehidupan pekerja, mulai dari sistem kerja kontrak pada setiap aspek pekerjaan,
proses penghilangan analisis mengenai dampak lingkungan, hingga hak pengelolaan yang akan memberikan
kewenangan kepada pengusaha untuk menguasai tanah di Indonesia. Ditengah pandemi saat ini, pemenuhan hak
selama dirumahkan sama sekali tidak diakomodir oleh pemerintah. Belum lagi
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan para pedagang yang merasakan sulitnya
mendapatkan pemasukan karena pemodalan dan distribusi yang terhenti.
Terlebih
lagi didalam situasi pandemi global saat ini, hampir sebagian besar sekolah dan
kampus – kampus diliburkan. Aktifitas belajar mengajar diarahkan pada belajar
online tanpa meninjau secara substansi perihal keilmiahan dalam proses belajar
online. Sehingga masih seperti biasa, murid hanya dibebankan oleh tugas yang
menumpuk dan cenderung formalistik. Murid juga dirugikan ditengah situasi
pandemi saat ini, pendidikan yang komersil dengan menetapkan sistem Uang Kuliah
Tunggal ditengah situasi pandemi ini sangat memperkeruh keadaan. Tak jarang
pula tenaga kerja dalam sektor pendidikan seperti pekerja honorer, tukang
kebun, satpam, office boy pun
mengalami upaya penghilangan hak atau bahkan di PHK dalam situasi pandemi
global. Kampus mengurangi hak pekerja, usaha kantin, dan mahasiswa untuk meraup
keuntungan berlebih melalui pendidikan.
Dalam ranah pendidikan, peserta
didik juga merupakan sasaran bagi kaum pemodal. Dalam menjalankan aktifitas
produksi, pemodal dapat mengurangi biaya produksi dengan tidak membayar pekerja
yang didapatkan melalui kampus-kampus. Menggunakan metode politis dengan membelenggu
mahasiswa melalui nilai, mahasiswa dipaksa untuk magang tanpa diberikan upah
atau bekerja secara cuma-cuma. Hal demikian dapat terlihat melalui gagasan pendidikan
yang diusung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Nadiem Makarim perihal
“Kampus Merdeka”. Dalam hal ini pemerintah memberikan kewenangan otonomi
terhadap perguruan tinggi untuk membuka program studi baru yang disesuaikan
dengan industri. Bahkan pemerintah memperparah sistem pendidikan dengan
mengharuskan perguruan tinggi untuk menjalin kemitraan dengan perusahaan, organisasi
nirlaba, dan institusi multilateral. Sistem pendidikan “Kampus Merdeka”
merupakan polarisasi yang disesuaikan dengan kondisi pasar atau pendidikan yang
harus Link and Match dengan kebutuhan
industri. Alhasil, mahasiswa yang hari ini tersedia di perguruan tinggi
diseluruh Indonesia sengaja dipersiapkan guna menjadi sekrup atau tenaga kerja
terdidik.
Persoalan pendidikan begitu sangat
kompleks di Indonesia. Hal yang dirumuskan Nadiem merupakan bentuk komersialisasi, privatisasi, hingga
liberalisasi pada sektor pendidikan. Perumusan yang sama sekali disorientasi
pada kemaslahatan dan kepentingan rakyat di Indonesia. Berdasarkan data Tim
Nasional Percepatan Penaggulangan Kemiskinan (TNP2K) terdapat 1.228.792 anak,
di usia 7 – 12 tahun serta di usia 13 – 15 tahun terdapat 936.675 anak, dan di
usia 16 – 18 tahun terdapat 2.420.886 anak yang tidak dapat mengakses
pendidikan di Indonesia. Kemiskinan merupakan faktor penting dalam dunia
pendidikan ditengah situasi upah murah dan komersialisasi pendidikan yang kian
mahal. Tidak ada aspek kemanusiaan dan keilmiahan disektor pendidikan. Gagasan
“Kampus Merdeka” semestinya berjiwa humanis, bukan humanitarian. Pendidikan
semestinya berorientasi pada kecerdasan dan kemerdekaan bangsa untuk melepaskan
belenggu keterbelakangan serta sesuai dengan realitas keadaan objektif agar dapat
diakses oleh setiap warga negara.
