Oooh pekerja, nampak usaha
jungkir balik tak pernah lelah
laksana kemudi mesin tak henti
membiru, mendongak atas
hanya buat perut belaka.
Kau temukan di kakinya, seonggok debu
di wajahnya, sebutir keringat luluh lantah
tampak jam memenjara, dikurung tertutup
tertutup oleh angan-angan kosong pengembala.
"Hei, apakah kita menolongnya?"
Sudi berbuah picik, menandaskan modal
terakumulasi memelihara tatapan lunglai
sejawatnya tak khawatir, kedepannya ia pergi.
Sungguh, nahas sekali, belum genap umurnya
genap gemilang mencapai kesejahteraan
gemulai pada takdir menghisap jiwanya
mengubur dalam impian, “alat kapitalisme”.
Penulis: Muhammad Rizki
1 Comments