Judul : Atas Nama Daun
Produksi : Anatman Pictures
Sutradara : Mahatma Putra
Produser : Anggi Panji Nayantaka dan Dominuque Renee Makalew
Durasi : 70 menit
Genre : Dokumenter
Tanggal Rilis : 24 Maret 2022
Pemain : Aristo Pangaribuan, Angki Purbandono, Petter Danto Dantovski, Dhira Narayana, Fidelis Arie, Sulistriandriatmoko
Film Dokumenter Atas Nama Daun menggambarkan bagaimana pelegalisasian ganja di Indonesia, dan mengupas pandangan mengenai ganja dari berbagai perspektif, yang mana terbagi menjadi lima bagian yaitu Atas Nama Riset, Atas Nama Daun, Atas Nama Hukum, Atas Nama Cinta, dan Atas Nama Hak. Selain itu menampilkan latar belakang pelegalan ganja yang sudah terjadi di Kota Seattle, Amerika Serikat.
Pada bagian pertama yaitu Atas Nama Riset, diawali dengan riset yang dilakukan Aristo Pangaribuan seorang dosen Fakultas Hukum UI yang menempuh pendidikan di University of Washington, Seattle, Amerika Serikat. Hingga kemudian, beliau membuat sebuah karya ilmiah tentang kriminalisasi atas ganja di Indonesia, yang berjudul “Causes and Consequences of The War on Marijuana in Indonesia”, landasan dari riset dan pembuatan film tersebut karena ketertarikannya terhadap Criminalization of Vice.
Pelegalan ganja di Seattle terjadi pada tahun 2012, bahkan sudah lumrah dijual di berbagai supermarket di sana. Setelah sebelumnya pada 1930-an di Amerika Serikat, ganja dianggap sebagai barang ilegal dan bagi pengguna yang menyimpan, memakai, bahkan mengedarkan ditangkap hingga penjara pada saat itu penuh oleh pengguna ganja.
Berbeda dengan Amerika Serikat, hingga saat ini (2022) penangkapan pengguna ganja di Indonesia masih diperlakukan seperti di Amerika tahun 1930-an, karena masih termasuk kedalam narkotika golongan 1 menurut Undang-Undang Narkotika. Sementara, oknum yang ditangkap berasal dari berbagai kalangan dengan latar belakang pekerjaan yang bervariasi, alasan dibalik pemanfaatannya pun juga beragam diantaranya sekedar untuk rekreasi, maupun untuk pengobatan.
Bagian kedua menampilkan perspektif dari orang-orang yang berjuang untuk melegalkan ganja, seperti Angki Purbandono, Dhira Narayana yang tergabung dalam Lingkar Ganja Nusantara (LGN) sebuah komunitas pejuang legalisasi ganja, serta Peter Danto Dantovski ketua yayasan Sativa Nusantara. Bagian ini diberi nama Atas Nama Daun, yang diambil dari salah satu nama karya Angki Purbandono sebagai bentuk protesnya atas kriminalisasi ganja di Indonesia.
Ketiga pembicara tersebut sama-sama pernah mengonsumsi ganja dua diantaranya pernah dijebloskan ke Penjara yaitu Angki dan Peter, dengan alasan yang berbeda, Angki mengonsumsi ganja untuk rekreasi, sedangkan Peter mengonsumsi ganja supaya ia mampu menahan rasa sakit tangannya yang terkena Neuropati Kronis, hingga ia tiga kali dicebloskan ke penjara.
Tak hanya itu, film ini juga mengupas ganja dari perspektif penegak hukum yaitu Badan Narkotika Nasional Kombes Sulistiandiratmoko, beliau berpendapat bahwa penangkapan terhadap pengguna ganja akan tetap dilakukan selama ganja masih golongan 1, dan yang mestinya dibenahi ialah undang-undang mengenai ganja, bagian ini diberi nama Atas Nama Hukum. Narkotika golongan 1 merupakan obat-obatan yang tidak dapat digunakan dengan alasan apapun, sehingga jika kedapatan memiliki, menyimpan, menguasai akan ditangkap dan akan diberi sanksi karena telah melanggar hukum.
Selanjutnya Atas Nama Cinta, menayangkan usaha dari seorang suami mengobati istrinya yang mengidap penyakit syringomyelia yaitu suatu bentuk kelainan sistem saraf otak akibat kista yang tumbuh di tulang belakangnya dan hanya dapat diobati oleh cannabinoid dan hanya dimiliki oleh ganja sehingga ganjalah satu-satunya obat yang mampu untuk menyembuhkan istrinya, namun naasnya Fidelis dijebloskan ke penjara ketika mengajukan surat perizinan untuk membudidaya tanaman ganja agar dapat mengobati istrinya hingga sembuh dan pada akhirnya Yuni istri Fidelis meninggal dunia ketika Fidelis masih dipenjara, kondisi istri Fidelis Menurun drastis semenjak tidak mengonsumsi ganja.
Lalu pada bagian terakhir, yaitu Atas Nama Hak menghadirkan Dwi dan anaknya yang mengidap penyakit lumpuh otak (cerebral palsy) disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal, dengan gejalanya yaitu kejang-kejang, ketika kejang sel-sel otak dari pengidapnya ada yang mati, dengan menggunakan ganja dinilai mampu mengurangi kejang-kejang dari penderita lumpuh otak ini, Dewi kemudian membawa anaknya musa untuk berobat ke Australia ketika ganja dilegalisasikan disana, namun pada akhirnya Musa meninggal dunia.
Namun perjuangan Dwi tidak sampai disitu, meskipun Musa anaknya telah meninggal dunia, Dwi tetap melanjutkan perjuangannya untuk teman-teman Musa yang juga mengidap penyakit cerebral palsy, lalu Kemudian pada tahun 2020 Dwi dan teman-temannya menuntut Mahkamah Konstitusi melegalkan ganja medis untuk pengobatan anak-anak mereka dan masih berproses hingga sekarang.
Kelebihan dari film ini ialah bagaimana ia menyuguhkan berbagai perspektif mengenai ganja, dan apa saja manfaat ganja, selain rekreasi yaitu untuk kesehatan dimana ia juga menghadirkan narasumber yang cukup kompeten dalam penggunaan ganja untuk kesehatan, yang menjadi bukti bahwa ganja memang benar-benar bermanfaat untuk kesehatan.
Sedangkan, kekurangannya ialah mereka tidak menghadirkan seseorang dari institusi pembuat undang-undang untuk menyampaikan bagaimana perspektif mereka mengenai Undang-Undang Narkotika, dimana ganja dimasukkan sebagai golongan 1, padahal ganja sangat dibutuhkan oleh medis seperti untuk orang yang mengidap penyakit cerebral plasy, syringomyelia dan lainnya, yang jumlahnya tak sedikit di Indonesia.
Penulis : Maria Goreti Ceria
Editor : Devi Oktaviana
0 Comments