(Foto: korban penggusuran pancoran/liputan6.com)

Marhaen, Jakarta -  Penertiban dan penggusuran tanah secara paksa semakin menggila di Jakarta. Hal tersebut menjadi concern bagi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Bergerak, untuk mengadakan diskusi publik secara online, dengan mengusung tema “Pelanggaran HAM Pergub 207/2016: Masyarakat Bukan Sekedar Angka dari Ongkos Pembangunan” Via Zoom. Senin (21/02/2022).

Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta nomor 207/2016  berisi tentang Penertiban Pemakaian/Penguasaan Tanah Tanpa Izin yang Berhak, dianggap dalam penerapannya melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan melegalkan penggusuran. Pergub yang dibuat oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih dipakai oleh Anies Baswedan selaku Gubernur saat ini.

Perluasan lahan baru dengan landasan Pergub yang alih-alih ingin mengembalikan ruang terbuka hijau di Jakarta, namun daerah yang digusur ternyata malah dijadikan sebagai kawasan baru bagi para pengembang atau malah hanya jadi lahan sengketa seperti yang terjadi di Gang Buntu, Pancoran, beberapa waktu yang lalu.

Pemerintah Daerah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini, dinilai masih abai dan belum  serius dalam menangani kasus sengketa dan konflik lahan. Padahal kehadirannya ditunggu untuk menengahi masalah krusial seperti penggusuran yang dianggap tidak manusiawi dan malah akan menambah masalah baru seperti pengangguran, kemiskinan dan angka kriminalitas yang semakin tinggi nantinya.

Banyak pihak, terutama warga yang menjadi korban penggusuran, meminta  merevisi atau bahkan  menghapus Pergub DKI Jakarta Nomor 207/2016 karena dianggap banyak terjadi tindak pelanggaran HAM seperti  tidak adanya musyawarah kepada penduduk setempat, represif dari aparat kepada warga yang menolak untuk rumahnya dihancurkan, serta pembongkaran bangunan yang dilakukan secara diam-diam  di malam hari.

Elisa Sutanudjaja,  salah satu narasumber dari anggota Ruang Jakarta (RUJAK), menjelaskan bahwa Pergub DKI Jakarta Nomor 207/2016 hanya berlandaskan Undang-undang Agraria tidak melihat atau mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) pasal 28H.

(Foto: saat acara berlangsung/Fadli)

“Seharusnya Pergub tersebut dievaluasi dengan melandasi UUD 45 pasal 28H dan Undang-Undang No 11 tahun 2005 tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di mana setiap warga berhak atas pembelaan tempat tinggalnya. Sehingga Pemerintah tidak bisa melakukan penggusuran secara paksa tanpa menjamin adanya pengganti kerugian berupa uang ataupun hunian yang layak," ujarnya.

Dilihat dari beberapa penggusuran yang terjadi, pemerintah selalu melakukannya dengan cara paksaan yang tidak berpihak terhadap masyarakat setempat dan tidak melihat sejarah tempat tersebut. Ganti rugi berupa uang juga bukan menjadi solusi tunggal. Dalam banyak kasus, tidak banyak yang melakukan ganti rugi berupa pemindahan tempat tinggal untuk masyarakat yang menjadi korban.

Pemerintah bertanggung jawab atas ganti rugi berupa hunian layak bagi masyarakat yang menjadi korban penggusuran. Membuat tempat tinggal sebagai solusi juga harus ada konsultasi kepada warga, tidak langsung memindahkan secara sepihak. Dalam hal ini juga harus adanya pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya serta kriteria kelayakan tempat relokasi," tegas Elisa

Perlu adanya solusi yang mutakhir untuk menyelesaikan masalah  konflik lahan. Pergub DKI Jakarta Nomor 207/2016, dinilai kurang keberpihakan terhadap warga yang terkena dampak penggusuran. Sebelum membuat produk hukum, Pemerintah seharusnya mengajak para ahli, warga sekitar, serta pengamat dalam membuat kebijakan.

Prosedur penggusuran juga belum sesuai dengan standar HAM dan cenderung dilakukan secara paksa, padahal kita  tahu bahwa penggusuran secara paksa termasuk ke dalam pelanggaran HAM. Maka dari itu, harus ada Undang-Undang yang bisa membuat warga untuk mau digusur meskipun dengan berat hati  dan memuat masalah ganti rugi, tidak hanya mengenai prosedur penggusurannya saja.

Di akhir diskusi, Andrew Matthew selaku moderator dari pihak UPNVJ bergerak, menarik kesimpulan bahwa, masyarakat dan berbagai pihak menuntut untuk pemberhentian berlakunya Pergub DKI Jakarta Nomor 207/2016 yang dalam penerapannya melanggar HAM bertentangan dengan hak memiliki tempat tinggal dan penghidupan yang layak, apalagi  hal tersebut juga berlawanan  dengan UU TNI karena berpotensi mengerahkan personil TNI dalam eksekusinya.


Penulis : Fadli Muhammad Fadilah

Editor   : Dika Maulana