Judul Buku: Beberapa segi perkembangan Sejarah Pers di Indonesia
Pengarang: Abdurrachman Surjomihardjo
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: Januari 2002
ISBN: 979-709-013-2
Tebal Halaman: 418
Buku ini ditulis melalui dua tahap penelitian, yaitu tahap pertama pada 1966-1977 dan tahap kedua pada 1977-1978. Tulisan yang termuat di dalam buku tersebut adalah ikhtisar perkembangan pers Belanda, pers Melayu Tionghoa dan pers Indonesia sampai menjelang proklamasi kemerdekaan serta perjuangan kebebasan pers di dalam sejarah Indonesia.
Sebelum abad ke-19, pers terbit sebagai bagian usaha orang belanda dan kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahan perkebunan dan industri minyak. Isinya belum mencerminkan persoalan politik pada masa itu, karena sejak semula pemerintah Hindia Belanda mengatur berita-berita yang tidak berbahaya bagi pemerintahnya sendiri.
Secara umum dapat dikatakan bahwa isi surat kabar dan majalah Hindia Belanda berhaluan politik netral akan tetapi, pada awal abad ke-19 mulai kelihatan adanya mingguan yang bercorak dan berdasar suatu program politik. Diantara majalah yang mulai berpolitik tersebut, yaitu Bondsblad terbit pertama kali tahun 1897. Majalah tersebut sebagai pembawa suara Indische Bond, perkumpulan Indo-Belanda yang memperjuangkan Hindia Belanda sebagai tanah airnya dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik bagi mereka.
Perjuangan yang dilalui untuk melahirkan pers di Indonesia yang bebas menyuarakan kebenaran, membutuhkan waktu yang begitu lama. Tindakan kekerasan dari penguasa birokrat dan tuntutan pengadilan terhadap wartawan merupakan hal yang sudah biasa pada saat itu. Tidak jarang disusul oleh hukuman fisik dan ancaman pembuangan hanya karena para wartawan menuliskan apa yang menurut mereka adalah sebuah kebenaran.
Dalam abad ke-19, tercatat nama-nama wartawan Belanda yang telah dibuang karena menentang pemerintahan kolonial, yaitu Bisschop Groof (1845), L. van Vliet (1846), H. J Lion (1851), S.E.W Roorda van Eisinga (1864), J.J Nosse (1864), Dr I.C.P.K Winckel (1873).
Keadaan pada saat itu menggambarkan bagaimana wartawan Belanda memperjuangkan kebebasan menulis dan berpendapat di daerah jajahan. Pada waktu itu, terkenal ungkapan bahwa “Seorang redaktur surat kabar di daerah jajahan ini selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara” yang artinya wartawan sering mendapat tekanan dan ancaman dari kolonial Belanda. Hal semacam itu masih terjadi di dalam sejarah Indonesia hingga saat ini.
Pada 1 April 1917, di tengah berkecamuknya Perang Dunia I ada seorang mantan pegawai yang pernah bekerja di kantor telegraf dan bekerja untuk Bataviasasch Niewsblad dan Java Bode bernama D.W Bretty ia mendirikan sebuah kantor telegraf benama ANETA (Algemeen Niews En Telegraf Agentschapf)
Selama masa Perang Dunia I kantor berita ini menjadi pusat penerima dan pengirim berita mengenai pertempuran di medan perang dari berbagai penjuru dunia. ANETA tidak butuh lama menjadi sebuah pusat informasi pada saat itu sehingga pada tahun 1920 mendirikan kantor sendiri dan pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun radio sendiri.
Zaman Hindia Belanda
Pada masa Hindia Belanda, pemerintah kolonial menerapkan sistem pengawasan dan pengendalian surat kabar terhadap segala pergerakan pers serta menerapkan aturan hukum bagi pers pada saat itu hal tersebut dinamakan sensor preventif.
Pada awal abad ke-20, ketentuan peraturan perundang-undangan tahun 1906 terkait pengawasan pers di Hindia Belanda memunculkan ancaman dan tekanan terhadap para wartawan. Aturan tersebut dikenal sebagai Drukpers-Reglement yang mengharuskan setiap karya cetak untuk dikirimkan satu eksemplar kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi, dan kantor administratif Hindia Belanda sebelum diterbitkan.