Pendidikan yang tidak ilmiah juga
termanifestasikan hampir menyeluruh dalam praktik belajar mengajar disuguhkan dengan pola bercerita didalam semua tingkatan.
Posisi guru merupakan subjek, sementara murid ialah objek yang harus patuh,
tunduk, dan mendengarkan. Sehingga proses belajar mengajar cenderung kaku dan
tidak interaktif. Murid hanya diajarkan mendengar, mencatat, dan menghafal
secara mekanis, tanpa pernah melakukan investigasi, mengkaji, dan mencari
substansi dari sesuatu hal yang dipelajari. Maka, semakin patuh dan tunduk
murid terhadap subjek, maka semakin baik pula mereka sebagai murid. Akselerasi
modal yang sudah masuk pada sektor pendidikan akan membuat logika bahwa pemodal
merupakan pemberi pengetahuan dengan menganggap setiap peserta didik ialah
orang yang tidak mengetahui apa–apa. Menganggap orang lain bodoh merupakan
manifestasi kepentingan pemodal yang mengkhianati pendidikan dan pengetahuan sebagai
proses pencarian. Ruang gerak yang disediakan bagi murid hanya sebatas
menerima, mencatat, serta menyimpan.
Murid
tidak dikehendaki untuk mengekspresikan kemerdekaan berfikir, mengkaji sesuatu
hingga unsur terkecil, sebab akibat proses perkembangan dunia, serta melakukan
perubahan atas dasar prinsip kemanusiaan dan kesetaraan. Hal ini akan
mengurangi kemampuan berfikir dan kreasi manusia serta membuat sikap manusia
yang mudah percaya tanpa proses pencarian. Murid sudah diajarkan patuh dan
tunduk pada kepentingan subjek mulai dari penampilan, absensi, nilai komulatif, bahkan logika
formal yang dibentuk secara sistematis dan konstruktif oleh kepentingan
pemodal. Begitulah sistem pendidikan yang mengacu pada sistem pendidikan “Gaya
Bank”. Pendidikan yang memanfaatkan humanitarianisme demi kepentingan kelompok
agen bisnis disektor pendidikan. Mereka selalu berusaha untuk mencegah bahkan
menentang setiap hal dalam pendidikan yang akan merangsang kemampuan daya
kritis dan tidak puas dengan pandangan terhadap sosial dan dunia yang
berkembang. Dalam pendidikan “Gaya Bank” ini juga mereka menganalogikan manusia
sebagai benda terkendali (automaton), yaitu suatu penolakan terhadap fitrah
ontologis manusia untuk menjadi manusia merdeka dan seutuhnya. Oleh sebab itu, sistem pendidikan
gratis, ilmiah, demokratis serta mengabdi kepada rakyat tidak dapat diharapkan
melalui sistem pendidikan versi kaum pemodal. Perubahan sistem pendidikan hanya
dapat dilakukan sampai ke akarnya dengan membangun sistem pendidikan yang berprinsip
atas kerakyatan dan kesetaraan serta tidak menghendaki superior satu sama lain, kesenjangan guru
dengan murid, tua maupun muda, kaya ataupun miskin serta semua setara dalam
setiap aspek belajar mengajar dan kehidupan.
Dalam hal
ini pendidikan adalah komoditas/barang dagangan untuk dapat meraup keuntungan.
