(Foto: sedang berlangsungnya aksi/Suandira)

Marhaen, Jakarta - Aliansi buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya menggelar aksi bertajuk “Gerakan Buruh Bersama Rakyat”, untuk menyuarakan tuntutannya terhadap UU Ciptaker dan sejumlah kebijakan maupun regulasi yang dinilai merugikan rakyat di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta. Rabu (10/08/2022).

UU Cipta Kerja (Ciptaker) memang menuai kontroversial dari awal pembentukannya hingga pengesahannya. Bermula pada tahun 2019, saat pemerintah merencanakan merevisi terkait klaster ketenagakerjaan pada Undang-Undang Cipta Kerja. Kemudian di 2020 lalu, masyarakat menolak pengesahan omnibus law beserta peraturan turunannya yang dinilai minim partisipatif publik serta terdapat sejumlah pasal merugikan rakyat.

Tahun 2021, UU Ciptaker dinyatakan cacat formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020. Sebab, menurut Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) sebelum mengalami revisi, DPR dan pemerintah tidak memungkinkan membentuk regulasi dengan metode omnibus. Maka dari itu, DPR melakukan revisi UU P3 pada substansi baru yaitu berlakunya metode omnibus sebagai siasat memperbaiki UU Ciptaker.

Mengenai penolakan tersebut dari berbagai aliansi buruh telah berkali-kali melakukan aksi besar-besaran di berbagai wilayah indonesia. Semrawutnya kebijakan dan regulasi yang dinilai merugikan rakyat ini hanya menguntungkan para pemilik modal. Salah satunya permasalahan dalam klaster ketenagakerjaan pada UU Ciptaker. Terkait respon pemerintah maupun DPR dari berbagai tuntutan selama aksi buruh dilakukan, Heri selaku Komandan Barisan Pelopor (Bapor) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Karawang mengatakan,

“Kalau respon dari pemerintah hanya janji-janji saja, waktu itu kita nuntut di MK terkait UU lagi direvisi selama dua tahun tapi disela-sela revisi itu pemerintah mengeluarkan lagi UU No.12 Tentang Pembentukan Perundang-undang itu untuk mengulir yang putusan MK agar direvisi, bukannya merevisi omnibus law justru mereka menghidupkan undang-undang ini yang otomatis akan berlaku. Makannya kita tuntut hari ini cabut Omnibus Law,” tuturnya.

Pada aksi kali ini, terdapat beberapa tuntutan yang didesak oleh massa aksi kepada pemerintah, tak hanya UU Ciptaker dan UU P3 saja, diantaranya Batalkan revisi UU Sisdiknas, RKUHP, serta stabilkan harga kebutuhan pokok rakyat.

“Dalam isu tema besar kita adalah “Rakyat Bersatu, Lawan Regulasi dan Kebijakan Anti Rakyat” mempunyai isu turunan dari beberapa salah satunya yang pertama adalah mencabut Omnibus Law beserta Peraturan Pemerintah (PP) turunannya yang sudah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian tuntutan kedua kita adalah batalkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (P3). Ketiga, membatalkan Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Keempat, membatalkan Revisi Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKUHP). Kelima adalah Stabilkan Harga Kebutuhan Pokok Rakyat” Ucap Nugraha selaku Koordinator Lapangan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Seketika dampak yang paling besar terjadi kepada masyarakat buruh ini adalah tidak adanya kenaikan upah sama sekali di tahun 2022. Kepastian kerja bagi mereka sudah tidak ada lagi, karena makin maraknya dengan sistem kontrak, magang, outsourcing dan lain sebagainya.

“Dengan pencabutan Omnibus Law akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah selaku perumus kebijakan untuk senantiasa mempertimbangkan kembali dalam memformulasikan kebijakan tersebut dan ini tindakan yang harus diambil oleh buruh maupun pekerja demi mengamankan hak-haknya. Walaupun, sudah inkonstitusional secara formil dan tidak sesuai dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian, pemerintah malah mengupayakan atau melegitimasi terkait keabsahan Omnibus Law dengan Revisi UU P3. Untuk itu kami meminta untuk segera dicabut dan juga menstabilkan harga kebutuhan pokok bagi buruh serta masyarakat kecil,” tutup Nugraha.



Penulis : Suandira Azra Badrianan

Editor : Devi Oktaviana