(Foto: aksi PRT di depan Gedung DPR, Desember 2021/Instagram @jalaprt)

Marhaen, Jakarta - Belum adanya perubahan status Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi RUU Inisiatif menjadi salah satu penghalang besar bagi para pekerja rumah tangga untuk dapat memperoleh hak kerja layak, berupa keselamatan kerja, jaminan sosial serta hak-hak lainnya.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan orang yang bekerja dalam ruang lingkup rumah tangga majikannya, yang mana melakukan semua pekerjaan dalam rumah, biasanya pekerjaan jenis ini dilakoni oleh perempuan dari usia 18 sampai 50 tahun. Survei pada tahun 2015 menghasilkan bahwa Indonesia menjadi urutan kedua setelah China sebagai negara yang memiliki PRT terbanyak yaitu 4,5 juta dan kemungkinan sekarang telah bertambah. 

Di Indonesia para PRT kurang mendapat perhatian dari pemerintah seperti tidak menggolongkan para pekerja jenis mata pencaharian ini sebagai pekerja hal inilah yang membuat para pekerja rumah tangga tidak memperoleh jaminan sosial, padahal penghasilan dari pekerja ini terbilang rendah yaitu 20 persen dari gaji UMR. Ketika bekerja  pun PRT kerap kali memperoleh perlakuan yang tidak adil seperti waktu kerja yang sangat panjang, beban pekerjaan tidak terbatas, kemudian hari libur yang tidak tentu,  dan tidak mendapatkan jaminan sosial serta tidak diperbolehkan untuk berserikat oleh pemberi kerja.

Namun, para pekerja rumah tangga kerap kali mengalami tindakan-tindakan yang kurang berkenan dari pemberi kerja seperti kekerasan, pelecehan hingga tidak terpenuhinya hak sebagai pekerja. Kerentanan terhadap tindakan ini disebabkan oleh banyak hal seperti tidak adanya payung hukum bagi pekerja rumah tangga hingga membuat pemberi kerja  memperlakukan para pekerja dengan sewenang-wenang, karena tidak adanya hukum yang mengatur tentang hal itu. 

Royanah seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT), menjelaskan lebih jauh terkait kondisi PRT yang kerap kali mendapat diskriminasi, hal tersebut merupakan bukti masih kurangnya perlindungan bagi PRT dalam melakukan pekerjaannya.

(Foto: saat konferensi pers berlangsung/Maria)

“Saya sebagai pekerja rumah tangga sering kali mendapat diskriminasi dan beberapa kejadian lain yang menimpa kami, seperti tekanan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan masih banyak lagi,” jelas Royanah dalam Konferensi Pers: Peringatan Hari Kerja Layak Internasional 2022 via Zoom Meeting. Kamis, (07/10/2022).

Dalam dunia kerja setidaknya ada empat pilar kerja layak universal yaitu pertama pemenuhan hak-hak pekerja sebagaimana prinsip-prinsip universal bekerja, kedua pekerjaan itu akan menciptakan kesejahteraan bagi pekerja, ketiga dialog sosial yang mana merupakan representasi dari kelompok pekerja untuk menyampaikan apa kepentingannya seperti serikat ataupun organisasi, keempat perlindungan sosial.

Maka dari itu, RUU PPRT menjadi salah satunya tumpuan bagi para pekerja rumah tangga agar dapat memperoleh hak sebagai pekerja, yang salah satu pasalnya berisikan tentang diakuinya pekerja rumah tangga sebagai pekerja sehingga ketika bekerja PRT dapat memperoleh perlakukan yang adil dan semestinya, baik dari pemberi pekerja maupun bagi dari masyarakat yang sering kali mendiskriminasi mata pencaharian mereka. 

Akan tetapi, RUU PPRT terus saja mandek di meja Dewan Perwakilan Rakyat. DPR seakan-akan memposisikan dirinya sebagai pemberi kerja bukan sebagai anggota dewan yang harus memperjuangkan hak rakyatnya, sehingga menyebabkan RUU PPRT tidak menjadi RUU Inisiatif sementara pemerintah melalui gugus tugas telah bersiap untuk melakukan pembahasan namun terhalang oleh pimpinan DPR yang terus menahan rancangan tersebut. 

Lita Anggraini selaku Koordinator Nasional JALA menyampaikan bahwa penolakan DPR terhadap RUU tersebut merupakan sebuah gambaran bahwa feodalisme masih melekat di DPR. 

"Pimpinan DPR ketika menolak RUU ini untuk menjadi RUU inisiatif mengggambarkan betapa pemimpin DPR menjadi agen pemberi kerja yang mencerminkan biasnya feodalisme, bias kelas, bias gender,” imbuh Lita.

Dalam konferensi pers tersebut, beberapa organisasi seperti JALA PRT, LBH APIK, Indonesia Feminis, Konde.co, Jakarta Feminist, Kalyanamitra, dan beragam elemen masyarakat lain mengajak anak muda untuk terus menyebarluaskan hak-hak kerja layak dan lainnya bagi PRT, kepada publik dan media. 

Selain itu, mendesak DPR RI untuk mengesahkan RUU PPRT yang sudah 18 tahun mangkrak di parlemen dan pemerintah segera meratifikasi ILO No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT dan meratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja sebagai mekanisme dalam memberikan jaminan perlindungan bagi Pekerja informal seperti PRT.



Penulis : Maria Goreti Ceria

Editor : Devi Oktaviana