Dalam suatu pabrik, pengusaha membutuhkan tenaga kerja untuk menghasilkan
komoditas. Disisi lain, pengusaha akan berupaya keras dengan terus
mempromosikan komoditas agar laku dipasaran. Karena dari komoditas tersebut
pengusaha dapat meraup keuntungan. Begitu juga dengan kampus. Kampus = pabrik,
kampus rasa pabrik. Berikut hasil investigasi dan analisis penulis dalam
menggambarkan keuntungan berlebih yang diambil oleh Universitas Pakuan Bogor ;
1. Jumlah Mahasiswa Diploma, Strata 1 = kurang lebih
14.000 Mahasiswa Aktif (Di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi PDDIKTI ada
19527 Mahasiswa)
2. Jumlah tenaga kerja
-
Dosen Tetap : 435 orang
-
Satpam : 35 orang
-
Pekerja Parkiran : 105 orang
-
Office boy : 60 orang
3 . Biaya Gedung Per Mahasiswa Angkatan 2019
No
|
Fakultas
|
Jurusan
|
Biaya
Gedung Gel 1
|
Biaya
Gedung Gel 2
|
Biaya
Gedung Gel 3
|
Mahasiswa
|
Jumlah
|
1
|
Hukum
|
Ilmu Hukum
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.500.000
|
1473
|
11.784.000.000
|
2
|
Ekonomi
|
Managemen
|
9.500.000
|
11.000.000
|
12.500.000
|
1826
|
17.437.000.000
|
3
|
Ekonomi
|
Akuntansi
|
9.500.000
|
11.000.000
|
12.500.000
|
1162
|
11.039.000.000
|
4
|
IKIP
|
Bahasa
Ingrris
|
7.500.000
|
8.500.000
|
9.500.000
|
399
|
2.992.500.000
|
5
|
IKIP
|
Bahasa
Indonesia
|
7.500.000
|
8.500.000
|
9.500.000
|
403
|
3.022.500.000
|
6
|
IKIP
|
Pendidikan
Biologi
|
7.500.000
|
8.500.000
|
9.500.000
|
198
|
1.485.000.000
|
7
|
IKIP
|
Pendidikan
Guru SD
|
7.500.000
|
8.500.000
|
9.500.000
|
765
|
5.737.500.000
|
8
|
ISIP
|
Sastra
Inggris
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
370
|
2.960.000.000
|
9
|
ISIP
|
Sastra
Indo
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
74
|
592.000.000
|
10
|
ISIP
|
Sastra
Jepang
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
224
|
1.792.000.000
|
11
|
ISIP
|
Ilmu
Komunikasi
|
10.000.000
|
12.500.000
|
15.000.000
|
2193
|
21.930.000.000
|
12
|
Teknik
|
Teknik Geodesi
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
124
|
992.000.000
|
13
|
Teknik
|
Teknik
Planologi
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
281
|
2.248.000.000
|
14
|
Teknik
|
Teknik
Sipil
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
450
|
3.600.000.000
|
15
|
Teknik
|
Teknik
Elektro
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
215
|
1.720.000.000
|
16
|
Teknik
|
Teknik
Geologi
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
244
|
1.952.000.000
|
17
|
MIPA
|
Biologi
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
139
|
1.112.000.000
|
18
|
MIPA
|
Kimia
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
358
|
2.864.000.000
|
19
|
MIPA
|
Matematika
|
8.000.000
|
9.000.000
|
10.000.000
|
120
|
960.000.000
|
20
|
MIPA
|
Ilmu
Komputer
|
10.000.000
|
12.500.000
|
15.000.000
|
1413
|
14.130.000.000
|
21
|
MIPA
|
Farmasi
|
15.000.000
|
17.500.000
|
20.000.000
|
1349
|
20.235.000.000
|
22
|
JUMLAH
TOTAL
|
130.584.500.000
|
Artinya,
terdapat 13.780 mahasiswa pada tahun 2019. Keuntungan yang didapat dari biaya gedung
senilai Rp.130.584.500.000 atau
kurang lebih 130 Milyar. Dalam penghitungan, penulis mencoba mengeneralisir
mahasiswa masuk pada gelombang pertama. Hal demikian belum termasuk biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Satuan Kredit Semester (SKS), Praktikum, Dan Lain-Lain (DLL). Apabila
kita tarik hitungan sederhana dengan perkalian terendah, seminsal biaya SPP
semua mahasiswa ialah Rp.1.750.000., Maka, Rp.1.750.000 x 13780 orang
=Rp.24.115.000.000 (kurang lebih 24 Milyar). Disisi lain, apabila seluruh
mahasiswa hanya mengambil 18 sks dengan biaya sks Rp.100.000 artinya hasilnya
ialah Rp.1.800.000 x 13780 = Rp.24.804.000.000 (kurang lebih 24 Milyar). Total
dari biaya SPP, dan SKS ialah Rp.24.115.000.000 + Rp.24.804.000.000 = Rp.48.919.000.000 (kurang lebih 48 Milyar)
Dari jumlah
tersebut pengusaha perlu mengeluarkan biaya capital konstan (pajak, listrik,
air, alat tulis kantor, dll/non upah) dan capital variable (upah, tunjangan,
dll/upah). Terkait sarana listrik, Universitas Pakuan Bogor masuk ke dalam
jenis industri komersial.