Pihak pencetak atau penerbit harus mengirimkan dengan tanda tangan yang sah, jika aturan ini dilanggar karya cetak tersebut dapat disita bahkan diikuti dengan penyegelan percetakan atau penyitaan alat percetakan.
Namun, pada tahun 1906 pemerintah kolonial mengubah aturan yang bersifat preventif tersebut, penyerahan eksemplar kepada pejabat-pejabat tersebut harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah cetakan itu diedarkan, tetapi sebuah karya cetak harus tetap mencantumkan nama dan alamat pencetak dan penerbitnya. Pelanggaran ketentuan tersebut tidak akan mengakibatkan penyegelan atau penyitaan alat percetakan, melainkan akan dikenakan denda sebesar 10 hingga 100 rupiah (mata uang Hindia Belanda pada saat itu).
Pada tahun 1931, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan Persbreidel Ordonnantie yang memberikan kekuasaan kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan tertentu yang dianggap dapat mengganggu.
Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan tersebut mengindikasikan adanya upaya pemerintah kolonial untuk mengawasi dan membatasi kebebasan pers. Wartawan harus berhadapan dengan ketentuan-ketentuan tersebut yang mengandung resiko dan tekanan terhadap kebebasan mereka dalam menyuarakan pendapat dan mengungkapkan informasi.
Zaman Pemerintahan Bala Tentara Jepang
Berbeda dengan pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah Jepang menerapkan aturan yang lebih menekan lagi. Wilayah Jawa dan Madura berada di bawah kekuasaan Bala Tentara XVI, Sumatera diserahkan kepada Bala Tentara XXV dan wilayah lainnya (Kalimantan, Sulawesi, Maluku serta Nusa Tenggara) berada dalam wewenang angkatan laut Jepang.
Penguasa Jawa dan Madura mengatur sarana publikasi dan komunikasi dengan Undang-Undang Nomor 16, yang menonjol dari UU tersebut ialah berlakunya sistem izin terbit dan sistem preventif. Pasal 1 menyatakan bahwa semua barang cetakan harus memiliki izin publikasi atau izin terbit dan pasal 2 melarang semua penerbitan yang sebelumnya memusuhi Jepang untuk meneruskan penerbitannya.
Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi jelas bahwa penerbitan yang dilarang itu meliputi surat kabar Belanda, surat-surat kabar Indonesia anti Jepang dan juga surat-surat kabar berbahasa Mandarin yang menyerang agresi Jepang terhadap Tiongkok.
Ketentuan mengenai sensor preventif dituangkan dalam beberapa pasal yang mengatur pergerakan pers seperti semua barang cetakan. Sebelum diedarkan terlebih dahulu dikirim ke kantor bala tentara Jepang, semua barang cetakan tidak boleh dikirim ke luar negeri kemudian sebaliknya surat kabar luar tidak boleh masuk ke dalam wilayah kekuasaan Jepang.
Tidak hanya penerbit yang harus tunduk pada aturan tersebut pencetak pun setelah mendapat order dari pihak swasta, harus mendapat izin dulu sebelum mengerjakan selain itu mereka harus menegaskan bahwa nama, alamat pencetak dan penerbit yang menjadi penanggung jawab harus tercetak jelas pada setiap penerbitan termasuk buku, poster dan pamflet.
Zaman Republik Indonesia
Kebijakan pemerintah terhadap pers di zaman Indonesia merdeka mengalami beberapa kali perubahan, hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam corak pemerintahan. Kebijaksanaan pada pemerintahan Hindia Belanda waktu itu terhadap pers yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, secara konstitusi belum diganti pada awal kemerdekaan.
Namun, Tepat pada 2 Agustus 1954 Persbreidel Ordonnantie dicabut. Perjuangan pencabutan UU tersebut tidak lepas dari usaha yang dilakukan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Pada saat itu PWI menuntut kepada pemerintah agar mengeluarkan Undang-Undang Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpendapat.
Sebelum UU Pokok Pers disahkan pada 12 Desember 1966, pers Indonesia masih menghadapi peraturan-peraturan yang menekan, hal tersebut disebabkan oleh perkembangan politik yang sangat berpengaruh dan lahirnya aturan-aturan baru untuk mengontrol pers.
