Marhaen, Jakarta - Ketidakpastian hukum membuat pers mahasiswa (Persma) menjadi rentan mengalami tindakan sewenang-wenang dari berbagai pihak. Kampus yang seharusnya menjadi tempat teraman untuk dapat bebas berpikir dan berpendapat, nyatanya masih menjadi aktor utama dalam tindakan tersebut.
Persoalan pers mahasiswa cukup berat yaitu selalu terbayang-bayang akan mendapat tindakan represif dari berbagai pihak yang merasa sedikit terusik karena lisan dan tulisan. Tindakan represif tersebut mulai dari intimidasi, ancaman drop out, hingga pembredelan.
Persma atau lembaganya masih menghadapi ketidakpastian hukum seperti dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya menaungi pers umum, dikarenakan persma belum berbadan hukum sehingga tidak termasuk dalam UU Pers tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakpastian dalam perlindungan hukum bagi Persma. Walaupun, persma belum berbadan hukum namun termasuk dalam mengerjakan kerja-kerja jurnalis dalam Kode Etik Jurnalistik.
"Terkait dengan pers mahasiswa kita harus akui ini salah satu tantangan yang harus segera kita upayakan, bukan hanya mengakui tetapi legal standing bahwa dia adalah karya jurnalis sehingga mendapatkan perlindungan. Itu harus segera terwujud," ucap Ninik Rahayu sebagai Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers di Dewan Pers pada Acara Diseminasi Annual Report LBH Pers 2022 via Zoom Meeting dan Live Streaming YouTube. Rabu, (11/01/2023).
Sepanjang 2022, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat tujuh dari 51 kasus merupakan serangan terhadap aktivitas pers mahasiswa. Oknum polisi dan mahasiswa sendiri yang menjadi pelaku utama kekerasan terhadap kawan-kawan pers mahasiswa, kekerasan lebih banyak terjadi pada saat meliput terkait isu kebijakan pemerintah, kriminal, dan kekerasan seksual dalam lingkup kampus.
Pers mahasiswa menghadapi tekanan ganda, bukan hanya tekanan dari negara tetapi tekanan dari kampus itu sendiri termasuk berhadapan dengan pembiayaan yang tidak sederhana dan masa studi yang dipersingkat sehingga mereka dipaksa menandatangani hal-hal yang lebih cepat harus selesai.
Perguruan tinggi semestinya menjadi yang pertama dalam memberikan ruang diskusi yang aman dan memberikan perlindungan bagi mahasiswa. Dilansir dari lokataru.id, pada hasil surveinya tahun 2019 ada 57 kasus tindakan pelanggaran kebebasan akademik dan mayoritas yang menjadi pelaku tersebut ialah pihak kampus yaitu sebanyak 22 kasus. Pihak kampus sudah selayaknya memberikan keleluasaan untuk dapat bebas berpikir dan berpendapat dengan rasa aman dan nyaman, tanpa ada ancaman-ancaman.
Meskipun, persma belum terakomodir secara jelas dalam UU Pers, namun pada dasar persma merupakan mahasiswa yang memiliki hak kebebasan akademik yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan bahwa kebebasan akademik merupakan tanggung jawab setiap civitas academica dan wajib dilindungi oleh pimpinan perguruan tinggi. Termasuk menjamin dan melindungi setiap pemikiran yang dihasilkan oleh mahasiswa. Namun nyatanya, kebebasan akademik belum dilindungi dalam kehidupan kampus, dan tindakan represif masih terus berulang.
Hak untuk berpendapat juga dijamin oleh negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sudah terjaminnya dalam undang-undang tapi negara juga termasuk aktor utama yang membuat ruang tersebut menjadi minim sebab merupakan hak setiap warga negara tanpa terkecuali dan seharusnya negara wajib untuk memenuhi dan melindungi ruang publik tersebut.
"Ruang publik makin mengecil juga karena ya peran negara sendiri yang membiarkan ruang publik itu terdistorsi sekian lama, saya kira yang namanya frekuensi publik yang seharusnya milik bersama itu malah kemudian dirampas," ujar Zainal Arifin Mochtar selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Menurut Ninik Rahayu, menyebut bahwa meskipun kawan-kawan persma belum menjadi wartawan resmi tetapi bukan berarti hal tersebut tidak bisa dilindungi, karya jurnalistik yang dibuat oleh mahasiswa harus dihargai dan dilindungi oleh Dewan Pers. Karena bibit-bibit besar para jurnalis lahir dari kawan-kawan pers mahasiswa.
Penulis : Bintang Prakasa
Editor : Devi Oktaviana
0 Comments