Per tahun 2015, daya yang terpasang terhadap kebutuhan kampus yang memiliki
gedung 10 lantai ini ialah sebesar 377.018 watt. Artinya, berdasarkan Peraturan
Menteri ESDM
Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Biaya Tarif Listrik, Universitas Pakuan Bogor masuk kedalam golongan
tarif listrik I-3/TM dengan biaya Rp.1.115/kWh
karena memiliki kebutuhan listrik diatas 200kva. Hitungan sederhananya ialah
penggunaan listrik x biaya listrik. 377.018 watt x Rp.1.115 = Rp.
420.475.420/Bulan, kemudian Rp.420.475.420 x 6bulan = Rp.2.522.852.520
(gambaran umum).
Terkait upah
(wages) serta tunjangan – tunjangan (benefits) tentu tidak mungkin lebih dari
6% dari nilai yang didapat melalui Biaya Gedung, SPP, SKS, Praktikum, dll.
Kalau kita tarik hitungan sederhana dari semua dosen tetap diberikan upah
Rp.10.000.000, Sementara satpam, pekerja parkiran, office boy/girl diberikan upah Rp.5.000.000., Maka ;
-
Dosen Tetap : 435 orang x Rp.10.000.000 x 6
bulan/1Semester = Rp.26.100.000.000
-
Satpam : 35 orang x Rp.5.000.000 x 6 bulan/1 Semester
= Rp.1.050.000.000
-
Pekerja Parkiran : 105 orang x Rp.5.000.000 x 6
bulan/1 Semester = Rp.3.150.000.000
-
Office boy : 60 orang x Rp.5.000.000 x 6
bulan/1Semester = Rp.1.800.000.000
-
Total Rp.26.100.000.000 + Rp.1.050.000.000 +
Rp.3.150.000.000 + Rp.1.800.000.000 = Rp.32.100.000.000 (kurang lebih 32
Milyar)
Total
keseluruhan gambaran umum ialah,
1. Hasil Penjualan
Komoditas Pendidikan (pendapatan biaya gedung + pendapatan spp + pendapatan
sks) – Capital Konstan (sarana produksi, listrik, air, atk, dll) = Nilai Tambah
2. Kemudian, Nilai Tambah – Kapital Variable (Upah,
Tunjangan, dll) = Surplus Value (Nilai Lebih)
3. Keterangan :
-
Pendapatan biaya gedung : Rp.130.584.500.000
-
Pendapatan SPP dan SKS : Rp.48.919.000.000
-
Listrik : Rp.2.522.852.520
-
Air, alat tulis kantor, dll : Kita kasih angka
gambaran umum Rp.5.000.000.000
-
Upah : Rp.32.100.000.000
1. (Rp.130.584.500.000 + Rp.48.919.000.000) – (Rp.2.522.852.520 + 5.000.000.000) = Rp.179.503.500.000
– Rp.7.522.852.520 = Rp.171.980.647.480
2. Rp.171.980.647.480
– Rp.32.100.000.000
= Rp.139.880.647.480
3. Fantastis
Analisis
penulis terkait penghitungan surplus merupakan gambaran umum dengan perkalian
terendah dan keterbatasan data karena tidak ada transparansi keuangan dari
pihak kampus. Hitungan ini menggenarilis apabila semua mahasiswa
masuk pada gelombang pertama dan mengambil 18 SKS, serta memberikan upah 10
juta pada dosen dan 5 juta pada pekerja satpam, office boy/girl, pekerja parkiran, dll yang saat ini masih banyak
yang berstatus outsourching. Begitulah sistim ekonomi politik kapitalisme
bekerja. Kelompok bisnis yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan
akan terus mengacu pada mekanisme pasar bebas. Disisi lain, pemerintah selaku
representative dari Negara mendukung dengan beberapa kebijakan dan tidak
melakukan intervensi berlebih pada sektor pendidikan. Sebab, keterlibatan Negara dalam
pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya dalam logika pengusaha akan mengacaukan
mekanisme pasar. Dalam praktiknya, banyak dari kita yang masuk pada gelombang
kedua bahkan ketiga. Banyak dari kita juga yang melakukan pembayaran SPP dan
SKS lebih besar dari yang penulis hitung atau cantumkan. Data terkait jumlah
