(Foto: Ilustrasi Barikade polisi saat aksi penolakan Omnibus Law yang dilakukan aliansi buruh dan elemen lainnya, pada Kamis, 22 Oktober 2020, di sekitaran Patung kuda Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat/Marhaenpress)


Marhaen, Jakarta – Undang-Undang Omnibus Law yang telah disahkan menjadi polemik di negeri ini. Penolakan dengan berbagai cara telah dilakukan masyarakat, namun pemerintah seolah menutup mata dan terus melenggangkan Undang-Undang (UU) yang cacat formil tersebut. Menormalisasikan pembungkaman ruang yang dilakukan pemerintah saat ini secara terang-terangan terlihat kepada publik, hal ini seperti membawa kembali pada era orde baru. 

Forum Persatuan Mahasiswa Universitas Bung Karno (FPM-UBK) yang tergabung dalam Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI) Distrik Jakarta Pusat mengadakan diskusi online melalui Zoom Meeting pada Sabtu, 7 November 2020. Diskusi yang bertemakan “Tolak Omnibus Law & Lawan Pembungkaman Ruang Demokrasi” dimoderatori oleh Mayzka Mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) serta diisi oleh empat kawan diskusi yaitu Muhamad Iznur pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), MIrza Fahmi Manajer Program Lokataru, Dinda dari AKMI, dan Danu mahasiswa Fisip UBK. Diskusi online ini dimulai pada pukul 19.00 WIB dan dihadiri 30 partisipan. 

Danu Gustria Fernanda mahasiswa Fisip UBK yang menjadi kawan diskusi pun mengatakan bahwa pergerakan menolak UU Omnibus Law mempersatukan rakyat dan melawan pembungkaman ruang demokrasi. Ia menambahkan tindakan represif aparat negara kepada masa aksi juga merupakan kejahatan konstitusi.

“Pergerakan menolak Undang-Undang Omnibus Law merupakan satu titik yang mempersatukan rakyat, para peajar, mahasiswa, para petani, kaum buruh yang bersatu padu melawan pembungkaman demokrasi dan terus melakukan perlawanan di seluruh Indonesia. Dan melihat fenomena para demonstran yang baru sampai di titik aksi langsung ditangkap oleh aparat negara merupakan kejahatan konstitusi yang pro terhadap pemerintah dan tidak pro kepada demokrasi”, ucapnya.

Ia menambahkan bahwa terbitnya surat edaran Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud juga merupakan bentuk pembungkaman akademik, serta pemeliharaan buzzer yang dilakukan negara untuk membungkam kebebasan demokrasi juga merupakan bentuk pembodohan yang dilakukan negara.

“Adanya surat edaran Dikti juga merupakan bentuk pembungkaman ruang demokrasi dan pembungkaman akademik. kita diminta untuk tidak berdemonstrasi, nyatanya hal tersebut merupakan bagian dari tridharma perguruan tinggi yang menjadi perhatian dari mahasiswa itu sendiri.  Bahkan buzzer-buzzer pun membenturkan ruang demokrasi melalui media sosial, yang secara langsung didanai oleh pemerintah. Ini merupakan bentuk pembodohan yg dilakukan oleh negara. Tetapi adanya keterbukaan informasi ini merupakan suatu kesadaran politik para pelajar dan rakyat meilihat dan memilih jalan yang benar apa yang seharusnya dilakukan dan rakyat terus sadar dan pintar berpolitik”, ungkapnya

Melalui pesan singkat melalui WhatsApp pada Minggu, 08/11/2020 Dinda yang merupakan perwakilan dari AKMI mengatakan kepada masyarakat sipil untuk terus membuat gelombang besar penolakan dengan pembangkangan sipil, menyerukan seruan #MosiTidakPercaya serta terus mengagendakan konsolidasi rakyat untuk aksi penolakan Undang-Undang Omnibus Law.

“Langkah yang paling tepat untuk kita lakukan adalah terus membuat gelombang penolakan yang lebih besar lagi dengan pembangkangan sipil. Ini sudah menjadi satu-satunya cara untuk melawan rezim saat ini yang anti demokrasi dan otoritarian yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Seruan #MosiTidakPercaya harus terus disuarakan. Agendakan terus konsolidasi rakyat untuk aksi penolakan omnibus law agar dapat digagalkan”, ucapnya

Dinda juga mengatakan pemerintah saat ini tidak ada bedanya dengan orde baru lalu ia mengistilahkan otoritarian orba 4.0 pada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin saat ini. Karena semakin susahnya publik mendapatkan ruang dialog dan semakin banyaknya mahasiswa yang terus mendapatkan pembungkaman suara meskipun kebebasan berbicara sudah tertulis dalam Undang-Undang. 

“Ini kalo boleh aku sebut rezim yang tidak ada bedanya dengan otoritarian orde baru dan aku lebih senang dengan mengisitilahkannya otoritarian orba 4.0. Sudah susah kita menemukan ruang-ruang dialog antara penguasa dan rakyat. Mahasiswa terus mendapat intimidasi, ancaman dan pembungkaman. Padahal konstitusi menjamin kebebasan bicara”, ungkap dinda.

Pemerintah terus melakukan menormalisasikan pembungkaman yang sangat jelas terlihat bahwa pemerintah saat ini mulai terganggu dengan pergerakan rakyat karena menolak Undang-undang Omnibus Law yang merupakan agenda besar pemerintah dan oligarki. Dan juga telah diterbitkan telegram Kapolri yang menghalangi protes masyarakat kepada pemerintah.

“Kita terus dibenturkan dengan narasi-narasi yang menormalisasikan pembungkaman. Seperti yg disebut semalam oleh Bung Mirza. Dan itu memang sangat jelas sekali terlihat, ego kekuasaan hari ini mulai terganggu. Telinga mereka mulai gatal dan tidur mereka mungkin sudah tidak nyenyak lagi. Karena massa terus berdatangan untuk mengacaukan agenda besar mereka. Itulah kenapa ancaman yang sangat sistematis untuk membungkam rakyat dibuat. Terbitnya telegram Kapolri yang memang sengaja ditugaskan untuk menghalangi protes dari masyarakat”, tutupnya.

Penulis : Ayu Rizquina
Editor   : Chaerul Anwar