(Foto: saat berlangsungnya sidang paripurna/langit7.id)

Marhaen, Jakarta- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-undang dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa (12/04/2022).

Kekerasan seksual merupakan perbuatan merendahkan martabat manusia yang bertentangan dengan nilai Ketuhanann dan Kemanusiaan seperti menghina, melecehkan, menyerang tubuh, ataupun organ reproduksi seseorang dan dilakukan secara paksa tanpa memandang status atau hubungan dengan korban, baik melalui kontak fisik maupun nonfisik yang menyebabkan penderitaan fisik atau psikis terhadap korban.

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan Undang-Undang yang hadir untuk memberikan perlindungan terhadap korban sekaligus mencegah kekerasan seksual yang sangat marak terjadi di Indonesia, juga menyediakan landasan hukum untuk menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

Sebelumnya, rancangan Undang-undang ini telah dibicarakan pada tahun 2016 yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, kemudian pada tahun 2017 dimasukkan sebagai RUU inisiatif DPR RI, yang mana pemerintah telah menyelesaikan RUU tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian, tahun 2019 telah dilaksanakan rapat kerja mengenai RUU tersebut namun tidak sampai pada pengambilan keputusan tingkat 1.

Pada tahun 2020, rancangan tersebut masuk ke dalam prolegnas prioritas dan berlanjut hingga tahun 2021, hingga pada Januari 2022 diusulkan sebagai DPR RI melalui badan legislasi dengan judul RUU TPKS, kemudian tanggal 6 April ditandatangani oleh fraksi-fraksi di DPR RI dan pemerintah. Hingga pada akhirnya Rancangan Undang-Undang tersebut diteruskan ke tahap 2 pada sidang paripurna DPR RI dalam pengambilan keputusan untuk disahkan menjadi undang-undang.

RUU TPKS terdiri dari  93 pasal dan 8 bab, terdapat 2 poin penting yang dihapuskan dari usulan awal yaitu pemerkosaan dan aborsi, keputusan itu diambil karena pemerkosaan telah diatur dalam KUHP sedangkan aborsi telah diatur dalam undang-undang kesehatan, namun demikian penghapusan poin aborsi tersebut mendapat sanggahan dari pendamping korban kekerasan seksual, dan mengeluhkan bahwa hingga kini tidak ada layanan prosedur aborsi yang aman bagi korban.

Dalam undang-undang tersebut terdapat sembilan jenis kekerasan seksual yang menjadi poin penting dalam pembahasan yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, serta perbudakan seksual.

Adapun beberapa hal progresif  dari rancangan undang-undang ini yaitu pertama berpihak dan berprespektif kepada korban, kedua bagaimana penegak hukum memiliki payung hukum yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kasus kekerasan seksual, dan ketiga rancangan undang-undang ini merupakan bentuk kehadiran negara untuk memberikan rasa keadilan dan perlindungan kepada korban kekerasan seksual yang selama ini disebut sebagai fenomena gunung es.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini sesuai dengan komitmen politik Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk memberantas tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia serta memberikan keadilan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini pemeriksaan di pengadilan terhadap kekerasan seksual belum memperhatikan hak korban bahkan cendrung menyalahkan korban.


Penulis : Maria Goreti Ceria

Editor : Dika Maulana