(Foto: sedang berlangsung diskusi/Salsabila)
Marhaen, Jakarta - Membahas situasi kebebasan pers dan nasib jurnalis terkini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengadakan diskusi dengan tema “Refleksi 30 Tahun Pembredelan Media, Ancaman RUU Penyiaran terhadap Media dan Ancaman Kekerasan Ekonomi terhadap Jurnalis” yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube-nya. Sabtu (22/07/2024).
Dahulu Indonesia pernah berada di zaman rezim orde baru, di mana saat itu dilakukan berbagai cara untuk membungkam kritik dengan membuat peraturan resmi seperti Undang-Undang (UU) no 11 tahun 1966 tentang ketentuan pers, UU tentang penerbitan surat kabar 1966 sehingga membuat masyarakat dikontrol dengan ketat dan para jurnalis bisa dihukum penjara karena dianggap mengganggu stabilitas negara.
Salah satu inisiator AJI, Hasudungan Sirait menjelaskan sudah banyak media yang menjadi korban pembredelan ini diantaranya, 163 media massa yang dianggap pro Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarno tak lama setelah peristiwa Gerakan 30 September PKI, 12 media setelah Malapetaka 15 Januari 1974, serta media lainnya.
Pertengahan tahun 2024 ini, muncul kembali gaya baru sensor media lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dinilai juga berpotensi untuk mengulang kembali pembungkaman terhadap kerja jurnalistik dan kebebasan pers. Hal ini mulai memunculkan keresahan di kalangan pers karena merasa banyak hak mereka yang akan diambil ketika RUU ini resmi disahkan.
“Kita harus berasumsi bahwa kekuasaan apapun itu pasti punya dorongan untuk memberangus kebebasan pers, dia hanya mensyukuri kebebasan pers manakala dia tidak menjadi bagian atau tidak terdampak dari itu semua,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers.
Aturan-aturan tersebut hanya salah satu dari sekian cara untuk merebut kebebasan pers, salah satu poin yang mendapat kritik tajam ialah larangan dalam penayangan konten eksklusif jurnalisme, selain itu ada pasal penyertaan dalam revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Selain RUU Penyiaran yang tidak boleh ada investigasi dan sebagainya, ada revisi UU KUHP yang mulai berlaku tahun 2025, ada satu yang mengerikan yaitu pasal penyertaan, kalo ada orang yg terbukti melakukan pencemaran nama maka yang menyebarkan nya bisa ikut terkena, siapa yang menyebarkannya, media,” ujar Arif.
Selain pelarangan investigasi, ada beberapa pasal yang dianggap bermasalah dalam RUU Penyiaran diantaranya Komisi Penyiaran Indonesia berwenang menangani sengketa jurnalistik di bidang penyiaran, pelarangan penayangan atau konten tentang perilaku lesbian, homoseksual dan transgender, juga sengketa pers yang bisa diselesaikan lewat pengadilan.
Marina Nasution, sekretaris AJI Jakarta mengatakan bahwa perlu adanya pengawalan dalam melakukan pengawasan terhadap RUU Penyiaran serta mendesak pemerintah melakukan revisi yang menyertakan perwakilan dari komunitas pers.
“Kita terus mengawal RUU Penyiaran ini bersama dan mengajak publik mendesak pembuat kebijakan untuk menyertakan komunitas pers dalam perancangan revisi undang -undang ini,” tutupnya.
Penulis : Salsabila Ananda Nurhaliza
Editor : M. Zacki P. Nasution
0 Comments