(Foto: ilustrasi ganja medis/rumahcemara.or.id)

Marhaen, Jakarta - Kontroversi legalisasi ganja medis di Indonesia sedang menjadi perbincangan publik. Banyaknya fakta yang menunjukan bahwa ganja dapat digunakan untuk keperluan medis, tidak membuat pemerintah mengambil langkah cepat, ketidakterbukaan akses akan riset menjadi tembok besar bagi pasien yang membutuhkan ganja.

Cerebral palsy merupakan penyakit yang menyebabkan gangguan pada otot, yang mempengaruhi gerak, dan kordinasi tubuh. Gejala yang dialami penyakit ini ialah refleks berlebihan, anggota badan yang lemas atau kaku, hingga gerakan yang tak terkendali. 

Dwi, Santi, dan Nafia merupakan orang tua dari anak penderita celebral palsy yang membutuhkan ganja untuk terapi,  untuk melakukan terapi tersebut, mereka terpaksa membawa anaknya untuk berobat di luar negeri, karena menurut mereka hal tersebut memberikan manfaat yang signifikan. 

Pandangan Medis Mengenai Ganja

Silvia Retnosari, seorang Dokter Spesialis Anak menjelaskan bahwa cerebral palsy disebabkan oleh kerusakan jaringan otak.

Cerebral palsy merupakan keadaan akibat kerusakan jaringan otak pada usia dini, disaat otak dalam proses perkembangan, di mana kelainan yang terjadi akan menetap, namun tidak progresif, kelainannya berupa gangguan gerakan motorik, postur tubuh, dan tonus otot,” jelas dr Silvya di kanal YouTube RS Premier Jakarta.

Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh National Institutes of Health (NIH) pada 2007 menyatakan bahwa, pengalaman klinis dan penelitian pada hewan menunjukkan manfaat ganja medis pada gejala cerebral palsy. Zat aktif dalam ganja membantu mengendalikan kejang parsial yang sering menjadi gejala pada orang dengan spastik quadriplegia. Spastik quadriplegia adalah bentuk dari cerebral palsy yang paling parah, memengaruhi keempat anggota gerak, wajah, hingga badan. Studi lain yang diterbitkan pada 2014 menunjukkan bahwa ganja efektif dalam mengurangi kejang otot.

Pada 19 November 2020 Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafia Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materil terkait UU Narkotika dengan mengusung dua pasal gugatan yaitu pertama, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 6 ayat (1) huruf a yang memuat bahwa narkotika golongan I yang hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan tidak dapat digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Kedua Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dengan alasan bahwa, kedua pasal tersebut telah menghilangkan hak para pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945. 

Tak hanya mereka, beberapa aktivis legalisasi ganja juga ikut berjuang melegalkan ganja di Indonesia yaitu komunitas Lingkar Ganja Indonesia (LGN), yang giat melakukan kegiatan untuk melegalkan ganja seperti membuat buku terkait kandungan yang terdapat dalam ganja. Mereka juga gencar melakukan edukasi terkait ganja melalui film, video ataupun podcast, namun perjuangan mereke belum mendapat respon baik oleh pemerintah, bahkan untuk riset pun tidak diberikan perizinan.

Ruang Riset Ganja

(Foto: saat berlangsung sidang putusan MK/ antaranews.com)

Setelah lebih dari sepuluh tahun perjuangan legalisasi ganja, akhirnya  perjuangan mereka mencapai titik terang awal, ketika anggota DPR dan wakil presiden mulai membicarakan dan mempertimbangkan riset mengenai ganja untuk medis di Indonesia, setelah viralnya Santi yang melakukan aksi turun ke jalan saat Car Free Day bersama anaknya dengan membawa poster yang bertuliskan “Tolong anakku butuh ganja medis” pada 26 Juni 2022. 

Pada Rabu, 20 Juli 2022 Mahkamah Konstitusi menolak gugatan legalisasi ganja untuk keperluan medis yang diajukan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafia Murhayanti, dan komunitas penggiat, serta lembaga bantuan hukum masyarakat dalam agenda Sidang Pembacaan Putusan Uji Materil UU No. 35/2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 Perkara No. 106/PUU-XVIII.

Dalam pembacaan hasil putusan, MK secara tegas menolak gugatan dari pemohon dengan alasan, narkotika golongan I merupakan jenis narkotika yang memiliki tingkat bahaya, dan ketergantungan yang tinggi serta belum adanya bukti yang komperhensif mengenai hasil penelitian dan kajian ilmiah.

MK berpendapat bahwa, perlu dilakukan penelitian dan riset berkaitan dengan kemungkinan pemanfaat jenis narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan atau terapi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan swasta atas izin dari kementerian kesehatan, kemudian hasil putusan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat Undang-undang.

“Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo, berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis narkotika golongan I untuk keperluan kesehatan dan atau terapi,” ucap Hakim Konstitusi, Suhartoyo dalam sidang yang disiarkan akun YouTube MK.

Menanggapi hasil putusan tersebut Santi dan pemohon lainnya mendesak pemerintah untuk segera melakukan riset dan memberikan solusi jangka pendek untuk para orang tua dari anak penderita cerebral palsy.

 “Sebetulnya solusi untuk penelitian jadi obat kan waktunya enggak sebentar ya, sedangkan orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus berpacu dengan waktu. Sambil menunggu riset itu, pemerintah punya solusi lain buat kita, jalan keluar untuk kita untuk terapi anak-anak kita,” ujar Santi.



Penulis : Maria Goreti Ceria

Editor : Thomas Budi Novianto