(Foto: ilustrasi perempuan yang dikekang/andriya.com)

Marhaen, Jakarta – Kasus Kekerasan Seksual yang kerap terjadi di berbagai tempat menjadi perhatian khusus Komite International Women’s Day Yogyakarta, untuk mengadakan diskusi publik dengan tema, “Masih Adakah Ruang Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual?” via Google Meet. Rabu (02/02/2022).

Tiap tahunnya angka kekerasan seksual terus meningkat. Ruang-ruang yang kita yakini aman, seperti lingkungan pendidikan, kegamaan, hingga tempat kerja faktanya malah memberikan trauma mendalam bagi korban. Dan pihak paling sering dirugikan adalah perempuan.

Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan mencatat sebanyak 299.111 kasus kekerasan seksual terjadi pada perempuan di tahun 2020. Regulasi dan penanganan terhadap kasus kekerasan seksual RUU PKS pun tidak kunjung disahkan, tetapi malah dipreteli.

“Jumlah korban kekerasan seksual semakin miris tiap tahunnya. Kasus kekerasan seksual ini juga malah banyak terjadi di lingkungan pendidikan, kegamaan, dan tempat kerja,” ujar Ravieka Fathya selaku moderator.

Demi nama baik kampus, penanganan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual menjadi nihil. Menurut hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi dari 77% kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus, hanya 14% yang melakukan pengaduan dan pelaporan.

Para korban umumnya adalah mahasiswa yang merasa memiliki kondisi tidak berdaya dalam relasi kuasa dengan dosen, dekan, ataupun rektor karena memiliki otoritas keilmuan dan nama besar di kampus, acap kali menjadi penyebab kekerasan seksual terjadi.

Ketua Srikandi UGM, Tathya Adjani Dhavantari, menyebut instansi pendidikan belum menjadi ruang aman bagi korban kekerasan seksual, yang mana masih membiarkan pelaku melenggang bebas tanpa memberikan sikap dan saksi yang tegas karena ingin menjaga nama baik fakultas atau instansi.

Tathya juga mengatakan kejadian seperti ini pernah dialami oleh salah satu anggota Srikandi. Dengan langkah tegas ia melaporkan pelaku kekerasan seksual ke fakultas terkait. Namun, bukannya melakukan penanganan lebih lanjut, pihak fakultas malah mempertanyakan bukti dan dianggap cerita dari korban tidak valid.

Hal seperti ini yang menciptakan atmosfer tidak nyaman bagi mahasiswa. Lingkungan yang seharusnya dapat menciptakan rasa aman malah menjadi tempat untuk melanggengkan kekerasan seksual terjadi. Akibatnya banyak mahasiswa yang dibayang-bayangi oleh trauma selama berada di lingkungan kampus.

“Seharusnya kampus dapat mengambil langkah tegas dan memberikan sanksi, bukannya membiarkan pelaku melenggang bebas sehingga korban malah menyaksikan pelaku dapat menjalani kehidupannya dengan normal, sedangkan korban dibayang-bayangi oleh trauma semur hidupnya,” ucapnya.

Terkait penanganan kekerasan seksual pun, ia menambahkan bahwa,

“Pemahaman holistik tentang penanganan kekerasan seksual yang kurang, juga menjadi penyebabnya. Di mana seharusnya kita bisa membela kelompok-kelompok minoritas dan menghormati satu sama lain sebagai manusia”. tambahnya.

Tidak hanya di lingkungan kampus, tempat kerja pun menjadi sering kali tidak luput dari kasus kekerasan seksual. Bahkan, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Never Okay Project tahun 2020, pelecehan seksual saat Work From Home masih kerap terjadi, sekitar lebih dari 90% responden mengakui pernah mengalami pelecehan seksual ruang online.

Pelecehan seksual yang terjadi seperti candaan atau lelucon yang berbau seksual, mendapat kirimin berupa foto, video, audio e-mail, atau stiker Whatsapp yang mengandung unsur seksual, hingga mendapat komentar negatif tentang tubuh seseorang yang acap kali terjadi tanpa persetujuan dari korban.

(Foto: saat berlangsungnya acara/Thomas)

"Yang pertama itu mereka menerima candaan atau lelecon yang berbau seksual, dikirimkan foto, video, pesan, audio, dan stiker Whatsapp yang seksual, hingga menerima hinaan atau kritikan negatif terhadap tubuh seseorang,” kata Fiana Dwiyanti selaku Lead Social Change Never Okay Project.

Fiana juga menambahkan pelecahan seksual saat WFH pun bisa berdampak pada perusahaan. Korban yang menjadi pelecehan seksual menjadi tidak percaya diri, sering menghindari meeting secara online, muncul hasrat untuk keluar dari tempat kerja hingga berkeinginan untuk bunuh diri.

Relasi kuasa antara atasan dan bawahan, minimnya perlindungan hukum bagi pekerja di Indonesia, kurangnya dukungan dari HRD atau manajemen, ketakutan yang belebih akan mempengaruhi karir, dan kurangnya edukasi terhadap pelecahan seksual berbasis online menjadi alasan korban tidak melapor dan akibatnya angka korban pelecehan seksual di kalangan pekerja makin tinggi.


Penulis : Thomas Budi

Editor : Dika Maulana