Penulis : Tim Penulis Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun terbit : Januari, 2011
Tebal buku : 99 halaman
ISBN : 13-978-99-91-0307-9
Natsir, Politik Santun Di Antara Dua Rezim, merupakan sebuah buku yang berisikan kisah hidup dan keteladanan dari seorang Mohammad Natsir. Di dalam buku ini kalian akan mempelajari kisah hidup Mohammad Natsir sejak kecil dalam sejarah politik indonesia, termasuk ketika beliau menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Penerangan di era pemerintahan Sukarno.
Mohammad Natsir dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 1908 M, di kampung Jembatan, Berukir Alahan Panjang yang termasuk wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatra Barat. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado sebagai seorang juru tulis Sedangkan Ibunya bernama Khadijah sebagai keturunan Chaniago.
Mohammad Natsir merupakan seorang tokoh bangsa yang konsisten bersama koleganya dari Partai Masyumi menapaki jalur demokrasi di Negara ini. Dengan pembawaan yang santun, sederhana dan toleran, Natsir dicintai banyak orang. Baginya, pluralisme bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Lahir sebagai seorang anak seorang juru tulis, Natsir kecil terpaksa meredam rasa kecewa karena tak bisa masuk sekolah. Sekolah Belanda Holland Inlander School (HIS) Padang hanya menerima anak pegawai negeri dan saudagar kaya. Walaupun demikian, ia tidak berputus asa dan tetap belajar. Ia belajar secara sembunyi-sembunyi di sekolah Ongko Loro di Maninjau.
Jika inspektur sekolah datang, Natsir dikirim pulang oleh guru kelas. Setelah inspektur pergi, baru ia kembali belajar. Nasib baik membuatnya diterima di kelas V HIS. Terbayar sudah sakit hatinya ketika kecil. Sekolah yang dulu menolaknya, sekarang mau menerimanya dengan tangan terbuka.
Setelah lulus, ia pun berjuang untuk mendapatkan beasiswa ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Tentunya Natsir yang sudah terbiasa belajar keras pun lulus. Natsir mulai memahami dampak dari penjajahan justru karena mendapat pendidikan di sekolah Belanda. Ia pun mulai tertarik pada dunia politik. Hal tersebut dibuktikan dengan bergabungnya ia dalam Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung yang didirikan oleh H Agus Salim dan Wiwoho Purbohadijoyo.
Pada Tahun 1930 terjadi polemik masalah politik, Meski beliau tidak sependapat dengan pidato Bung Karno yang disampaikan pada rapat umum Partai Nasional tanggal 17 Oktober 1929 sebelumnya di gedung bioskop Oranje-Casino, Bandung, Natsir memilih menyampaikan pandangannya dengan cara yang santun. Ia memilih berjuang dengan menjadi kontributor di majalah bulanan Pembela Islam yang sudah tersebar ke seluruh tanah air. Saat itu tiras majalah sudah cukup besar yaitu sekitar 2.000 eksemplar. Natsir menerbitkan tulisan-tulisan yang membela Soekarno. Salah satunya adalah karya H Agus Salim yang cukup tajam, “Hakim, Hukum dan Keadilan”.
Keduanya bertemu lagi ketika Soekarno menjadi presiden. Saat itu, Natsir ditunjuk menjadi Menteri Penerangan pada kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri Sultan Syahrir. Ketika namanya diusulkan oleh Syahrir, Soekarno langsung menyetujuinya mengingat kepiawaian Natsir dalam merangkai kata.
Dalam tulisannya, Natsir ingin memberikan batasan yang tegas perihal perjuangan kemerdekaan berdasarkan kebangsaan versus perjuangan kemerdekaan berdasarkan cita-cita Islam. Tulisannya membuat gerah pendukung Sukarno yang tergabung dalam kelompok nasionalisme.
Kecintaan Natsir dan Sukarno terhadap Negara amatlah tinggi sehingga perbedaan yang terjadi di antara mereka tidak ditonjolkan. Bisa dikatakan, tidak ada pidato Presiden pada 17 Agustus 1945 yang tidak melalui persetujuan Natsir selaku Menteri Penerangan. Natsir akan membuat konsepnya lalu mendiskusikannya dengan Sukarno.
Jika konsep sudah disetujui, ia akan segera menggodoknya. Selanjutnya Sukarno akan menyesuikan pidato dengan gayanya tanpa menyimpang dari isi. Bahkan, pernyataan resmi presiden tidak akan disebarkan sebelum ditandatangani oleh Natsir.
Hubungan keduanya terlihat makin membaik ketika Natsir mengajukan Mosi untuk kembali ke negara kesatuan. Natsir juga yang mengusulkan agar Sukarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Namun keakraban itu mulai renggang ketika Sukarno membatalkan pembacaan pidato pada Maulid Nabi.
Puncak keretakan keduanya terjadi ketika Natsir mengembalikan mandatnya sebagai perdana menteri. Dari menteri yang paling dicintai, Natsir kini menjadi sosok yang paling dibenci Bung Karno. Natsir, yang anti komunis ini, mulai kesal karena pemerintahan Sukarno semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal Ini juga yang membuatnya kemudian bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Ketika PRRI dilumpuhkan Pada 29 Mei 1961, Natsir dipenjara tanpa pengadilan dan partai yang dulu Ia pimpin dibekukan. Beliau dipenjara selama masa pemerintahan orde lama, barulah ketika pergantian rezim dari orde lama menuju orde baru Ia dibebaskan. Ketika bebas dari penjara, Natsir sempat berkeinginan untuk membangkitkan kembali partai Masyumi yang dulu pernah Ia pimpin. Namun usahanya ini dihalang-halangi oleh pemerintahan orde baru yang berkuasa saat itu. Hak politik Natsir seakan-akan dikebiri pada saat itu, Kendati demikian tetap membantu pemerintahan orde baru.
Pada 5 Mei 1980 Natsir dan beberapa tokoh bangsa yang prihatin melihat nasib bangsa dan tak tahan dengan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh rezim orde baru, berkumpul dan menandatangani sebuah petisi yang dikenal dengan nama petisi 50. Petisi tersebut berisi gugatan terhadap Presiden Soeharto atas dugaan penyalahgunaan Pancasila.
0 Comments