mahasiswa bahkan lebih dari yang penulis sajikan. Seperti yang dilansir oleh Pangkalan Data Pendidikan Tinggi bahwa
Universitas Pakuan Bogor memiliki 19.527 Mahasiswa per tahun 2020. Tentu,
keuntungan yang didapat pemilik yayasan lebih dari nilai yang coba penulis
hitung. Lalu, apakah ini yang dinamakan kemanusiaan? Secara turun temurun kita
akan terus mengalami kesulitan dalam akses pendidikan di Kota Bogor dan
Indonesia. Bukan hanya di Universitas Pakuan Bogor, masih bayak kampus lainnya
yang tersebar di Indonesia menerapkan hal yang sama juga. Terlebih lagi
ditengah situasi pandemi saat ini, banyak jutaan pekerja yang mengalami PHK, pedagang kecil yang pendapatannya
menurun, banyak orang tua kita yang harus menghutang kesana – kemari untuk
tetap dapat menyambung hidup. Lalu, biaya pendidikan masih saja menjulang dana
sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan. Solidaritas diantara kita
merupakan kekuatan mutlak untuk menyerukan bahwa kita semua sedang menjerit.
Kita adalah satu, satu adalah kita. Tak ada yang mustahil apabila kita semua
bersolidaritas. Rebut dan wujudkan kehendak bersama!
Semua kondisi buruk di tengah
pandemi yang belum usai barbar ini mengingatkan saya kepada ucapan Fidel
Castro:
“kapitalisme tidak memiliki nilai
moral dan etika, segalanya dijual. Musthail untuk mendidik orang di lingkungan
seperti itu, orang menjadi egois dan kadang berubah menjadi bandit”
Berikut
fakta :
1. Keuntungan 139 Milyar setara dengan upah 33.334 buruh
dengan Upah
Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Kota Bogor yaitu Rp.4.169.806
2. Keuntungan 139 Milyar setara dengan harga pupuk
nonsubsidi bagi 496.428 petani
3. Apabila pemilik yayasan mengeluarkan 5 juta per-hari
untuk bertahan hidup dari keuntungan 139 Milyar. Maka keuntungan tersebut akan
habis 76 tahun kemudian
4. Agar dapat memiliki uang 139 Milyar, buruh dengan UMK
Rp.4.169.806 harus bekerja selama 2777 tahun
5. Agar dapat memiliki uang 139 milyar, tenaga kerja
pendidik dengan upah 10
juta harus
bekerja selama 1158 tahun.
6. Agar mendapatkan keuntungan 139 Milyar bahkan lebih,
Pemilik Universitas Pakuan Bogor menjual pendidikan kepada warga bogor dan sekitarnya
dengan tenggang waktu 6
bulan atau 1
semester.
Daftar Pustaka
a.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Inodonesia, Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang
Penanaman Modal Asing (PMA)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (persetujuan organisasi perdagangan dunia)
Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Biaya Tarif Listrik
b.
Buku
George
Lukacs, Dialektika Marxis, Depok,
Sleman, Jogjakarta : PT Ar-Ruzz Media, 2009
c.
Lain-lain
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ke IV, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Materi
Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi Dewan Nasioal Sejarah Pendidikan Indonesia 2019.
Van Deventer dalam majalah De Gids, 1908 Etty Soesilowati Jurnal Neo Liberalisme Antara Mitos dan Harapan, Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Semarang, September 2009.
https://pddkit.kemdikbud.go.id/data-pangkalan-data-pendidikan-tingg-
Universitas-Pakuan,2019-2020
https:buruh.co/6713-2/
Salam Pembebasan!
Penulis:
Herdiyatna, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Editor : Chaerul Anwar
0 Comments