(Foto : Berlangsung nya webinar Pendidikan Jurnalistik Mahasiswa ke - 36 LPM Aspirasi/Dika)

Marhaen, Jakarta –  Lembaga Pers Mahasiswa  Aspirasi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta mengadakan webinar dengan tema “Bencana Melanda : Di Mana Peran Jurnalisme?” via zoom meeting pada Senin (24/05/2021).

Indonesia dikenal sebagai “Universitas Bencana”  dengan kerap terjadinya Bencana alam.  Seperti banjir bandang yang terjadi di Pulau Nusa Tenggara dan peristiwa tanah bergerak yang terjadi di Sukabumi beberapa waktu lalu. Rentetan fenomena alam yang memilukan itu menimbulkan kerugian material dan banyak memakan korban jiwa.

Lalu, mengapa bencana alam sering terjadi di Indonesia? Dr. Ir. Agus Wibowo , M.Sc. selaku Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Penanggulangan Bencana BNPB. Agus  menjelaskan “Di Indonesia banyak terjadi bencana alam karena secara geografis Indonesia berada diantara tiga lempeng tektonik serta memiliki banyak cincin api atau gunung berapi yang dimana itu menjadikan negara ini sering terjadi bencana alam”.

Saat bencana alam terjadi, media – media akan berdatangan untuk meliput dan memberitakan kejadian tersebut. Disinilah peran jurnalisme hadir. Namun, sering kali pemberitaan yang dibuat salah kaprah atau keluar dari koridor sehingga mengesampingkan simpati dan empati buat para korban.

Ahmad Arif selaku Jurnalis senior Kompas yang membidangi pemberitaan tentang bencana alam menyampaikan Autokritik dan  Saran Pembenahan untuk peliputan bencana. Arif menyampaikan ada tiga “masalah” dalam peliputan bencana alam di Indonesia diantaranya, Pengetahuan – Keterampilan, Masalah Etik & Ekonomi – Politik.

“Sering kita jumpai pemberitaan tentang bencana dan krisis di Indonesia masih salah kaprah, banyak pertanyaan yang diajukan oleh si wartawan tidak penting dan kurang manusiawi buat para korban. Seperti menanyakan bagaimana rasanya kehilangan harta dan sanak saudara, atau firasat apa yang bapak/ibu rasakan sebelum bencana alam ini terjadi. Saya rasa pertanyaan – pertanyaan tersebut justru membuat para korban semakin trauma.” tutur Arif.



(Foto : Penyampaian materi oleh  narasumber/Dika)

Penulis buku Jurnalisme bencana, bencana jurnalisme: kesaksian dari tanah bencana, Ini juga memberikan pemberitaan kasus cave rescue di Thailand sebagai contoh bagaimana seharusnya berita tentang bencana atau krisis itu dibuat. Dimana nama anak tidak perlu diungkap, tetangga tidak perlu diwawancara, tidak ada dukun atau politisi yang dimintai komentar, serta  keluarga tidak ditanya “Bagaimana Perasaan Anda?” dan “Sebelumnya Ada Firasat Apa?”.

Arif menambahkan peran jurnalisme dalam bencana yang terpenting adalah bagaimana sosialisasi pencegahan dan penanggulangannya kepada masyarakat serta sebagai agen trauma healing untuk para korban dengan pemberitaan positif pasca terjadinya bencana alam.

“Harapan saya ke depan, pemberitaan yang dibuat mengenai bencana alam ini agar rekan-rekan jurnalis membuat berita yang positif seperti berapa korban yang selamat, atau kompensasi serta bantuan yang diterima untuk para korban seperti yang terjadi di Jepang selepas gempa bumi. Jurnalis mampu berperan untuk mengendalikan kepanikan pasca gempa tersebut terjadi dengan hal – hal yang diberitakan. Saya rasa hal itu patut dicontoh oleh jurnalisme di Indonesia.” tutupnya.


Penulis : Dika Maulana

Editor : Ayu Gurning