(Foto: Tirto Adhi Soerjo/kicaunews.com)
Marhaen, Jakarta - Tirto Adhi Soerjo, seorang darah biru yang berani turun mengkritik dan menggerakkan bangsa lewat tulisan, serta menjadi penggagas penerbitan surat kabar oleh Bumiputera pertama yang mengubah spektrum perlawanan dengan jalan jurnalistik. Ia juga adalah sosok yang lantang berdiri paling depan dalam melawan penyelewengan dan kebijakan pemerintah kolonial.
Tirto lahir di Blora, Jawa Tengah pada tahun 1880 dengan menyandang gelar Raden Mas. Ayahnya, Raden Mas Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro adalah seorang pegawai kantor pajak, sedangkan ibunya merupakan keturunan Mangkunegara I yang sampai saat ini namanya masih misterius.
Dengan status kebangsaannya ini, ia mendapat hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa di Nusantara. Ia memulai sekolah dasarnya di Europeesch Lagere School (ELS), kemudian merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya di Hogere Burger School (HBS), setelah itu, Ia diterima di sekolah dokter, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Di STOVIA inilah ia menemukan beragam pergaulan dan pengetahuan yang membuka matanya pada kesenjangan sosial yang terbelenggu oleh feodalisme. Lewat jurnalistik, Tirto mencoba meninggalkan status kebangsaannya dan membaur dengan masyarakat.
Jatuh Cinta Pertama dengan Jurnalisme
Meski mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan menjadi calon dokter di STOVIA, Tirto lebih tertarik menjadi seorang jurnalis. Sejak masih duduk di bangku sekolah, Ia sudah aktif mengirim tulisannya ke beberapa surat kabar terbitan Batavia, bahkan di sela-sela sekolahnya itu, ia telah bekerja di perusahaan surat kabar milik Belanda, seperti Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan di Bandung, dan Pembrita Betawi.
Pada tahun 1900, Tirto dikeluarkan dari STOVIA karena beberapa kasus. Diketahui, kasus paling parah yang menimpanya adalah ketika ia membuat resep obat untuk sahabatnya seorang Tionghoa miskin, dimana pada saat itu ia belum mendapat izin untuk mengeluarkan resep.
Setelah keluar dari STOVIA, Tirto semakin fokus mengambangkan kemampuan jurnalistiknya, hingga pada tahun 1901 ia dipercaya menjadi kepala redaktur di Pembrita Betawi. Di sinilah ia berkenalan dengan jurnalistik senior bernama Karel Wijbrnads yang banyak membantunya dalam memperdalam kemampuan jurnalistiknya.
Kuli Tinta dengan Pena Tajam
Pada tahun 1902, Tirto berhasil membongkar skandal residen Madiun, J.J Donner yang berdampak lengsernya Bupati Madiun, Brotodiningrat. Karir jurnalis Tirto kian berkembang pesat, hingga pada tahun 1903 atas saran dari Karel Wijbrands dan bantuan modal dari Bupati Cianjur, R.A.A Prawiradiredja, ia menerbitkan surat kabar pertama milik bumiputera dengan nama Soenda Berita.
(Foto: halaman depan surat kabar Medan Prijaji/berdikarionline.com)
Setelah tiga tahun terbit, Soenda Berita terpaksa tutup karena mengalami kerugian. Hal itu tidak membuat semangat Tirto redup, pada 1 Januari 1907 ia menerbitkan surat kabar mingguan bernama, Medan Priyayi. Dengan semangatnya itu, Tirto banyak mengunjungi saudagar dan para bangsawan seperti, Raden Mas Prawiro Diningrat, Taiji In Moehadjilin, Tamrin Mohammad Tabrie, dan Bachram untuk menggalang dana guna menerbitkan surat kabarnya menjadi harian. Tidak hanya itu, Tirto menawarkan pembagian saham dalam pembayaran surat kabarnya, dari dana yang terkumpul tersebut, Ia membangun sebuah perhimpunan dengan tujuan untuk memajukan kau pribumi agar dapat terlepas dari cengkraman kolonial, dengan nama Sarekat Priyayi.
Tulisan-tulisannya di Medan Priyayi semakin tajam, radikal, dan penuh sindiran kepada kolonial, tak jarang tulisannya mendapat kecaman bahkan sampai berurusan dengan pengadilan. Hingga pada saat itu, Tirto berhasil mengungkap praktek penyalahgunaan jabatan di daerah Purworejo yang menyeretnya ke pengadilan dan berujung dibuangnya ia ke Lampung selama tiga bulan. Namun, alih-alih jera terhadap pembuangannya, ia malah makin banyak menulis dan membuahkan tulisan dengan judul “Oleh-Oleh Dari Tempat Pembuangan”.
Pada 1 Juni 1908, Tirto merintis pendirian surat kabar pertama untuk perempuan dengan nama Poetri Hindia, dimana surat kabar ini dikelola dan dikembangkan oleh perempuan. Penerbitan surat kabar ini juga mendapat dukungan dari Bupati Karang Anyar, Tirto Koesoemo, sampai-sampai pada tahun 1909, surat kabar ini mendapatkan apresiasi langsung dari Ratu Emma, permaisuri Raja William III. Tidak hanya itu, Tirto juga turut menjadi donatur dalam mendukung pendidikan emansipasi bagi kaum perempuan yang didirikan oleh Dewi Sartika di Bandung.
