Marhaen, Jakarta –
Lembaga Pers Mahasiswa Aspirasi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta mengadakan webinar dengan tema “Bencana Melanda : Di Mana
Peran Jurnalisme?” via zoom meeting pada Senin (24/05/2021).
Indonesia dikenal sebagai “Universitas Bencana” dengan kerap terjadinya Bencana alam. Seperti banjir bandang yang terjadi di Pulau
Nusa Tenggara dan peristiwa tanah bergerak yang terjadi di Sukabumi beberapa
waktu lalu. Rentetan fenomena alam yang
memilukan itu menimbulkan kerugian material dan banyak memakan korban jiwa.
Lalu, mengapa bencana alam sering terjadi di Indonesia? Dr.
Ir. Agus Wibowo , M.Sc. selaku Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Penanggulangan Bencana BNPB. Agus menjelaskan “Di Indonesia banyak terjadi
bencana alam karena secara geografis Indonesia berada diantara tiga lempeng tektonik
serta memiliki banyak cincin api atau gunung berapi yang dimana itu menjadikan
negara ini sering terjadi bencana alam”.
Saat bencana alam terjadi, media – media akan berdatangan
untuk meliput dan memberitakan kejadian tersebut. Disinilah peran jurnalisme hadir.
Namun, sering kali pemberitaan yang dibuat salah kaprah atau keluar dari
koridor sehingga mengesampingkan simpati dan empati buat para korban.
Ahmad Arif selaku Jurnalis senior Kompas yang membidangi
pemberitaan tentang bencana alam menyampaikan Autokritik dan Saran Pembenahan untuk peliputan bencana. Arif
menyampaikan ada tiga “masalah” dalam peliputan bencana alam di Indonesia diantaranya,
Pengetahuan – Keterampilan, Masalah Etik & Ekonomi – Politik.
“Sering kita jumpai pemberitaan tentang bencana dan krisis
di Indonesia masih salah kaprah, banyak pertanyaan yang diajukan oleh si
wartawan tidak penting dan kurang manusiawi buat para korban. Seperti
menanyakan bagaimana rasanya kehilangan harta dan sanak saudara, atau firasat
apa yang bapak/ibu rasakan sebelum bencana alam ini terjadi. Saya rasa pertanyaan
– pertanyaan tersebut justru membuat para korban semakin trauma.” tutur Arif.
Penulis buku Jurnalisme bencana,
bencana jurnalisme: kesaksian dari tanah bencana, Ini juga
memberikan pemberitaan kasus cave rescue di Thailand sebagai contoh
bagaimana seharusnya berita tentang bencana atau krisis itu dibuat. Dimana nama
anak tidak perlu diungkap, tetangga tidak perlu diwawancara, tidak ada dukun
atau politisi yang dimintai komentar, serta keluarga tidak ditanya “Bagaimana Perasaan
Anda?” dan “Sebelumnya Ada Firasat Apa?”.
Arif menambahkan peran jurnalisme dalam bencana yang
terpenting adalah bagaimana sosialisasi pencegahan dan penanggulangannya kepada
masyarakat serta sebagai agen trauma healing untuk para korban
dengan pemberitaan positif pasca terjadinya bencana alam.
“Harapan saya ke depan, pemberitaan yang dibuat mengenai
bencana alam ini agar rekan-rekan jurnalis membuat berita yang positif seperti
berapa korban yang selamat, atau kompensasi serta bantuan yang diterima untuk
para korban seperti yang terjadi di Jepang selepas gempa bumi. Jurnalis mampu
berperan untuk mengendalikan kepanikan pasca gempa tersebut terjadi dengan hal –
hal yang diberitakan. Saya rasa hal itu patut dicontoh oleh jurnalisme di
Indonesia.” tutupnya.
Penulis : Dika Maulana
Editor : Ayu Gurning
0 Comments