Pokok-pokok dari aturan tersebut adalah dilarang menyebar, menerbitkan atau memiliki tulisan yang mengandung kecaman, persangkaan, atau penghinaan terhadap pemerintahan dan pers juga dilarang dalam hal memuat berita yang dapat menimbulkan kemarahan di kalangan rakyat.
Meskipun demikian bukan berarti pembredelan pers dan tindakan-tindakan terhadap wartawan tidak terjadi. Kala itu penguasa di daerah sering membuat peraturan-peraturan sendiri dan melakukan tindakan sendiri terhadap pers. Namun, Mayor Jendral A.H Nasution yang menjabat sebagai KSAD dan juga penguasa militer ia mengeluarkan instruksi pada tanggal 04 Desember 1957.
Salah satu tindakan yang diambil adalah pencabutan sensor preventif terhadap isi surat kabar yang dibuat oleh penguasa militer daerah. Kesepakatan ini bertujuan untuk mengatur hubungan antara pers dan pemerintah, sehingga tercipta keseimbangan dan harmoni di antara keduanya.
Pemberedelan Pers dalam Sejarah Indonesia
Dalam sejarah pers di Indonesia, salah satu masalah yang mencolok adalah pelarangan terbit atau pemberedelan terhadap surat kabar. Pelarangan terbit surat kabar sering disertai dengan penahanan terhadap pimpinan surat kabar yang bersangkutan.
Buku ini juga membahas pemberedelan yang terjadi pada zaman Hindia Belanda, zaman pemerintahan bala tentara Jepang, hingga zaman kemerdekaan. Selain itu, terdapat salah satu surat kabar yang pernah hidup dan mati dalam dua zaman yaitu pemerintahan orde lama dan orde baru, surat kabar tersebut adalah Indonesia Raya.
Surat kabar Indonesia Raya terbit pertama kali pada tanggal 29 Desember 1949, surat kabar tersebut mengalami pemberedelan hingga diberhentikan karena menyajikan berita tanpa menutup-nutupi kebenarannya atau fakta yang sesungguhnya dan kritik-kritiknya yang tajam, terbuka dan langsung sehingga selalu mendapatkan bayang-bayang penahanan dan pemberedelan.
Surat kabar Indonesia Raya tampak sebagai media pers yang lebih mengutamakan idealisme dari pada suatu perusahaan bisnis. Surat kabar ini tidak terlalu fokus pada tujuan komersial melainkan bagaimana pers mempertahankan idealismenya dengan mendukung kebebasan, menyatakan pikiran, dan berpendapat dengan seluas-luasnya.
Sikap yang dipertahankan surat kabar ini sejauh mungkin adalah mengembangkan independensi dalam kebijakan pemberitaan. Surat kabar tersebut tidak mau terikat oleh suatu golongan partai politik pada masa itu, tetapi yang ingin dicapai adalah kemerdekaan pers nasional yang kuat, bebas, dan mempertinggi mutu kejurnalistikan.
Kelebihan buku ini menceritakan sejarah lahirnya pers di tanah air dan perjuangan untuk mencapai kebebasan pers. Buku ini juga menceritakan sejarah politik yang terjadi dari zaman kolonial hingga kemerdekaan, dari perspektif pers bisa dikatakan buku bukan hanya sebuah fiksi karena data yang terkandung dalam buku ini dikumpulkan dari arsip nasional.
Buku ini juga memiliki beberapa kekurangan yaitu menggunakan bahasa yang terlalu ilmiah sehingga sulit dipahami oleh pembaca dan terdapat beberapa kata salah ketik. Seperti pada halaman 31, kata kezaliman menjadi kedhaliman, pada halaman 85, kata terutama menjadi terutara, pada halaman 179, kata juga menjadi jufa dan pada halaman 185.
Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini saya rekomendasikan kepada orang-orang yang senang membaca buku yang berkaitan dengan sejarah serta bagi mahasiswa yang menekuni bidang kejurnalistikan karena sebagai salah satu modal dasar untuk masuk dalam dunia pers.
Penulis : Michael Gono Ate
Editor : Bintang Prakasa
0 Comments