( Foto : Saat webinar berlangsung/ Endah )

 

Marhaen,  Jakarta – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) bersama Universitas Bung Karno menggelar Webinar Nasional bertemakan ”Peran  Pemuda Dalam Narasi Menangkal Terorisme” via Zoom Meeting dan Live Streaming Youtube, pada Kamis ( 15/04/2021)

Aksi terorisme masih menjadi ancaman regional maupun global, dibuktikan dengan adanya aksi yang sedang marak terjadi pada beberapa minggu terakhir. Kelompok terosisme merupakan musuh yang harus diperangi bersama, sampai saat ini kelompok tersebut masih terus mencari dan melakukan proses pemilihan anggota baru dengan target utama kaum muda. Pemahaman radikal bebas sangat mudah untuk diakses dalam kalangan anak muda yang cenderung masih labil.

“Generasi muda atau anak-anak milenial menjadi sasaran yang utama antara umur 17 tahun sampai 26 tahun dan di Indonesia sudah tercatat beberapa kali aksi teroris pernah dilakukan oleh anak-anak muda di antaranya adalah seorang wanita milenial umur 26 tahun ZA yang menyerang Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia) pada 30 Maret 2021, DD umur 18 tahun pengeboman hotel dan resort Mariott Ritz-Carlton di Kawasan Mega Kuningan Jakarta pada 17 Juli 2009, SA 22 tahun penyerangan pos lalu lintas Cikokol Tangerang pada 20 Oktober 2016, RN 24 tahun Pelaku bom bunuh diri yang menerobos masuk Mapolrestabes Medan pada 13 November 2019, TS 23 tahun penusuk Bripka Frence di halaman hotel Brimob Kelapa Dua Depok. LN 26 tahun, pasangan suami istri yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar dengan istrinya pada 28 Maret 2021, kemudian ada GA 16 tahun dan RP 17 tahun, Pelaku pelemparan bom molotov di depan Gereja Oikumene Samarinda Kalimantan Timur 2016 dan masih banyak lagi yang lainnya, terjadi pada tahun 2000 dan 2001, ini menjadi contoh nyata bagi genjarnya fenomena doktrinasi  paham radikal di kalangan anak muda ” , ungkap Wawan H.Purwanto Deputi VII BIN

Ada tiga hal tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam persoalan radikalisme, pertama adalah adanya kelompok-kelompok mempertanyakan kembali komitmen atau konsensus bangsa Indonesia, Nuruzzaman selaku Staf Khusus Kementerian Agama mengatakan  “misalnya pada tahun 2017-2018 bahkan sebelumnya, ada organisasi kemasyarakatan yang mempertanyakan kembali konsensus bangsa  dan ingin berupaya untuk mengubah konsensus bangsa  menjadi bentuk lain, sebagai contoh HTI ( Hizbut Tahrir Indonesia)  yang bukan lagi mempertanyakan tetapi sudah menyatakan ingin mengganti konstitusi kebangsaan”

Kedua adalah kudeta parlementer secara tidak langsung, kelompok tersebut berusaha untuk melakukan perubahan konstitusi kebangsaan dengan cara konstitusional  “ kelompok tersebut masuk ke dalam partai politik dan melakukan perubahan di parlemen maupun di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), kalau kelompok tersebut menguasai separuh lebih di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) maka berubahlah Republik ini dalam bentuk lain” sambung Nuruzzaman

Ketiga adalah soal klaim sepihak atau orang yang merasa benar sendiri dalam keagamaan di tengah-tengah masyarakat dengan presentasinya adalah sikap toleransi dan ekstremisme mengarah pada kekerasan dalam bentuk aliran atau organisasi seperti Salafi.

“Salafi ini mempunyai banyak bentuknya, ada Salafi Jihadi yang melakukan tindakan teror dan berupaya untuk mengubah negara ini dalam bentuk lain yaitu Negara Islam. Tetapi Salafi Sururi juga mempertanyakan konsensus dengan cara-cara yang dilakukan lebih halus dan menggunakan politik. Ada lagi Salafi Dakwah yang sebenarnya mungkin secara ideologi aliran kelompok terkait  memiliki konsensus  atau tidak ingin melakukan perubahan terhadap konstitusi tetapi ajarannya sebenarnya intoleran karena kelompok terkait menganggap paling benar dan orang lain salah, kalau tidak mengikuti dirinya dan ini nyata adanya tampak di tengah-tengah masyarakat, Kelompok Salafi Dakwah ini secara ideologi tidak mungkin akan membangun negara ke dua dalam bentuk lain tetapi ternyata inilah potensi-potensi dari intoleransi dan ekstrimisme mengarah pada kekerasan maupun terorisme” ucap Nuruzzaman

Masyarakat serta generasi muda harus tahu bahwa radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme yang memiliki ciri atau sikap Intoleren seperti tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, fanatik selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah serta ekslusif, yaitu membedakan diri dari umat islam pada umumnya.

“Revolusioner yaitu cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuannya. Masyarakat diharuskan aktif dalam melaporkan giat radikalisme dan terorisme, masyarakat meningkatkan pemahaman akan hidup kebersamaan, masyarakat ikut mensosialisasikan tentang bahaya dari radikalisme. Peran aktif dari masyarakat khususnya generasi muda untuk sama-sama kita memerangi radikalisme ini karena ini bukan kejahatan biasa namun sudah menjadi kejahatan negara yang memang harus kita perangi bersama-sama, aparat dan lembaga tidak mungkin bisa melaksanakan tanpa ada peran aktif dari masyarakat. Kita berharap generasi muda bisa mengerti dan bisa bersama-sama mencegah tentang adanya radikalisme ini di negara kita ”, ungkap Kombes Pol.Tjahyono Saputro Divisi Humas Polri.

Generasi muda harus mampu memfilter informasi-informasi yang diperoleh, mengelola media sosial dengan baik, dan harus disadari bahwa kebaikan serta kebenaran itu memiliki pandangan yang relatif. Terorisme memandang kejahatan adalah kebaikan begitu pun sebaliknya, tetapi yang perlu diketahui misi terorisme bukanlah hanya sekedar membunuh namun untuk membuat perpecahan kepada bangsa itu sendiri. Dengan menggunakan internet atau media-media sosial, kelompok teroris mampu menciptakan cara memberi dukungan fleksibel. Internet dan media-media sosial telah membuat mereka dapat menjangkau kaum muda lebih cepat dalam membuat kaum muda menjadi lebih radikal.


Penulis : Endah Puspita Sari

Editor : Ayu Gurning