( Foto : Saat Konferensi Pers via Zoom meeting/Devi )

Marhaen, Jakarta - Forum Pancoran Bersatu dan Koalisi Rakyat Pelanggaran HAM mengadakan Konferensi Pers terkait Upaya Penggusuran Paksa yang dilakukan PT. Pertamina terhadap warga Pancoran Buntu II. Konferensi Pers turut dihadiri oleh perwakilan Warga Pancoran, KontraS, dan LBH Jakarta. Via Zoom Meeting dan live streaming Youtube, Minggu (21/03/21).

Penggusuran paksa yang dilakukan oleh PT. Pertamina terhadap Warga Pancoran Buntu II dengan dalih pemulihan aset membuat warga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian yang telah digantungkan di lahan tersebut selama puluhan tahun serta pudarnya kohesi sosial antar masyarakat di dalamnya. Tindakan tersebut mengabaikan fakta bahwa warga bukan penyerobot lahan atau asal menempatkan lahan tanpa izin, tetapi warga adalah penghuni beritikad baik dengan membayar sewa lahan kepada pihak yang bersengketa dan membangun sendiri rumah yang dihuninya.

Santi, salah satu warga yang sudah puluhan tahun tinggal menuturkan, “Kami mengontrak atau menyewa lahan kepada Pak. Mul (Almarhum). Jadi, kami bayar pertahun, awal mulanya kami disini. Jadi, kami tidak datang langsung menduduki tempat.” Ucapnya.

Warga telah mengetahui bahwa area Pancoran Buntu II masih berstatus obyek sengketa di Pengadilan dan tidak dapat dilakukan eksekusi sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), tetapi PT. Pertamina mengabaikan hal itu dan mengklaim bahwa area itu miliknya.

Rayuan untuk menawar uang kerohiman kepada warga agar pindah dari area itu dilakukan oleh PT. Pertamina sebagai upaya mengosongkan lahan. Tetapi, ada beberapa warga yang masih bertahan di area tersebut.

 “Jadi, mereka melakukan itu dari pintu ke pintu, mulai dari ujung aula pengajian dan kami tidak tahu. Kalau kamu tidak mau menerima kerohiman, bulan Desember akan dibongkar paksa, dan akhirnya sebagian orang pergi karena takut, serta tersisalah kami yang masih ada saat ini, dan masih beberapa yang masih bertahan.” Imbuh Santi.

Berbagai cara yang dilakukan oleh PT. Pertamina, seperti penggusuran paksa sudah dilakukan dengan menggunakan alat berat, sehingga banyak rumah warga yang dibongkar. Warga juga mengalami kekerasan dan intimidasi oleh Preman dan Ormas pada tanggal 17 Maret 2021, yang berujung bentrokan yang menyebabkan 28 (dua puluh delapan) orang warga Pancoran dan massa solidaritas mengalami luka-luka berupa luka lemparan batu, luka robek bagian kepala, memar, sesak nafas karena gas air mata, patah tulang, serta terkilir. Beberapa korban juga terluka akibat tembakan senjata rakitan berjenis dorlop oleh Ormas. Pola intimidasi dengan pengerahan ormas tersebut telah terjadi beberapa kali sejak pertengahan 2020 dalam upaya pengosongan lahan di Pancoran Buntu II.

( Foto : Saat Konferensi Pers via Zoom meeting/ Devi)

Nelson Nikodemus Simamora selaku Pengacara Publik LBH Jakarta menjelaskan bahwa penggusuran paksa dengan cara kekerasan seperti ini merupakan lagu lama, karena dari dulu sudah banyak terjadi, dimana pihak yang berusaha menggusur adalah pemilik modal dan mempunyai banyak uang.

“Dari keterangan warga, bahwa pelaku kekerasan adalah adanya preman dan ormas yang mengenakan pakaian loreng oren hitam, dan diakui juga mereka terlibat dalam keributan. Ada kepolisian juga, baik polsek maupun polres yang kemudian melakukan penembakan gas air mata secara langsung kepada warga, dan seharusnya tidak begitu caranya.” Ucapnya.

Ia juga menambahkan bahwa kejadian tersebut bukan bentrok dan tawuran yang dilakukan oleh warga terlebih dahulu karena tidak masuk akal,

“Ini juga bukan bentrok, kalau bentrok itu seimbang. Bentrok antar SMA seperti di daerah Bulungan sering bentrok, tawuran. Dan, ini juga bukan tawuran karena tidak seimbang, selain tidak seimbang karena tidak adanya senjata tajam, serta tidak masuk akal, karena warga posisinya terdesak, terancam digusur, masa kemudian mereka bikin rusuh. Kalau mereka mau digusur, otomatis mengumpulkan simpati masyarakat, penggunaan kekerasan akan berdampak hilangnya dukungan masyarakat. Tidak mungkin, itu namanya bunuh diri.” Imbuh Nelson Nikodemus Simamora.

Pada saat bentrok antara warga dengan Ormas, diduga Kepolisian Republik Indonesia melakukan tindakan pembiaran atas serangkaian tindakan penggusuran paksa. Tindakan pembiaran (omission act) dan tindakan kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian dalam bentrokan pada tanggal 17 Maret 2021 tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum dan pengabaian terhadap ketentuan konstitusi, khususnya pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa fungsi Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta melakukan penegakan hukum. Tindakan aparat kepolisian tersebut merupakan bentuk tindak pelanggaran HAM yang acap kali dilakukan oleh petugas kepolisian saat menjalankan tugas-tugasnya, sekaligus merupakan bukti bahwa reformasi di tubuh Polri masih jauh dari harapan publik dan tidak memihak kepentingan publik.


Penulis : Devi Oktaviana

Editor  : Ayu Gurning