(Foto: ilustrasi perjuangan hak atas tanah adat/jaring.id)

Marhaen, Jakarta - Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah menggelar konferensi pers secara hybrid terkait Perkembangan Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia yang dihadiri oleh mitra BRWA, jurnalis dan masyarakat luas, terkait adanya peningkatan tanah adat yang telah teregistrasi serta sampai sekarang masih terdapat kekosongan hukum untuk masyarakat adat. Selasa (09/08/2022).

Badan Registrasi Wilayah Adat, merupakan lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada registrasi wilayah adat Indonesia, yang mana pada penyelesaian sengketa adat. Dilansir dari komnasham.go.id, terdapat tiga masalah utama masyarakat adat yaitu konflik agraria, pengakuan masyarakat adat oleh negara dan perlindungan bagi pembela HAM (human rights defender). Salah satu pengakuan yang menjadi perhatian besar ialah pengakuan hak atas tanah ulayat masyarakat adat oleh negara.

Dalam konferensi kali ini, BRWA menyampaikan adanya perkembangan status pengakuan wilayah adat yang mana kini telah terdaftar 20,7 juta hektar telah teregistrasi di BRWA dengan melalui beberapa tahapan. Sejauh ini BRWA telah mensertifikasi sebanyak 634.216 ha di 47 peta, verifikasi 3.005.158 ha di 144 , kemudian yang telah diregistrasi 17 juta ha di 923 peta dan yang tercatat 74.262 ha di 5 peta lalu untuk status pengakuan yang sudah diakui oleh negara ialah 7 juta ha dengan jumlah peta 189 yang sudah diatur dalam kebijakan daerah sebanyak 15.612. 162 ha dengan jumlah peta 688 peta dan belum mendapat kebijakan seluas 2.079.992 ha di 242 peta.

Selanjutnya, ialah dari hutan adat yaitu masih ada potensi sebanyak 16.946.464 ha di 876 peta  Lalu, dari bagian regionnya yang paling banyak melakukan sertifikasi yaitu Sulawesi dan yang masih minim di Jawa, Bali, Nusa tenggara, dan Sumatera lalu yang paling banyak penetapan ialah Sumatera sebanyak 74.

“Dalam lingkup nasional total keseluruhan tanah adat yang telah teregistrasi ke BRWA ialah 1.119 dengan luas 20,7 juta hektar yang tersebar di 29 provinsi, 142 kabupaten/kota, dimana proses registrasinya melalui empat tahap yaitu  sertifikasi, verifikasi, registrasi hingga pada akhirnya tercatat di BRWA,” jelas Arya dari Divisi Data dan Informasi BRWA.

Kasmito Widodo selaku kepala BRWA menyampaikan adanya kenaikan dari rilis sebelumnya dengan seluas 3,1 hektar,

“Dari rilis sebelumnya per Februari 2022 yaitu ada 17, 6 juta ha, maka dari itu dapat diketahui ada kenaikan seluas 3,1 ha proses registrasi dengan daerah yang paling banyak berkontribusi yaitu Kalimantan Utara. Sejauh ini baru ada 15 % dari 100 % peta wilayah adat  yang sudah tercatat di BRWA belum mendapat pengakuan dari pemerintah daerah,” ucapnya.

Adapun tantangan yang dihadapi oleh masyarakat adat dan pendamping yaitu terhadap proses-proses pembentukan kebijakan daerah sangat rumit berupa biaya yang cukup tinggi sekitar 700 hingga 1 milyar pertahun maupun waktu yang dibutuhkan hanya satu tahun anggaran serta masih sedikitnya kepala daerah yang berkomitmen untuk menjadikan ini sebagai prioritas dalam pengakuan masyarakat adat berupa aturan turunan yang dibuat oleh kepala daerah serta seharusnya mengambil peranan penting dalam penetapan pengakuan tanah adat ini.

(Foto: saat berlangsungnya acara/Maria)

BRWA menilai Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum menjalankan tugasnya terkait pendaftaran tanah ulayat yang mana juga menjadi perhatian masyarakat luas. Kasmito mengatakan bahwa semestinya menjalankan tugasnya dengan melakukan pendaftaran tanah ulayat masyarakat adat.

“Kami telah beberapa kali diskusi dengan ATR BPN bagaimana kementerian ATR BPN ini menjalankan tanggung jawabnya untuk melakukan proses pendaftaran tanah ulayat namun sampai hari ini proses tersebut tidak berjalan nah walaupun berjalan mereka membatasi diri pada area didalam dan diluar kawasan hutan padahal wilayah adat itu tidak dapat dipisah di dalam kawasan dan diluar kawasan hutan karena ini satu kesatuan ada yang memang dalam kawasan hutan dan ada yang diluar,” imbuhnya.

Sehingga, dalam hal ini, perlu adanya komitmen besar dari pemerintah daerah untuk menyelenggarakan penetapan pengakuan status tanah adat, serta perlu adanya dukungan dari pihak lain karena ada beberapa hal yang mesti dibutuhkan dari pemerintah daerah sendiri.

“Karena belum ada undang-undang masyarakat adat yang sekarang masih dalam proses pembuatan maka masyarakat adat masuk ke dalam kerangka hukum daerah melalui kebijakan daerah ataupun kebijakan bupati atau kebijakan lainnya untuk mengatur masyarakat adat proses ini memerlukan dukungan dari banyak pihak karena selama  ini berdasarkan pengalaman kami dari segi kesiapan data, kesiapan kelembagaan, pemerintah di daerah misalkan masyarakat hukum adat dan anggaran yang di pemerintah daerah itu memerlukan kami bisa mengatakan perlu komitmen yang besar dari pemerintah daerah untuk menjalankan itu,” ucapnya.

Pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia menjadi pertanyaan besar. Pemerintah belum sepenuhnya memenuhi hak-hak masyarakat adat dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat, dimana dapat dijadikan sebagai landasan dan kepastian hukum untuk memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan maupun penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dapat terjamin.

Namun pada kenyataannya, RUU Masyarakat Adat seakan hanya janji manis yang dilontarkan pemerintah sebab sudah dua kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di bawah kepemimpinan Jokowi, yaitu tahun 2014 dan 2019. Tetapi, sampai saat ini belum juga disahkan.



Penulis : Maria Goreti Ceria

Editor : Devi Oktaviana