( Foto : Saat berlangsung nya acara/Youtube)
Marhaen, Jakarta- Dalam rangka Hari Kartini, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mengadakan Talkshow special Hari Kartini dan Launching Donasi Publik dengan tema “Perempuan dan Pendidikan: Dampak Pandemi terhadap Pendidikan Anak Perempuan Korban Kekerasan” Via Zoom Meeting dan Live Streaming Youtube. Rabu (21/4/21)
Meningkatnya kasus yang terjadi terhadap perempuan dan anak dari korban kekerasan berdampak pada pendidikan korban. LBH APIK sendiri saat menangani proses hukum, tidak jarang menemukan anak-anak yang akses pendidikannya terhambat karena menjadi korban, baik secara langsung ataupun ibunya yang menjadi korban kekerasan.
Melihat data kasus tiga tahun terakhir yang dimiliki LBH APIK, setiap tahun mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2018, ada 837 kasus, pada tahun 2019 sebanyak 794 kasus, dan pada tahun 2020 sebanyak 1.178 kasus. Tingginya pengaduan pada tahun 2019, kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sebanyak 249 kasus dan pada 2020 mengalami peningkatan sebanyak 418 kasus. Korban yang mengalami kekerasan, tidak hanya menyerang fisik saja, tetapi psikis juga. Dari banyaknya kasus yang terjadi, kepolisian hanya memproses 8 kasus aduan.
Untuk kasus kekerasan seksual pada perempuan dewasa dilaporkan sebanyak 103 kasus pada tahun 2019 dan pada tahun 2020 mengalami peningkatan 60% yaitu sebanyak 160 kasus. Meningkatnya angka kekerasan seksual ini terutama yang mengalami peningkatan adalah kasus pelecehan seksual secara fisik. Selain kasus kekerasan seksual pada perempuan dewasa, banyak kasus kekerasan seksual juga terjadi pada anak. Pada tahun 2019 dilaporkan sebanyak 46 kasus dan mengalami penurunan kasus 25% pada tahun 2020 sebanyak 32 kasus. Dari 32 kasus kekerasan terhadap anak, hanya 11 kasus yang bisa diproses di tingkat persidangan. Melihat banyaknya kasus yang dilaporkan tetapi tidak diproses lebih lanjut menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan seksual masih minim. Padahal instrumen hukum dan mekanisme peradilan terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah cukup mendukung.
Kasus KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) pun ikut mengalami peningkatan di masa pandemi, yang hampir setiap hari terdapat 6 pengaduan ke LBH APIK Jakarta dengan modus bervariasi. Tingginya angka KBGO terjadi pada tahun 2020 sebanyak 307 kasus dibandingkan tahun 2019 terdapat 42 kasus. Peningkatan tersebut mencapai 98%.
Banyaknya kasus yang terjadi, memiliki dampak besar yang dialami perempuan dan anak korban dalam bidang pendidikan, seperti korban kerap mendapat intimidasi sehingga korban memilih untuk pindah sekolah atau tidak berani melaporkan kasusnya, ketika pelaku kekerasan adalah tenaga pengajar, dikeluarkan dari sekolah karena dianggap siswa yang mencoreng nama baik sekolah, proses hukum yang panjang berdampak pada pendidikan korban, berdampaknya nilai-nilai dan prestasi korban di sekolah karena tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik, tidak berlanjutnya beasiswa yang dimiliki korban (karena membutuhkan waktu untuk pemulihan), dan korban tidak melanjutkan sekolah karena tidak memiliki biaya.
Terkait hal ini, Said selaku Pengacara LBH APIK menjelaskan,
“Biasanya, pelakunya itu baik bapak tiri atau bapak kandungnya, ketika orang tuanya mengalami KDRT atau orangnya langsung mengalami kekerasan seksual dari orang tuanya, sehingga dia memutuskan keluar dari rumahnya dan tidak mempunyai uang untuk melanjutkan pendidikannya, karena yang bekerja hanya bapaknya, sementara ibunya kerjanya hanya domestik dan tidak ada pendapatan untuk sehari-hari.” Jelasnya.
Kalis Mardiasih sebagai Aktivis Gender menuturkan terkait lembaga pendidikan yang belum sepenuhnya melindungi korban,
“Bagaimana lembaga pendidikan yang seharusnya memberikan perlindungan tetapi bukan hanya nama baik kampus saja, dari level SD sampai SMA ternyata ada nama baiknya. Sehingga ada korban kekerasan seksual yang ada di lembaga pendidikan sekolah itu, baik kepala sekolah maupun struktur-struktur lain yang ada di dalam sekolah itu justru tidak memberikan hak kepada korban, tetapi korban malah dikeluarkan begitu saja.” Imbuhnya.
Perempuan korban kekerasan sangat rentan karena sudah di stigma secara moral oleh masyarakat, stigma tersebut berdampak pada self-esteem korban. Kalis juga menambahkan, jika membicarakan akses pendidikan antara perempuan maupun laki-laki, yang banyak mengalami putus sekoalah adalah anak perempuan, secara data Indonesia dan data globalnya.
Penulis : Devi Oktaviana
Editor : Ayu Gurning
0 Comments