Kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, kejadian tersebut disebabkan oleh krisis ekonomi yang sangat buruk di Indonesia dan etnis Tionghoa dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis moneter pada saat itu, hingga masyarakat pribumi berpandangan bahwa ketika etnis Tionghoa tidak ada di Indonesia maka perekonomian Indonesia akan kembali pulih.
Peristiwa tersebut merupakan masa yang kelam bagi rakyat etnis Tionghoa di Indonesia. Rumah mereka, dibakar, dihancurkan hingga perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dan bahkan dibunuh, perkosaan yang keji tanpa pandang bulu, para pelaku melakukannya secara membabi buta sehingga menimbulkan trauma yang amat sangat mendalam bagi korban, kerusuhan ini menjadi kasus pelanggaran HAM terbesar di sepanjang sejarah Indonesia, namun hingga kini keadilan belum sepenuhnya diperoleh korban.
Dilansir dari voaindonesia.com, Tim relawan mencatat jumlah korban dari 12 Mei hingga 2 Juni 1998 mencapai 152 orang dengan rincian perkosaan 103 orang, perkosaan dan penganiayaan 26 orang, perkosaan dan pembakaran 9 orang, dan pelecehan seksual 14 orang serta 20 orang meninggal dunia.
Napak tilas 24 tahun perkosaan 1998 mengingatkan kita kembali akan peristiwa kelam yang pernah terjadi di Indonesia yaitu perkosaan massal, Sabiyawanti selaku perwakilan dari Komnas Perempuan menyampaikan bahwa kegiatan dibuat untuk mengingat kembali peristiwa kelam 1998.
“Kegiatan ini merupakan sebuah upaya untuk merawat ingatan, memanggil kembali ingatan kita agar supaya itu tidak menjadi sesuatu yang dilupakan dan tidak diingkari keberadaannya karena korbannya ada tapi sampai saat ini disangkal dan ingkari keberadaannya meskipun kita juga tetap mengupayakan penyelesaiannya melalui hukum,” ucap Sabiyawanti
Melalui kegiatan ini diharapkan agar korban memperoleh haknya terutama bagi korban yang kian menua, Sabiyawanti menambahkan bahwa, “Kalau kita tidak melakukan kegiatan merawat ingatan seperti ini memutar kembali ingatan kita, maka ini akan terhenti terhadap korban yang makin menua penyintas semakin menua itu tidak akan mendapat haknya,” tambahnya.
Dalam kejadian kelam tersebut, pemerintah tidak memberikan klarifikasi terkait keberadaan kasusnya. Pemerintah seakan-akan tidak mengakui adanya kasus tersebut oleh sebab itu penyelesaiannya akan sulit dilakukan, sejauh ini Komnas HAM telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kasus Pelanggaran HAM 1998 seperti mengajukan berkas ke Jaksa Agung, hingga menemui Presiden Joko Widodo untuk membicarakan terkait kasus tersebut, dan kemudian pada akhir tahun 2021 lalu Jokowi menyampaikan akan mengambil langkah baru dalam penyelesaiannya, akan tetapi hingga saat ini pernyataan Jokowi tersebut belum ada titik terangnya.
Sabiyawanti menyatakan bahwa tidak adanya klarifikasi dari pemerintah terkait keberadaan kasus ini menjadi hambatan dalam penyelesaiannya,
“ Harusnya pemerintah mengakui, melakukan klarifikasi dulu bahwa itu memang ada, baru ke selangkah selanjutnya. Selama belum ada, itu akan menjadi sulit penyelesaiannya,” imbuh Sabiyawanti.
Komnas Perempuan berkomitmen untuk tetap berjuang dan memperbesar pergerakan yang berfokus pada anak muda yang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perjuangan keadilan ini, sehingga tragedi ini akan tetap diingat dalam memori kita terlebih khususnya anak muda yang kemudian akan berjuang supaya korbannya memperoleh keadilan
Serta mengharapkan agar tragedi ini menjadi bagian dari sejarah yang tak terlupakan, apakah mengintegrasikannya melalui pelajaran sejarah ataupun memuat dengan cara apapun intinya bahwa tragedi ini akan tetap diingat oleh masyarakat luas bahwa kejadian perkosaan massal ini pernah ada dan benar terjadi di Indonesia.
Penulis : Maria Goreti Ceria
Editor : Devi Oktaviana
0 Comments