Marhaen, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengadakan Konferensi Pers via Zoom Meeting dan live streaming YouTube, mengenai warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu menggugat PT. Holcim atas dampak krisis iklim yang mengancam pulau dan penghidupannya. Jumat, (03/02/2023).
WALHI bersama dengan ECCHR (European Center for Constitutional and Human Rights) telah meluncurkan kembali gugatan iklim pada 01 Februari lalu, yang dilakukan oleh empat orang masyarakat Pulau Pari ke Holcim, sebuah perusahaan semen terbesar yang bermarkas di Swiss. Gugatan ini bukanlah yang pertama kalinya, dimana menurut keterangan di situs ECCHR para warga pernah mengajukan gugatan pada Juli 2022.
Holcim sendiri merupakan perusahaan industri semen, bahan dasar beton, dan salah satu dari 50 pengahasil emisi CO2 terbesar di seluruh dunia. Industri ini bertanggung jawab atas sekitar 8% (delapan persen) emisi global CO2 tahunan, di mana menurut Guardian Inggris sebagai “bahan bakar paling destruktif di bumi” sejajar dengan industri batu bara, minyak bumi, dan gas sebagai kontributor emisi utama di dunia. Oleh sebab itu mereka dijuluki sebagai “Carbon Major”.
Parid Ridwanuddin sebagai Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional persoalan krisis iklim terutama di negara kepulauan seperti indonesia, akan menghadapi situasi yang sangat genting.
“Sejak 2016 terdapat jurnal ahli geologi kelautan, mereka menyebut ada 83 pulau pulau terluar atau terdepan yang terancam tenggelam karena kecepatan kenaikan air laut. Sedangkan menurut data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk perairan dalam Indonesia ada 115 pulau yang akan tenggelam. Angka angka ini harus kita anggap sebagai angka minimal bukan jumlah terbanyak. Ini sebetulnya merupakan peringatan yang harus dipahami oleh pemerintah Indonesia bahwa krisis iklim sangat mengancam di negara negara di bagian selatan,” ujar Parid dalam konferensi pers.
Atas dampak yang dirasakan, warga Pulau Pari, melalui perwakilannya mereka menuntut pertanggungjawaban dari Holcim atas terancamnya keselamatan warga Pulau Pari dan juga meminta kompensasi atas kerusakan material yang warga alami.
Asmania salah satu penggugat yang berprofesi sebagai Perempuan Nelayan Pulau Pari mengatakan dampak dari perubahan iklim sangat mengerikan, dimana pantai yang masyarakat kelola mengalami abrasi atau pengikisan daerah pantai yang sangat parah.
“Dampak perubahan iklim lima tahun kebelakang sangat kami rasakan salah satunya adalah permukaan air laut yang mulai naik. Di sana terdapat kawasan wisata secara swadaya yang apabila terjadi banjir rob yang mengakibatkan berkurangnya wisatawan, otomatis mata pencaharian kita juga berkurang,” tuturnya.
Parid menambahkan, mengenai emisi CO2 yang berlebih, perlu disampaikan kepada negara-negara industri yang maju dan perusahaan skala besar di dalam setiap forum internasional, di mana mereka selalu gagal menyepakati batas maksimum temperatur dunia 1,5 derajat celcius. Jika naik dua derajat saja, suhu di sekitar akan sangat panas. Naiknya gelombang laut dan memutihnya terumbu karang merupakan salah satu bencana yang akan datang ketika suhu rata rata planet bumi di atas 1,5 derajat dibandingkan di era sebelum industri sekaligus satu hal yang wajib kita semua antisipasi.
Penulis : Muhammad Zacki Panisean Nasution
Editor : Devi Oktaviana
0 Comments