Gerakan Akar Rumput Tirto
Pada tanggal 20 Mei 1908, Tirto bersama para siswa STOVIA lainnya yang diprakarsai oleh dr. Wahidin Sudirohusodo, mendeklarasikan Boedi Oetomo. Namun, karena dirasa Boedi Oetomo tidak mendukung pergerakannya dan dianggapnya terlalu elitis, ia memutuskan untuk meninggalkan Boedi Oetomo dan mendirikan Sarekat Dagang Islamiah (SDI) pada 5 April 1909. Tirto bersama dengan Syekh Ahmad bin Abdoerachman Badjenet sebagai Presiden, Mohamad Dagrim sebagai wakil presiden, Syekh Ahmad bin Said Badjenet sebagai kasir dan ia sendiri sebagai sekretaris dan penasihat mengembangkan SDI dan bergerak dengan politik akar rumput, yang ia sebut sebagai kaum “Mardika”.
(Foto: anggota Sarekat Dagang Islam/dailynewsindonesia.com)
Di sinilah Tirto dipertemukan dengan Samanhoedi, seorang saudagar batik di Solo yang membantunya dalam mengekspansi SDI ke daerah Jawa. Atas permintaan Samanhudi, Tirto merumuskan AD/ART untuk laskar keamanan yang diberi nama Rekso Roemekso, dengan tujuan untuk melindungi kawasan industri batik di daerah Solo serta memblokade dominasi pedagang Tionghoa. Namun,hingga tahun 1911, Rekso Roemekso belum memiliki legalitas hukum yang jelas dan terancam dibubarkan. Oleh karena itu, pada Februari 1911 Rekso Roemekso resmi berganti nama menjadi SDI cabang Surakarta.
Setelah Revolusi Tiongkok, pedagang Tionghoa di Surakarta mulai melakukan perlawanan dengan pemerintah kolonial dan memulai konflik dengan SDI cabang Surakarta. Kondisi ini diperparah dengan keadaan ekonomi Tirto yang pada saat itu terlilit utang. Hingga akhirnya, pada April 1912, Ia menyerahkan kepemimpinan ke Samanhoedi
Sayangnya, Pada 22 Agustus 1912, Medan Priyayi terpaksa tutup lantaran tertimpa banyak masalah mulai dari omset yang terus merosot, kaburnya pengiklan besar, hingga macetnya biaya pelanggan yang membuat ia tidak dapat melunasi utang percetakan. Hal ini kemudian dibawa ke meja hijau dan ia pun dinyatakan bersalah dengan hukuman dibuang ke Maluku. Ini juga yang menyebabkan hubungan SDI cabang Surakarta dengan Bogor terputus.
Karena Aktivitas SDI cabang Surakarta diberhentikan oleh Karesidenan Surakarta, pada 23 Agustus 1912, Samanhoedi menemui Oemar Said Tjokroaminoto yang pada saat itu menjadi pengurus SDI cabang Surabaya untuk membantunya. Di tangan Tjokro inilah SDI cabang Surakarta berganti nama menjadi Sarekat Islam, dengan tujuan untuk memperluas pengaruhnya.
Tapak Akhir Perjalanan yang Sunyi dan Tanpa Karangan Bunga
Dua tahun setelah pembuangannya di Maluku, suasana pulau Jawa sudah banyak berubah. Organisasi dan tokoh pergerakan sudah banyak bermunculan. Sayangnya, karena pemerintah melakukan propaganda untuk menghilangkan arsip-arsip mengenai pergerakan Tirto dan masuknya ia ke dalam daftar hitam catatan Intelijen Belanda membuat nama Tirto tidak lagi banyak diperbincangkan, sampai-sampai banyak saudaranya yang ketakutan dan akhirnya mengacuhkannya.
Di akhir masa hidupnya, ia menghabiskan waktunya di Hotel Samirana yang dulunya adalah kepunyaannya dengan nama Hotel Priyayi. Keadaan fisik dan mental Tirto semakin menurun, bahkan ia mengalami depresi berkepanjangan, hingga pada 7 Desember 1918 ia menghembuskan nafas terakhirnya. Pemakaman berlangsung sunyi tanpa banyak orang yang datang. Jenazah Tirto dimakamkan di Mangga Dua. Namun, selang beberapa tahun, makam Tirto dipindahkan ke Komplek Pemakaman Sereal Kota Bogor.
Meskipun berakhir dengan anti klimaks, Tirto banyak mewarisi semangat dan harapan akan perlawanannya lewat jurnalistik. Atas jasanya di bidang jurnalistik, pada tahun 1973 pemerintah Indonesia mengukuhkan gelar Bapak Pers Nasional kepada Tirto. Tidak hanya itu, di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Tirto juga diberikan gelar sebagai pahlawan nasional.
Penulis : Thomas Budi
Editor : Devi Oktaviana
Sumber : Tirto.id, histori.id, merdeka.com, ensiklopedia.kemdikbud.go.id
0 Comments